Part 11 • Aryan

2.3K 336 28
                                    

Hari pertama kuliah untuk mahasiswa semester lima tidak begitu sibuk. Setelah sekian lama libur semester genap, minggu pertama masuk kuliah memang hanya diisi dengan kontrak kuliah dan beberapa penjelasan aturan mengenai perkuliahan. Dosen juga tidak masuk full, dan kebanyakan hanya menggunakan satu jam pertama dari waktu yang sudah dialokasikan. That's why aku, Gara dan juga Rezki bisa nongkrong di kantin sebelum akhirnya kembali ke kelas untuk mengikuti kelas terakhir di hari ini,

"Gua mau ngajak nonton si Iren, menurut kalian berdua gimana?" sang playboy abal-abal sudah kembali melancarkan aksinya di minggu pertama perkuliahan.

"Iren yang mana?" Rezki, si laki-laki yang paling bucin ini melontarkan pertanyaan untuk mengetahui sosok Iren yang dimaksudkan Gara.

Aku sendiri juga tidak tahu Iren itu yang seperti apa, karena gebetan Gara yang terlalu banyak sehingga aku kurang begitu ingat wajah-wajahnya. "Anak pertanian itu loh, yang minggu lalu gue ajak nongkrong pas kita keluar." Gara memberitahu satu informasi padaku dan juga Rezki.

"Yang pipinya tembem itu ya?" Rezki sepertinya sudah ingat dengan sosok Iren yang dimaksudkan.

"Cute, Ki. Yang gemesin."

Aku menautkan alis karena tidak biasanya Gara memuji perempuan hingga seperti ini. Namun meski begitu, usahaku untuk mencoba mengingat wajah pasti orang yang disebut-sebut sebagai Iren tetap tidak berhasil karena ada banyak wajah yang ada ingatanku, dan aku belum bisa mengidentifikasi wajah perempuan yang dimaksudkan oleh sahabatku ini.

"Alah, semua cewek lo bilang gemesin Gar." Gara tertawa mendengar ucapan Rezki.

"Ya kan calon pacar, Ki."

"Semua aja lo bilang calon pacar!"

"Yang tadi pagi ketemu kita di gedung depan fakultas juga lo bilang calon pacar lo." Lanjut Rezki masih saja heran dengan teman laknatnya itu.

"Iseng-iseng berhadiah, Ki. Kan belum tentu semuanya jadi, kan?" ujarnya sembari menaik turunkan alis.

Aku menghela napas. Lalu memilih mengedarkan pandangan ke seluruh kantin dibandingkan tetap mengikuti pembicaraan kedua bocah ini tentang Iren-Iren yang bahkan tidak aku ingat.

"Gotcha!" Gumamku saat menemukan subjek yang menarik dari hasil observasi ku barusan. Entah memang karena sedang beruntung atau bagaimana, aku menemukannya yang sedang duduk seorang diri di sisi kantin yang tidak jauh dariku.

"Bro, gue duluan ya." Aku menoleh ke arah Gara dan juga Rezki yang masih asyik mengobrol, lalu mengatakan bahwa aku akan pergi terlebih dahulu.

"Mau kemana, Yan?" Gara yang duduk di seberang melontarkan satu pertanyaan yang membuatku kembali menoleh ke arahnya.

"Modus!" Jawabku sembari melirik ke sudut kantin, yang langsung diikuti oleh kedua pasang mata yang berada di meja ini.

Kulihat Gara tersenyum, sementara Rezki terlihat mengerutkan dahi karena tidak mengerti dengan kode yang aku berikan. "Yang mana?"

Nah kan benar.

Bocah ini langsung bertanya siapa subjek yang ingin aku modusi, karena di meja di sebelah Lala memang terdapat beberapa anak perempuan lain yang juga sedang menikmati makan siangnya.

"Yang pake baju biru." Bukan aku yang menjawab, melainkan Gara yang sudah gercep menanggapi pertanyaan dari Rezki. Bocah ini memang selalu gerak cepat jika menyangkut soal perempuan cantik.

Aku mengambil ransel hitam yang tergeletak di samping bangku yang aku duduki. "Gue duluan yak! Jangan ghibahin gue di belakang." Ujarku sebelum akhirnya memilih meninggalkan mereka, dengan pesan agar mereka tidak menggunjingku setelah ini. Sebuah pesan yang sudah pasti tidak berguna karena Rezki pasti sudah terlanjur penasaran, dan Gara yang hobi menceritakan kisah hidup orang lain akan sangat bersemangat untuk membicarakanku.

***

"Lala..." Aku meletakkan ransel yang aku bawa ke atas meja, lalu mendudukkan diri tepat dihadapan Kalana.

"Nama gue Lana, Bang. Bukan Lala." Tanpa mendongak untuk melihatku, dia menjawab sapaanku dengan nada judes.

Alih-alih merasa kesal, aku justru tersenyum karena dia langsung menyadari bahwa orang yang sedang menyapanya adalah aku, tanpa harus menoleh dan memastikannya terlebih dulu. Itu berarti dia sudah sangat hafal dengan suara ku, kan?

"Lana..."Sekali lagi aku memanggilnya, namun dengan panggilan yang sama dengan yang biasa orang lain berikan.

Kulihat Lala mendengkus. Jelas menyadari bahwa panggilan keduaku diikuti dengan senyuman, yang menandakan bahwa aku tidak benar-benar serius mau mengganti panggilan menjadi Lana. Jika tidak salah menebak, ekspresinya kali ini pasti sedang merasa kesal karena aku yang terlihat begitu menyebalkan.

Aku menopang dagu ku dan melihatnya. "Ngapain duduk situ?" .

"Pengen aja." Jawabku dengan menyunggingkan senyum. Sementara Lala? memutarkan kedua bola matanya jengah.

"Pindah deh, Bang."

"Gue nggak mau terlibat rumor sama buaya kaya lo." Satu kalimat yang meluncur manis darinya benar-benar membuatku terdiam.

Aku akui aku memang bukan laki-laki baik-baik. Tapi disebut seorang buaya? aku rasa aku belum bisa dikategorikan di dalam nya karena aku tidak pernah mengajak pacaran orang yang sebenarnya tidak aku suka. "Bener kan, Bang?"

Aku mengambil napas, lalu mengeluarkannya perlahan. Mengubah ekspresi wajahku, lalu menyunggingkan senyum sebelum merespon pertanyaannya. "Siapa yang bilang?" jawabku yang diikuti dengan mencondongkan tubuh ke arahnya.

"Mundur, Bang!" Aku terkekeh saat menyadari bahwa Lala menjadi tidak fokus karena perbuatan iseng ku barusan.

"Buat ukuran anak kaya lo yang belum tau soal cinta di dunia nyata, kayaknya lo udah salah paham deh." Aku memberitahunya bahwa persepsinya tentangku itu salah. Aku ini bukan seorang buaya, dan justru adalah orang yang setia karena bahkan setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya aku masih menyayanginya seperti dulu.

"Tidak harus tau cinta di dunia nyata untuk tau soal kaya gini, Bang." Lala benar-benar sudah berubah banyak dibandingkan yang ada dalam ingatanku. Dulu dia termasuk orang yang tidak suka menyanggah, sementara sekarang apapun yang aku katakan pasti akan selalu disanggah olehnya.

"Gue bisa mempelajari cinta dari apa yang gue baca, atau dari orang lain yang udah ngalamin ya." Lagi-lagi ucapannya membuatku sedikit kaget karena perempuan yang aku kenal sejak SMP ini ternyata sudah tumbuh dewasa.

"Dan gue yakin, itu lebih baik daripada jatuh cinta dengan seorang playboy."

Aku mengangguk-angguk mendengarkan. "Nggak semua laki-laki yang punya banyak temen cewek itu playboy, La. Mungkin dia hanya mudah bergaul aja."

"Sembilan puluh persen dari laki-laki yang mengatakan kalimat ini seorang playboy, Bang!"

"Jika menurut lo 90% dari laki-laki kaya gitu adalah playboy, gue mungkin salah satu dari 10% lainnya." Balasku benar-benar seperti apa yang biasanya seorang playboy katakan.

Poor you, Yan!

SeniorWhere stories live. Discover now