Part 55 • Kalana

465 54 9
                                    

Libur semester akhirnya selesai. Kabar yang buruk untuk banyak orang, tetapi juga kabar yang baik untuk sebagian orang yang lain.

Bagiku sendiri, kabar ini adalah kabar yang bagus. Bukannya karena tidak suka hari libur — justru aku amat sangat menyukainya, tetapi karena keadaan yang memaksaku untuk tinggal di rumah. Libur memaksaku pulang, tetapi hatiku selalu ingin tinggal di perantauan.

Aku tidak bisa mengatur perasaanku sendiri. Aku tahu untuk orang yang masih memiliki keluarga, libur seperti ini bisa dijadikan sebagai kesempatan untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Namun jika keluarga itu terbilang normal, tentu saja.

Jika keluarganya sedikit spesial seperti kondisi keluargaku, maka aku merasa tidak yakin. Aku yang sudah menjalaninya selama bertahun-tahun pun masih sering kaget, dan kadang sulit menerima. Aku tidak memiliki kebebasan berekspresi, kesempatan untuk mengemukakan pendapat, juga waktu yang tepat untuk mengobrol dan menghabiskan waktu bersama.

Baik di rumah maupun di perantauan, rasanya pun menjadi sama saja. Hanya di perantauan aku masih lebih bisa bernapas lega, sebab tidak ada tuntutan maupun pemaksaan kehendak seperti saat berada di rumah. Oleh karena itu, aku mempercepat kepulanganku ke kos-kosan agar merasa hidup lebih tenang.

"Bukannya masih lima hari?" tanya mama ketika aku berniat pamit. Kembali ke tanah perantauan untuk hidup seorang diri.

Aku mengangguk. "Iya, Ma. Lala ada acara organisasi, jadi lebih cepet berangkatnya."

Setelah beberapa hari terlibat perang dingin karena insiden terakhir kali, pada akhirnya aku mengalah. Meski tak ada kata maaf yang terucap dari masing-masing di antara kami, aku memulai untuk menyapa mama terlebih dulu. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Seolah kejadian kemarin hanya angin lalu yang sudah sepantasnya untuk dilupakan

"Kamu jangan ikut organisasi yang aneh-aneh, La." Satu kalimat yang ke luar langsung membuat perasaanku tidak enak. "Kalau bisa malah gak usah ikutan organisasi lah, nggak jelas. Kuliah aja yang bener kaya mbak kamu." Lanjutnya.

Kenapa sih harus ngejudge gitu?

Meski ingin menjawab, aku berusaha mati-matian untuk diam. Toh menjawab pun tidak membuat mama menghentikan wejangannya, malah justru akan membuatnya semakin panjang.

Pada dasarnya memang semua yang aku lakukan itu terlihat salah di mata beliau. Jadi daripada menjelaskan yang hanya berakhir dengan pertengkaran, aku memilih diam dan menerima segala hal yang beliau anggap benar.

"Kamu jangan ngangguk-angguk doang, La." Aku hanya bisa menyabarkan diri mendengarnya.  "Kamu harus rajin, biar gampang dapat kerja."

"Jurusan kamu kan bukan kaya mbak kamu yang udah jelas larinya ke mana, jadi stop lah buat ikut kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat." Sabar, La. Sabar. Lo butuh duit saku sekarang. Jangan emosi!

"Iya, Ma." Jawabku sembari mengangguk. Sebuah jawaban pasti, karena tidak ada pilihan jawaban yang lain.

"Minta duit, Ma." Pintaku.

Meski sering dibeda-bedakan dengan Mbak Karina dalam banyak hal, satu yang aku syukuri adalah mama tak pernah membeda-bedakan uang saku yang diberikan kepada kami. Berapapun yang diberikan pada Mbak Karina, jumlahnya akan sama dengan apa yang aku dapatkan. Setidaknya membuat sakit hatiku dalam kecukupan.

"Mama gak bisa anter ya. Papa juga baru pulang dinas besok." Lagi-lagi aku mengangguk. Sembari menerima beberapa lembar uang bergambar bapak proklamator yang baru dikeluarkan mama dari dompet tebalnya, aku mencoba tersenyum. Meski sedikit miris, sebab tau bahwa alasan mama tidak bisa mengantarku karena akan menemani anak kesayangannya untuk pergi ke salon.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang