Part 45 • Kalana

460 82 17
                                    

Selamat Idul Adha buat teman-teman yang merayakan 
Terima kasih juga buat kamu yang sudah mampir ke cerita ini
Apalagi buat yang udah dengan ikhlas ninggaling komentar, i love you!

"Lo sengaja kan deketin Aryan buat balas dendam ke gue?" aku meneguk segelas penuh air putih dengan penuh emosi. Masih tidak menyangka bahwa Mbak Karina bisa melontarkan tuduhan tak berdasar seperti itu padaku, adik kandungnya sendiri. Rasanya terdengar tidak masuk akal, apalagi selama ini aku tak pernah menunjukkan perasaan apa pun padanya. I think perasaan seperti benci atau rasa iri, yang sebenarnya juga sesekali pernah aku rasakan.

Dia pikir gue sepicik itu? pikirku masih tidak percaya.

"Kenapa gue harus balas dendam ke lo? lo sadar emang kalo selama ini sudah ngejahatin gue?" nasi sudah menjadi bubur, dan rasanya juga sudah tidak berguna jika aku memilih mundur. Toh jika bukan sekarang, perdebatan seperti ini akan tetap aku hadapi di masa depan. Jadi aku tidak menyulut api, hanya mempercepat munculnya kobaran api yang sebenarnya sudah ada. "Lo kesel kan karena semua orang selalu banding-bandingin gue sama lo?"

"Lo kesel kan karena gue lebih baik dari lo?" lanjutnya. Kali ini disertai senyuman, senyuman meremehkan yang rasanya sangat menyakitkan. Padahal bukan satu dua kali aku mendapatkannya darinya, sebab setelah kami mulai sering berdebat dia memang tak pernah ketinggalan untuk menunjukkan senyum yang tak kusukai itu.

Aku tertawa miris mendengarnya. Meski enggan mengakui, tetap saja aku merasa tertampar dengan kalimat yang dilontarkannya. Sebab mau diakui atau tidak pun aku memang merasa kesal dengan semua orang yang membanding-bandingkan kami. Sebuah hal yang mungkin dianggap wajar oleh beberapa orang karena status kami yang merupakan saudara, tanpa mau mengerti bahwa setiap manusia memang tidak akan pernah suka untuk dibanding-bandingkan. Bahkan untuk sesama saudara sekali pun.

Aku menoleh ke arah mama yang hanya berdiam. Entah karena kaget melihat perdebatan dua anak perempuannya, atau justru enggan ikut campur dan memilih untuk hanya memperhatikan. "Iya! Gue kesel sama orang yang selalu ngebanding-bandingin kita." Aku sudah siap dengan semua konsekuensi yang mungkin akan aku dapatkan. Termasuk untuk tidak mendapatkan pembelaan apa pun, sebab dalam setiap pertengkaran mama selalu berdiri di sisi yang berlawanan denganku. Tidak peduli masalah apa yang sebenarnya membuat aku dan Mbak Karina terlibat pertengkaran.

"Puas?" lanjutku menantang. Ayo, La. Udah nanggung, lo gak boleh mundur. Aku menyemangati diriku. Sebab jika bukan aku, maka tidak akan ada orang yang lain yang akan menguatkanku.

"Lala!"

"Apa, Ma?" bukan bermaksud menjadi anak durhaka, tapi emosiku sudah diubun-ubun hingga tak sadar menaikan suara. "Apa di mata Mama aku juga kaya yang dituduhkan Mbak Karina?"

Selama ini, setiap kali mama sudah ikut berbicara maka aku akan memilih diam. Segatal-gatalnya lidahku ingin menjawab, aku selalu menahan diri karena tidak mau menyesal menyakiti hati beliau melalui kata-kataku. Namun entahlah, untuk kasus ini aku merasa ingin sekali menjawab. Mungkin karena sudah terlalu lama mengalah, atau sudut kecil hatiku yang ingin membuktikan asumsi-asumsi yang ada di kepala. Memastikan di mana mama akan berdiri jika lagi-lagi kedua anak perempuannya terlibat pertengkaran karena alasan yang cukup tidak masuk akal.

"Apa aku sepicik itu sampai dengan sengaja ngedeketin Bang Aryan buat balas dendam?" mama masih terdiam, tetapi wajahnya sudah merah padam. Sepertinya juga sudah mulai terpancing emosi.

"Jawab, Ma!" otak warasku sepertinya sudah hilang. Untuk yang kedua kali, aku bahkan menaikkan nada suaraku kembali.

"Apa, Mbak?" aku reflek membentak Mbak Karina saat dia mendorong tubuhku. Sepertinya perdebatan kali ini tidak hanya sebatas verbal, tetapi juga berujung tindakan. Bahkan mungkin dalam sepuluh menit ke depan, bisa saja kami sudah saling jambak-jambakan jika mama yang menjadi orang ketiga di antara kami tidak mengambil Tindakan untuk menengahi. Namun jika Tindakan yang diambilnya pun tidak bisa meredam emosi kedua di antara kami, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pertengkaran kami akan semakin menjadi.

"Nggak usah playing victim ya, Dek. Seolah-olah lo yang disakiti di situasi ini."

Aku menggeleng tidak percaya. "Lo sakit, Mbak?" akhirnya satu pertanyaan yang selama ini selalu ada di dalam pikiranku terlontar.

"Bukannya harusnya gue yang ngomong kaya gitu ke lo?"

"Siapa yang selama ini selalu jadi korban perbandingan di keluarga kita? siapa yang harus selalu ngalah di situasi apapun? siapa yang selalu disalahin kalo ada masalah?" aku sudah berteriak di hadapannya. Sesuatu yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.

"Gue Mbak, gue. Bukan lo." lanjutku sedikit mendorong tubuhnya.

"Kalana!"

"Apa, Ma?" jika tadi aku sudah kehilangan kewarasan, kali ini aku sepertinya sudah mulai kerasukan. Bahkan aku malah menyulut perdebatan, saat harusnya aku diam dan mengiyakan semua tuduhan mereka - seperti yang biasa aku lakukan.

"Bukannya Mama yang mulai semua ini? bukannya Mama yang selalu banding-bandingin aku sama Mbak Karina?"

"Aku yang nggak secantik dia, nggak sepinter dia, atau aku yang bahkan nggak bisa bersikap lembut seperti dia?"

Plak!

Aku memegang pipiku, yang kini mungkin sudah berubah kemerahan akibat ditampar. "Kalau salah itu diem. Nggak usah ngomong kemana-mana."

Dapat aku rasakan bahwa pipiku membasah. Satu per satu bulir jatuh dari kelopak mata, membuatku menyesal karena kenyataan bahwa aku menangis di hadapan mama dan juga Mbak Karina.

Aku mengelap air mataku dengan kedua tangan. Mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berharap akan sedikit mengurangi rasa sesak yang ada di dalam dada.

"Kalau menurut Mama sama Mbak Karina Lala salah, bisa tolong jelaskan salah Lala dimana?" mati-matian aku mengatur nada suaraku. Aku tidak ingin membuat situasi ini kembali memanas, sehingga memicu pertengkaran yang mungkin akan didengar oleh bibi maupun tetangga.

Mbak Karina tertawa mengejek. Entah benar atau tidak, hanya saja di mataku terlihat seperti itu. "Lo sengaja deketin Aryan kan?"

Aku menghembuskan napas. Sepertinya memang sumber kemarahan Mbak Karina adalah kedekatanku dengan Bang Aryan. "Kalau iya kenapa?" jawabku menantang.

"Dia mantan gue, La,"

"Ya terus kenapa kalau dia mantan lo?"

"Emangnya gue gak boleh deket sama mantan pacar lo? lagian lo udah putus lama sama dia kan? udah punya pacar baru juga kan sekarang?" untuk kali ini saja, aku tidak ingin mengalah darinya.

"Ya gue gak suka lo deket sama Aryan."

"Itu masalah lo, Mbak. Bukan masalah gue."

"Selagi gue bukan ngambil punya orang, gue gak salah." Lanjutku menambahkan. 

"Tapi lo yang ngambil dia dari gue." Jawabnya menggebu-gebu.

"Gimana bisa? gue bahkan baru deket sama dia setelah masuk kuliah."

"Itu udah bertahun-tahun sejak kalian putus, Mbak."

"Tapi dia putusin gue karena lo?"

Apa-apaan ini? apa dia mulai menghalu lagi?

SeniorWhere stories live. Discover now