Part 31 • Kalana

1.6K 119 4
                                    

Finally update lagi ya
Meski gak tau bakalan rutin atau nggak, aku usahain buat nggak terlalu lama 🤭

Sebenernya harusnya ini pindah di Fizzo — dan pasti juga bakalan gitu, cuma aku mau jadiin wattpad sebagai teman nyimpen draftnya

Jadi nanti setelah kelar bakalan aku unpublish dan aku publish di sana, atau nggak bakalan aku pendekin versi di sini dan yang lengkapnya bakalan aku taro di sana — ini masih dipertimbangkan ya

Intinya mau bilang, kalian jangan nunda-nunda baca cerita ini
Biar nggak ketinggalan dan nggak keburu di unpublish
Selamat membaca dan jangan lupa berkomentar

***

Lo suka nggak sama gue?

Aku benar-benar speechless dibuatnya. Pertanyaan to the point yang dia ajukan benar-benar membuatku tidak siap. Bukan tidak tahu jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan, namun lebih merasa 'tidak pantas' untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Well, pada dasarnya aku sangat tau jawaban dari pertanyaan itu. Iya, aku menyukainya — bahkan mungkin bisa dikatakan cinta. Aku tidak mau denial terhadap perasaan yang aku miliki. Namun disisi lain, aku juga tau ada yang namanya batasan-batasan abstrak yang tidak bisa aku tembus. Batasan tidak terlihat, namun sangat membelenggu dan membuatku sangat khawatir dan takut-takut ketika akan mengambil langkah.

Diam-diam aku mengambil napas dalam. Memasukannya ke dalam rongga dada yang entah kenapa terasa sesak, sebelum akhirnya memikirkan kalimat apa yang sebaiknya aku keluarkan untuk merespon pertanyaannya itu.

Jika sekarang aku mengatakan 'iya' untuk pertanyaan Bang Aryan, maka sudah pasti dia akan semakin gencar untuk mendekatiku. Membuatku kembali mau menjalin hubungan dengannya, yang aku sendiri amat yakin akan berhasil karena pesonanya yang sulit ditolak. Apalagi dengan pertemuan-pertemuan intens kami, tidak akan butuh waktu yang lama untuk membuatku kembali jatuh pada pesonanya. 

Tidak munafik, aku merasa senang dengan kedekatan kami selama ini. Aku merasa bahagia setiap kali dia menjahiliku dengan gombalan-gombalan absurdnya, merasa tersipu ketika dia menunjukkan perhatian-perhatian kecilnya, serta merasa sangat beruntung karena memiliki dia yang bisa dibilang selalu ada jika aku membutuhkan.

"Maaf." Hanya satu kata itu yang akhirnya berhasil keluar dari mulutku. Aku belum siap untuk menghadapi kenyataan di depan mata, dan memilih untuk menghindar selama yang aku bisa. Memilih untuk menjadi pengecut dengan memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaannya.

Dapat kudengar Bang Aryan menghela napas berat. Jujur aku ingin meminta maaf karena tidak punya keberanian seperti dia. Aku yang notabene adalah anak yang tidak pernah membangkang terlalu takut untuk menghadapi konsekuensi ini.

Mungkin jika hanya menghadapi Mbak Karina aku masih bisa. Namun jika kedua orang tua ku terlihat? tentu saja aku mungkin tidak bisa mempertahankan keinginanku sendiri.

Sometimes — aku tidak tau pemikiran seperti ini benar atau tidak, tapi aku merasa bahwa perlakuan mereka terhadapku dan dia memang terlalu jauh berbeda. Memang benar perkara material tidak ada bedanya. Apa yang didapatkan Mbak Karina, aku juga mendapatkannya — jika aku meminta. Namun soal masalah psikis yang lain, perbedaan itu akan sangat terasa.

Meski kami sama-sama mendapatkan nilai bagus dalam ujian, rasa bangga yang ditunjukkan orang tuaku akan sangat berbeda. Jika kami sama-sama menginginkan sesuatu — yang bukan bersifat material, kedua orang tuaku akan selalu mendahulukan Mbak Karina dengan alasan dia adalah seorang kakak dan aku adalah adik.

Awalnya aku menganggap itu adalah sebuah hal yang biasa. Namun lama kelamaan, mental yang terbentuk dalam diriku adalah mental yang tidak bisa menolak semua yang dikatakan mereka. Aku selalu mengiyakan setiap perkataan mama papa dan juga Mbak Karina.  Aku tidak pernah menunjukkan rasa keberatan meski dinomor duakan, dan bahkan bersikap biasa ketika ada barang yang aku sukai harus aku relakan untuk Mbak Kania karena dia memang menginginkannya.

Dan berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, aku menjadi takut untuk berkata tidak dan bahkan sangat takut hanya membayangkan mendapatkan pandangan buruk dari mereka jika aku mulai melanggar sesuatu.

"Apa perlakuan keluarga lo masih sama kaya dulu, La?" aku langsung mendongak ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Aku tidak menyangka jika Bang Aryan masih mengingat perlakuan mereka, dan bahkan juga mempertimbangkannya sebagai alasan kenapa aku tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri.

Bang Aryan tidak bodoh — tentu saja. Dia tau betul jika aku juga memiliki rasa padanya. Sebab jika tidak, tidak mungkin kebersamaan-kebersamaan kami akan terjadi.

Pertemuan-pertemuan kami memang kebetulan, namun tidak akan bermakna jika kita tidak secara sengaja membuatnya seperti itu. Apalagi dengan permintaan maafku ketika dia menanyakan apakah aku menyukainya atau tidak, tentu saja langsung menjelaskan bahwa aku tidak bisa mengatakan 'iya' bukan tidak mau mengatakannya.

"Bang...." Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan gamblang. Rasanya tidak benar jika aku mengiyakan karena itu adalah masalah keluarga yang orang luar harusnya tidak mengetahuinya.

Bang Aryan menarik kedua tanganku dan menggenggamnya. "Apa pernah sekali aja.... lo mentingin diri sendiri di atas orang lain?" aku masih diam dan tak mau menjawab pertanyaannya. Namun genggaman tangannya sedikit mengurangi rasa sedihku dari ingatan terhadap perlakuan-perlakuan orang rumah pada diriku.

"Gue tau gue gak punya kapasitas buat ngomong ini, La. Walau gue merasa keluarga lo udah tergolong toxic," aku membulatkan mata kaget mendengar perkataannya. "Sebagai orang luar gue gak punya hak buat ngejudge kaya gitu."

"Berhenti, Bang." Aku meminta Bang Aryan tidak meneruskan kalimatnya. Secara sadar dan logis, aku membenarkan semua perkataannya. Aku sadar betul semua yang keluar dari mulutnya benar — sebab aku sudah mengalaminya sendiri. Hanya saja perasaanku tidak membenarkan itu. Perasaanku mengatakan bahwa apa yang dilakukan mereka benar, dan sangat egois jika aku berpikiran bahwa satu-satunya orang yang tidak mendapat ketidakadilan adalah aku. Meski menurut laki-laki yang duduk dihadapanku juga demikian.

"Please jangan ngomong lagi, Bang. Gue gak siap buat dengerinnya." Bang Arya memilih berdiri dan mendekat ke arahku. Menarik tubuhku dan memeluknya, lalu menepuk-nepuk pelan punggungku untuk menenangkan.

"Maafin gue, La." Ujarnya meminta maaf. Mungkin menyadari bahwa mentalku terlalu lemah untuk menghadapi masalah ini. Aku bahkan sempat ingin pergi ke psikolog, namun mengurungkannya karena merasa belum terlalu membutuhkan.

"Masih ada gue yang selalu ada buat lo, La."

"Kalo lo ngerasa nggak ada orang yang berdiri disisi lo, lo harus selalu inget gue. Gue bakal jadi orang pertama yang selalu percaya sama lo." Jelasnya yang membuatku merasa benar-benar disayangi. "Lo nggak usah pikiran semua yang tadi gue katakan. Biarin semuanya kaya gini, dan gue yang bakal cari jalan keluar buat permasalahan pelik kita." Lanjutku menenangkan.

Secara sadar — lagi dan lagi, aku tau jika aku egois, atau bahkan sangat egois. Membebankan semuanya pada dia, padahal rasa cinta ini harusnya diperjuangkan oleh dua pihak. Keadaanku membuatnya tidak menuntut apapun, sementara aku tidak inisiatif untuk membantu. Rasanya jadi tidak benar, sebab hubungan yang harusnya diperjuangkan oleh kedua belah pihak kini harus diperjuangkannya seorang diri. Namun saat menyadari bahwa aku pun belum sanggup mengakui jika mencintainya, rasanya tidak salah untuk membiarkan hubungan kami seperti ini — tanpa kejelasan dan tanpa status.

Meski tidak jelas apa namanya, aku tahu bahwa aku dan dia saling menyayangi. Meski tidak tau ke depan akan seperti apa, untuk saat ini — secara implisit sepertinya kami sudah memiliki kesepakatan untuk membiarkan waktu yang menjawabnya.

Serba salah gasi jadi Kalana?

SeniorDonde viven las historias. Descúbrelo ahora