Part 1 • Kalana

11K 760 18
                                    

Ada yang bilang untuk tidak menolak masa lalu dan membiarkannya menjadi kenangan di masa muda.
Namun sebagian yang lain justru mensyaratkan untuk melupakan, jika kenangan itu hanya akan memberikan perasaan sakit yang ada di dalam dada

Kalana Diandra

Orang bilang ada beberapa golongan yang tidak boleh untuk dijadikan pasangan. Bukan karena masalah larangan agama atau pun inses karena masih ada hubungan persaudaraan, melainkan lebih karena norma sosial yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan telah memberikan stigma yang demikian.

Mantan kakak ipar atau pun mantan pacar, termasuk dalam salah satu contoh yang menjadi tidak boleh untuk dijadikan pasangan karena alasan 'ketidak etisan' yang diagung-agungkan. Tetapi jika salah satu dari 'bekas saudara' itu memang sudah jodoh, apa yang bisa dilakukan?

"Arah jam satu, pake almet dan bawa kamera."

Suara Zahra berhasil membuat kepalaku menoleh dari bangku tribun atas deretan kursi paling bawah ini.

"Nggak jelas, Ra." Balas ku karena laki-laki yang dimaksudkannya memang tidak begitu jelas dari tempatku duduk sekarang.

"Sekarang dia tepat arah jam dua belas, La. Coba lo perhatiin baik-baik! Sampingnya abang-abang yang pake topi." Zahra kembali menjelaskan dengan detail tentang keberadaan laki-laki yang menurutnya pasti lah begitu tampan.

Aku mengikuti instruksi dari Zahra dan memfokuskan mata. Meski sudah pernah di vonis minus saat pemeriksaan mata di SMA dulu, aku masih sangat yakin bahwa penglihatan ku baik-baik saja meski tanpa bantuan kacamata.

Anjir!

Aku mengumpat dalam hati, tepat setelah keberadaan 'sosok' yang dimaksudkan oleh Zahra berhasil tertangkap oleh radar.

Mata ku memicing untuk memastikan apakah penglihatan ku barusan benar atau tidak. Pasalnya apa yang aku lihat adalah apa yang sebenarnya sangat tidak ingin ku lihat di tempat ini.

Mampus!

Lagi-lagi aku mengumpat saat menyadari bahwa seseorang yang ada di bawah sana, yang sedang mengambil gambar beberapa peserta OSPEK adalah dia, laki-laki yang pernah masuk dalam lingkungan keluargaku di masa lalu.

"Ganteng, kan?" Zahra kembali bertanya sembari menyenggol pelan bahuku.

Aku menggeleng. "Nggak!" Jawabku singkat dan lugas.

Jika dinilai secara objektif laki-laki di bawah sana memanglah tampan sesuai apa yang barusan Zahra katakan. Tetapi karena aku melihatnya secara subjektif, maka dia hanyalah laki-laki seperti pada umumnya , yang sangat menyebalkan, menjengkelkan, dan sebaiknya dihindari saja jika ingin hidup tenang.

"AW!" Zahra tiba-tiba menepuk pahaku dan membuatku kaget.

Aku menoleh ke arahnya dan memberikan tatapan tajam. Pasalnya perbuatannya barusan benar-benar membuatku yang sedang melamun merasa begitu kaget. Untunglah aku bukan tipe yang latah sehingga rasa kaget yang barusan aku alami tidak menimbulkan pusat perhatian.

"Mata lo katarak apa gimana sih, La. Kaya gitu lo bilang nggak ganteng!" Zahra tidak menyetujui pendapatku, dan justru mengatakan bahwa penglihatan ku salah karena tidak bisa mendeteksi keberadaan orang tampan.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang