Part 47 • Aryan

565 77 2
                                    

Aku menyiram kepala dengan air mineral yang tinggal sedikit. Ini adalah putaran ke empat belas, dan kakiku sudah minta diistirahatkan.

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Sejak setelah sholat subuh tadi, aku memang membuat keributan di kamar Gara. Memintanya untuk menemani lari pagi di lapangan kampus, sebab otakku yang sejak semalam sudah sangat penuh. Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan mata setelah pembicaraan dengan Lala. Oleh karena itu, aku butuh melampiaskan perasaan, dan berlari adalah jalan yang aku pilih untuk melepaskan emosi.

"Lo kenapa?" Gara menyusul dan berhenti tepat di sebelahku. Nafasnya tidak beraturan, tanda bahwa dia juga sudah kelelahan.

"Lo gila apa gimana? lari kaya kesetanan gitu." Omelnya. Dia pasti heran dengan tingkahku yang seperti orang kesetanan. Tiba-tiba lari tanpa berhenti, meski napas sudah tersengal-sengal sedari tadi.

Aku menggeleng. Membuat rambutku yang basah karena keringat dan air menciprat kemana-mana. "Gue lagi stres!" Jawabku singkat. Teringat kembali dengan kejadian semalam yang membuatku sejak pagi ini menjadi uring-uringan.

Tak lama kemudian aku berjalan ke arah pinggir lapangan, karena sepertinya kakiku sudah benar-benar tidak kuat untuk menyelesaikan satu putaran lagi. Meski stress, aku masih cukup waras untuk menghentikan kegilaan ini. Jika memaksa pun akhirnya aku akan tumbang, dan nantinya malah akan merepotkan Sagara.

"Kenapa lagi?" tanya Gara yang kini sudah duduk di sebelahku. Dia terlihat heran karena sedari tadi aku tak kunjung juga menanggapi setiap pertanyaan-pertanyaannya.

"Lala udah tau kalo alasan gue putus sama kakaknya karena gue suka dia." Aku mengingat kembali percakapanku dengan Lala. Aku yang sudah membayangkan akan melepas kangen dengan sleep call, harus menelan kenyataan pahit karena panggilan kami justru berakhir dengan pertengkaran — atau lebih tepatnya dia yang marah karena kelakuanku di masa lalu.

Aku tahu cepat atau lambat kenyataan itu memang akan terbongkar. Namun aku belum siap untuk menerimanya, saat tiba-tiba dia menkonfrontasi langsung tanpa sempat aku duga sebelumnya. Aku masih tidak menyangka bahwa akan terbongkar secepat itu. Oleh karena itu, rasanya jadi tidak karuan. Kepalaku terasa penuh untuk mencari solusi yang cukup tepat untuk dilakukan.

"Semalem gue telfon dia, dan dia nanyain alasan kenapa gue putus sama Karina." Diamnya Gara membuatku akhirnya melanjutkan cerita. Entah kenapa dia tidak merespon. Yang jelas aku menginterpretasikannya dengan 'dia ingin aku untuk melanjutkan cerita terlebih dulu'.

"Gue gak tau apa aja yang udah diomongin Karina sama Lala, yang jelas dia sekarang marah sama gue." Aku mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu meluruskan kedua kaki sebelum kembali melanjutkan cerita. "Dia udah tau kalo alasan gue putus karena suka sama dia."

Aku melirik Gara yang terlihat mengangguk-angguk. "Bukannya lo udah duga kejadian ini?" responnya santai. Memang sebuah fakta, tetapi rasanya tetap menyebalkan ketika mendengarnya.

"Iya." Kali ini giliranku yang mengangguk. Meski terdengar ogah-ogahan, aku tetap menyetujui pernyataannya.

"Gue tau cepat atau lambat Karina pasti ngasih tau Lala soal masalah ini. Tapi gue gak expect kalau bakal secepat ini." Aku sedikit menyesal karena tidak mengatakan fakta ini dari mulutku sendiri. Apalagi dengan melihat temperamennya Karina, aku tidak yakin bahwa apa yang dia katakan tidak dilebih-lebihkan.

Tentu bukan bermaksud untuk berburuk sangka dengannya. Namun melihat dari sikapnya selama ini, rasanya sangat mungkin jika dia menambahkan cerita masa lalu kami untuk menyudutkan Lala. Mungkin juga untuk membuatku terlihat seperti orang jahat, meski sebenarnya juga seperti itu. Ah, sudahlah!

"Kalana ada ngomong sesuatu?" melihat rasa frustasi dari wajahku, sepertinya Gara mengiba. Dia melemparkan pertanyaan yang mengandung kepedulian di dalamnya.

"Dia bilang mau sendiri dulu. Dia bilang mau denger penjelasan dari sisi gue, tapi gatau kapan." Aku mengakhiri kalimatku dengan semangat yang sudah tidak tersisa. Sebenarnya aku juga butuh waktu sendiri seperti dirinya. Namun menceritakannya pada Gara untuk mendengar sedikit perspektifnya sepertinya jauh lebih berguna dibandingkan memendamnya seorang diri. Aku butuh pandangan orang lain atas masalah yang sedang aku hadapi ini.

Lala memang mengatakan bahwa dia akan mendengarkan penjelasan dariku. Tapi dia tidak mengatakan berapa lama, jadi aku sangat uring-uringan dibuatnya.

"Ya sabar, Yan. Baru juga semalam." Meski terlihat menggampangkan, sebenarnya jawaban Gara sudah sangat rasional. Tidak mungkin waktu yang dibutuhkannya secepat itu, jadi harusnya aku lebih sabar untuk menunggu kabar darinya.

Kejadian ini baru semalam, dan kemungkinannya memang sangat kecil jika hari ini dia sudah menghubungiku kembali.

"Menurut lo apa yang harus gue lakuin, Gar?" setelah sedikit berhasil mengatur suasana hati, aku kembali menoleh ke arah Gara. Menanyakan padanya apa yang sekiranya harus aku lakukan. Jujur otakku rasanya kosong dan tidak bisa memikirkan apapun untuk mengatasi masalah ini.

Semakin diingat kesalahanku terasa semakin fatal. Meski sudah bertahun-tahun sejak kejadian itu terjadi, rasanya tidak ada yang berubah sampai saat ini. Tidak seperti masalah lama yang pelan-pelan bisa dilupakan, tetapi justru seperti masalah yang lama dibiarkan akhirnya menuntut penyelesaian.

"Bikin script buat kasih penjelasan ke Lala." Jawabnya. Entah ngawur atau memang itu solusi darinya.

"Hah?" ujarku tak tahu maksud perkataannya. Mencoba memastikan kembali jawaban singkatnya itu maksudnya bagaimana. Pasalnya terdengar sedikit tidak masuk akal di telingaku.

"Gapapa. Bercanda gue." Ujarnya sembari tertawa, sementara aku meresponnya dengan dengusan.

"Ya nggak usah ngapa-ngapa. Dia minta waktu, ya lo kasih waktu." Lanjutnya sebelum akhirnya menenggak air mineral di dalam botolnya. Sepertinya dia mulai paham kalau sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda.

Aku menautkan dahi heran. "Berapa lama?"

"Berapa lama gue kasih waktu Lala buat mikir?" lanjutku mempertegas. Aku butuh waktu yang pasti.

"Seminggu," jawab Gara.

"Apa gak kelamaan?" tanyaku sembari menoleh ke arahnya. Rasanya jika satu minggu aku tak akan sanggup. Atau mungkin sanggup, tetapi semua kegiatanku tidak akan ada yang berjalan baik.

Gara menggeleng. "Nggak."

"Kalo seminggu dia nggak ngehubunginn gue?" tiba-tiba ada ketakutan yang muncul dari diriku. Jika satu minggu waktu yang Gara sarankan tak kunjung juga membuat Lala menghubungiku, lalu aku harus apa? apakah harus menyerah? tentu aku tidak akan mau.

"Ya lo yang ngehubungin."

"Kalau dia gak bisa dihubungin?" aku yang biasanya super percaya diri mendadak menjadi pesimis.

"Ya lo samperin ke rumahnya. Minggu depan lo juga mau pulang kampung kan? sekalian!"

Aku mengangguk membenarkan. Benar juga apa yang dikatakan Gara. Kalau dia tidak menjawab teleponku, maka aku datangi saja rumahnya. Namun jika aku sudah datang dan dia tidak mau menemuiku? maka aku akan menunggunya di depan rumah. Aku perlu menunjukkan kesungguhanku, dan tidak kabur seperti pengecut. Semangat Aryan!

SeniorWhere stories live. Discover now