Part 50 • Kalana

609 76 0
                                    

Jika orang lain menganggap bahwa rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, maka perasaan seperti itu tidak bisa dirasakan olehku. Bahkan di tempat dimana aku dibesarkan ini, entah kenapa aku justru merasa asing. Merasa tidak nyaman dan justru ingin pergi.

Alasannya?

Tentu aku sudah bertanya pada diri sendiri berkali-kali. Ternyata bukan perkara tempat yang disebut rumah ini, tetapi tentang orang-orang yang ada di sana.

Rumah sebagai tempat ternyaman untuk pulang bukan merujuk pada sebuah bangunan atau semacamnya, tetapi pada orang-orang tercinta — dimana kita bisa bebas berkeluh kesah dan menumpahkan seluruh kekhawatiran yang dirasa.

Tapi sayangnya, semua itu tidak berlaku padaku. Entah kebenarannya memang seperti itu, atau aku saja yang berlebihan seperti apa yang dikatakan oleh mereka. Aku merasa tak ada orang yang bisa memahamiku. Hanya ada orang yang terus menghakimi, lalu mengatakan bahwa semua yang aku lakukan itu tidak benar. Apakah aku memang sesalah itu di mata orang-orang?

"Orang-orang pada kemana, Bi?" tanyaku pada orang yang suka bantu-bantu di rumah kami. Sembari menuangkan air dari kulkas ke dalam gelas, mataku menyapu jeli seisi ruang. Terlihat sangat sepi karena aku tak menemukan mama, papa, maupun mbak Karina.

Apa mereka lagi nyiapin kejutan ya?

Meski kemungkinannya sangat kecil, sempat terbesit dipikiran bahwa orang rumah mengingat hari yang cukup penting bagiku. Walau setiap tahunnya tak pernah dirayakan, aku selalu berharap bahwa akan ada momen dimana mereka mengingatnya. Setidaknya sebelum aku takut berharap, aku ingin sekali saja ada di antara mereka yang mengingat hari kelahiranku. Apa takdir gue emang seburuk itu?

"Loh, Mbak Lala nggak tau?" jawab Bi Inah. Mimik wajahnya terlihat bingung, yang kemudian menular kepadaku. "Bibi kira Mbak Lala emang sengaja nggak ikut tuan sama nyonya pergi." Perasaanku mendadak tidak enak. Sepertinya apa yang aku takutkan itu benar-benar terjadi.

"Memang mama sama papa pergi kemana?" Aku mengernyitkan dahi heran. Meski sudah bisa menduganya, aku masih berharap bahwa jawaban yang akan diberikan Bi Inah tidak sama dengan apa yang aku pikirkan.

Namun harapan hanya tinggal harapan. Mendengar jawaban dari Bi Inah, harapanku sebelumnya pun langsung musnah. Aku tidak berani berharap lebih, daripada harus merasa sakit seperti waktu sebelumnya. "Katanya mau jalan-jalan ke Mall mbak, nemenin Mbak Karina nyari sesuatu."

Aku meneguk segelas penuh air putih yang ada di genggaman. Lalu mengisi penuh kembali untuk dibawa ke dalam kamar. Rasanya langsung kehilangan mood, dan sepertinya akan berdiam diri di dalam kamar saja sepanjang hari ini. "Oh iya, Lala lupa, Bi. Padahal tadi mama udah ngajak, tapi karena masih ngantuk jadi aku minta ditinggal aja."

Meski Bi Inah tau bagaimana perlakuan mama dan papa padaku selama ini, aku tetap memilih bohong. Bagaimana pun, aku tidak ingin terlihat menyedihkan. Apalagi di hari yang harusnya membahagiakan ini.

FYI, aku tidak akan kesal jika ada yang bilang bahwa aku terlalu mendramatisasi situasi ini. Bagi sebagian orang, mungkin tidak diajak pergi ke mall oleh keluarga bukanlah hal yang besar. Tapi bagiku yang selama belasan tahun mendapatkan perlakuan yang berbeda, hal sepele seperti ini sangat membuat sedih. Bagaimana mereka selalu memperlakukanku berbeda, membuatku seolah-olah tidak terlihat, atau selalu menggampangkan semua hal tentangku selalu membuatku tidak baik-baik saja.

Tapi mau bagaimana lagi? toh aku juga tidak bisa melakukan apapun. Aku tidak tau dimana letak kesalahanku sesungguhnya, dan tentu saja ketidaktahuanku itu membuatku tidak bisa memperbaikinya.

"Ya udah Bi, Lala mau ke atas dulu ya." Pamitku pada Bi Inah. Enggan untuk berlama-lama lagi, sebab tak ingin mendapatkan tatapan kasihan dari beliau.

***

Aku mengambil laptop dari atas meja belajar dan menaruhnya di atas ranjang. Daripada menggalau seharian karena hal yang suda biasa terjadi, aku memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton drama. Toh tidak ada aktivitas lain yang ingin aku lakukan, jadi menikmati kisah hidup orang lain agaknya bisa sedikit mengurangi kesedihan.

Masih menunggu proses laptop yang menyala, suara getaran ponsel yang aku letakan disebelahnya berhasil menginterupsi. Membuatku yang sebenarnya enggan bermain ponsel memilih untuk mengambilnya — sebab penasaran dengan siapa gerangan yang mengirimiku pesan.

Aku tidak terlalu punya banyak teman. Aku juga tidak dekat dengan banyak orang yang memungkinkan untuk saling mengirim pesan melalui media sosial. Makanya aku cukup heran saat tiba-tiba mendapati sebuah pesan masuk di hari libur seperti ini.

"Happy birthday, La. Im wishing you the happiest birthday yet!" Ini adalah pesan pertama yang dikirimkan semalam oleh pengirimnya. Tepat di jam 00.01 dan menjadi ucapan selamat ulang tahun pertama yang diterima olehku di tahun ini. Namun sayangnya, aku belum sempat membacanya.

"Semoga selalu jadi Lala yang bahagia, banyak senyum, dan penuh perhatian." Ini pesan keduanya yang dikirim dua menit setelahnya, yang sengaja tidak aku buka hingga beberapa saat yang lalu.

"Masih tidur ya? gapapa, aku cuma mau ngucapin selamat ulang tahun aja." Diam-diam aku tersenyum saat membacanya. Bagaimana pun aku memperlakukannya, Bang Aryan selalu bersikap baik padaku. Dia selalu menjadi orang pertama yang sangat peduli padaku, bahkan ketika aku berkali-kali menolak bentuk perhatiannya. Termasuk juga menarik ulurnya karena kondisi hatiku yang terus berubah-ubah.

"La, are you okay?" Pesan ke empatnya, dia kirim pukul lima pagi. Sepertinya setelah sholat Subuh, dia kembali mengecek pesannya yang belum juga mendapat balasan.

Memilih untuk tidak membalas, aku kembali melanjutkan membaca pesannya yang terakhir. "Gue di depan, La. Sini keluar."

Mataku kontan membola sempurna. Tidak menyangka bahwa pesan kelimanya  benar-benar membuatku kaget sekaget-kagetnya. Kapan dia pulang? kenapa tiba-tiba mengatakan sudah ada di depan?

Belum juga aku tersadar dari kekagetan, panggilan masuk dari orang yang mengirimiku pesan sudah terpampang jelas di layar. Sepertinya setelah pesannya berubah menjadi centang biru, dia tidak mau menyiayiakan waktu. Makanya langsung menghubungi.

Bukannya menjawab, aku justru berlari ke arah jendela dan membuka gordennya. Lalu hanya bisa terdiam saat tiba-tiba melihat seseorang di bawah sana sedang melambai-lambai dengan penuh semangat ke arah kamarku. Apa-apaan ini? kenapa dia tiba-tiba sudah ada di sana?

Aku memandang layer ponselku yang masih menunjukkan panggilan darinya. Merasa ada yang perlu aku tanyakan mengenai kemunculannya di depan rumahku, pada akhirnya aku memilih untuk menjawabnya. Aku butuh jawaban langsung dari mulutnya sendiri, kenapa dia sudah ada di sana tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Membuatku kaget dan tidak tahu harus apa.

Bagaimana kalau orang rumah sampai tau Bang Aryan ke sini?
Gimana kalau Mbak Karina ngelihat dia ke sini buat nemuin aku?

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang