Part 7 • Aryan

3K 410 19
                                    

Masih menunggu komentar kalian!

Seringkali mudah bagi kita untuk menyadari jika sikap seorang pada kita berubah. Bahkan ketika itu adalah perubahan yang sangat kecil, kita akan langsung sadar karena biasanya hal yang berubah tersebut adalah suatu kebiasaan. Kita akan cenderung mempertanyakan kenapa dia bisa seperti itu dan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kita akan terus mencoba memahami apa yang dirasakan orang lain, tanpa mencoba menyadari bahwa mungkin saja sikap kita yang menjadi alasan mereka memutuskan untuk berubah.

Lalu kenapa ya kira-kira orang tidak membiasakan diri untuk melihat kesalahan diri sendiri? karena merasa benar adalah apa yang sudah biasa ditanamkan kebanyakan individu dalam otaknya.

Akan sangat mudah untuk melihat kesalahan orang lain, sementara begitu sulit melihat kesalahan diri sendiri. Bahkan ketika kita sudah melihat dan menyadarinya, tidak jarang kita justru terus denial atau mencoba membenarkan bahwa apa yang kita lakukan sebenarnya tidaklah salah. Ya. Memaksa untuk mencari pembenaran.

I know it's painful to pretend that everything's going wrong. Makannya orang akan cenderung mencoba melakukan pengabaian jika sesuatu yang salah maupun berbeda itu tidak menimbulkan dampak dan impact yang begitu berarti.

"Iya, Gar. Kenapa?" Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi duduk di sisi ranjang dengan tangan kiri yang masih sibuk mengeringkan rambut.

"Bisa-bisa." Aku menjawab dari balik telepon tentang pertanyaan yang barusan dia ajukan.

Gara mengatakan bahwa dia akan pergi berkencan dengan salah satu gebetannya, dan meminta tolong padaku untuk meng-upload beberapa foto ospek di instagram nanti sekitar jam tujuh malam.

Aku yang memang tidak ada rencana keluar, mengiyakan permintaannya sebagai tabungan. Jikalau besok-besok aku akan ada urusan ketika ada tugas mengerjakan sesuatu, maka aku akan meminta pertolongan sebagai gantinya.

Bukan, bukannya aku pamrih. Hanya saja manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan orang lain dalam kehidupannya kan? I mean, pasti ada waktu dimana kita tidak akan bisa melakukan sesuatu itu sendiri dan harus meminta tolong pada orang lain.

Jika kita sudah pernah membantu orang yang ingin di mintai tolong, maka ketika kita mengatakan padanya tidak akan terlalu sungkan, kan? Setidaknya kita pernah membantunya sebelum kita meminta dia membantu kita. Semacam timbal balik sepadan lah istilahnya, bukannya saling pamrih.

"Buat foto yang mau di upload gimana?" aku bertanya karena Gara tidak mengatakan apapun.

Terdengar suara ketikan keyboard dari balik telepon, sebelum akhirnya Gara berucap padaku untuk menunggu sebentar.

"Gue udah milih sih, Yan. Tapi cuma nemu enem yang bagus. Tolong yang empat cariin ya. Ngambil dari kamera lo gapapa. Soalnya gue belum minta jepretan dari yang lain juga." Jawabnya panjang lebar.

Aku bangkit dari sisi ranjang yang aku duduki, keluar ke balkon kamar untuk meletakan handuk basah pada rak yang memang ku taruh di luar agar terkena sinar matahari, lalu berjalan kembali ke kamar dan menuju meja belajar untuk membuka laptop. "Oke."

"Thanks, sob. Ntar buat caption-nya gue kirim via wa ya."

"Oke!" Lagi-lagi hanya satu kata itu yang aku katakan padanya.

"Sip. Kalo gitu gue tutup dulu ya, bye!" Pamitnya sebelum akhirnya menutup panggilan di antara kami.

***

Aku menggerakkan telunjuk ku pada mouse wireless yang ada di sisi kanan laptop ku. Melihat hasil foto yang memang sudah aku pindahkan ke laptop, tapi belum sempat juga aku amati satu persatu.

"Cantik." Gumamku saat melihat salah satu foto perempuan yang sedang menyanyikan yel-yel dengan kelompoknya.

"Ini imut nih!" Komentarku ketika sampai pada gambarnya yang sedang menggembungkan kedua pipinya, dengan mata memerah yang menahan kantuk.

Ini adalah kegiatan coaching yang hanya mendengarkan, dimana sebagian banyak peserta memang merasa bosan dan mengantuk seperti yang dialami oleh gadis dalam frame.

"Astaga, Yan. Kenapa fotonya punya dia semua?"

Aku bertanya pada diriku sendiri bahwa sebagian besar foto yang aku ambil saat kegiatan ospek kemaren adalah fotonya. Fotonya yang sedang tertawa, cemberut, menguap, menyanyi, menunduk, dan bahkan mengobrol bersama temannya semuanya tidak ada yang terlewat dari lensa kameraku.

"Ya ampun, Yan. Lo beneran udah kaya penguntit astaga."

Aku tidak habis pikir pada diriku sendiri yang sudah bertindak sejauh ini. Bukannya melaksanakan tugas dengan baik, aku malah hanya memotret momen-momen dari seorang perempuan bernama Kalana.

Aku masih mencoba melihat-lihat lagi hasil fotoku yang lainnya. Baru satu foto yang aku temukan untuk melengkapi enam foto dari Gara, sehingga masih ada tiga lagi yang harus aku cari untuk melengkapinya.

"Satu deh yang ini, imut banget sayang kalo nggak di upload." Aku akhirnya meng copy salah satu fotonya pada folder lain yang nantinya akan aku satukan dengan file dari Gara.

"Manalagi ya...." Aku masih mengklik-klik foto untuk mencari dua terbaik lainnya.

"Ini aja nih bisa. Ini Lala juga bareng-bareng sama temen kelompoknya, jadi nggak terlalu keliatan lah." Lagi-lagi ucapku pada diri sendiri.

Aku tidak tahu yang aku lakukan benar atau tidak. Memasukkan dua foto Lala untuk melengkapi foto yang akan di upload di Instagram, karena memang tidak menemukan foto lain dalam kumpulan file ku dan cukup malas meminta dari orang lain.

"Gapapa deh, entar gue taro di tengah sama di akhir." Lagi dan lagi, monolog ku pada diri sendiri.

"Ini aja deh," Aku akhirnya memilih foto terakhir setelah melakukan banyak pertimbangan, yang lagi-lagi berisikan foto Lala dan teman-teman jurusannya di hari terakhir ospek kemaren.

"Selesai...."

Aku kemudian mengirim tiga foto tersebut ke ponselku sendiri, lalu meneruskannya pada Gara untuk meminta persetujuan. Mau bagaimana pun, job ini adalah tanggung jawabnya sehingga aku tidak bisa serta merta memutuskan meski dia sudah mendelegasikannya padaku.

To: Gara
You send a document
You send a document
You send a document
You send a document

To: Gara
Ini buat 4 foto terakhir, aman nggak?

Tulis ku pada kolom chat dengan Gara.

From: Gara
Ok 🙏

Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping saat setelah membaca balasan dari Gara. Aku tidak peduli dia melihat sungguhan atau tidak foto yang aku kirim barusan. Yang jelas kata oke darinya telah memberikan persetujuan bahwa dia tidak keberatan untuk aku menambahkan empat foto tersebut agar menjadi sepuluh.

Aku bernafas lega, lalu mematikan laptop yang ada di hadapan. "Mari buat kejutan untuk Lala,"

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang