Part 3 • Aryan

4.4K 573 20
                                    

"Gue dokum maba aja ya!" Sagara menarik ku untuk mengikutinya tepat setelah dia mengatakan hal tersebut pada anak-anak dokumentasi yang lain.

Aku yang belum siap tentu langsung mengikutinya untuk memasuki auditorium tempat dikumpulkannya para mahasiswa baru tahun ini.

"Anjir, Gar. Bentar!" Aku mengumpati Sagara —  karena aku baru selesai memasang sepatu dan belum menalikannya dengan benar ketika dia sudah terlanjur menarik ku untuk mengikutinya berjalan.

"Sori sori. Gue kira tadi lo udahan, bro." Ucapnya yang ku hadiahi dengan dengkusan.

"Makannya mata tuh di pake, Gar. Jelas-jelas gue baru kelar dhuhanan dan belom sempet benerin sepatu." Aku menunduk dan membenarkan tali sepatu agar tidak lepas ketika diajak untuk berlari ke sana kemari.

Menjadi ketua divisi multimedia dan dokumentasi atau yang biasa disebut MMD pada acara OSPEK kampus tidak serta merta membuatku bisa duduk tenang dan bersantai. Meski tidak ada yang menyuruh, aku memang berencana untuk tetap turun bersama anak-anak lain untuk meng capture semua momen yang terjadi selama beberapa hari ke depan.

"Mau di atas atau bawah?" Tanyaku pada Sagara setelah selesai menalikan sepatu.

"Bawah aja kali, ya. Males gue di atas."

Auditorium tempat mahasiswa baru berkumpul memang terdiri dari dua lantai. Satu lantai bawah untuk mereka yang duduk lesehan, dan lantai atas yang berbentuk tribun untuk mereka yang ingin duduk di kursi.

"Ya udah yok."

Kami berdua akhirnya berjalan bersisian untuk memasuki ruangan.

"Gue kesana dulu, Yan!" Sagara menepuk bahuku pelan sebelum berjalan menuju ke arah samping kanan.

Aku hanya mengangguk, dan mulai menggunakan kamera yang sedari tadi aku kalungkan untuk mengambil beberapa momen yang aku anggap menarik untuk diabadikan.

Sejak dahulu aku memang menyukai dunia edit dan fotografi, sehingga seringkali dalam setiap kepanitiaan yang aku ikuti sudah hampir dapat dipastikan jika posisiku tidak akan jauh-jauh dari divisi ini.

Baru saja mengambil beberapa foto, entah mengapa aku merasa bahwa ada yang sedang memperhatikanku. Aku mengendarakan pandangan ke seluruh penjuru lantai bawah dan tidak menemukan satupun keanehan seperti yang aku rasakan.

Tiba-tiba aku terpikirkan untuk mendongak ke atas. Dan ya, entah kebetulan atau sebuah takdir Tuhan, mataku bertabrakan dengan kedua bola mata jernih yang dua tahun ini selalu aku rindukan.

"Lala..." Gumamku seolah tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Kalana atau yang biasa aku panggil Lala adalah adik dari salah satu mantanku di SMA. Aku yang dulu masih terbilang labil dan suka gonta ganti pacar pernah menjalani hubungan yang cukup lama dengan seorang perempuan bernama Karina, dimana adiknya lah ini yang bernama Kalana.

Pertama kali aku mengenal Lala adalah ketika dia masih duduk di kelas dua menengah pertama. Aku yang dulu suka mampir ke rumahnya ketika mengantar Karina pulang, seringkali bertemu dengannya yang sedang mengerjakan PR di ruang tamu rumahnya. Dan karena aku tidak punya adik maka aku selalu senang membantunya mengerjakan PR dan setelahnya mengobrol ringan seperti layaknya seorang abang dan juga adik kecilnya.

Sayangnya, setelah seringkali mengobrol dengannya aku justru tidak sadar jika perasaanku telah berkembang dan menjadi semakin kompleks dari yang pernah aku duga. Aku yang sebenarnya hanya bermain-main dengan kakaknya, justru malah berakhir dengan jatuh cinta dengan Lala yang notabene adalah adik dari Karina.

Tentu saja, saat itu aku langsung menyadari jika aku sudah terlibat dengan masalah yang sangat serius. Menjalin hubungan selama dua tahun dengan seorang perempuan, namun justru mencintai perempuan lain yang posisinya adalah saudara kandung pacar sendiri.

Damn!

Aku akui setelah menyadari perasaanku pada Lala pikiranku justru menjadi kalut. Aku yang baru saja berusia tujuh belas tahun, tidak cukup bodoh untuk menyadari bahwa dengan segera aku harus keluar dari masalah pelik ini.

Meski tidak memiliki rasa pada Karina, aku tidak bisa menganggap sepele hubungan dua tahunku dengannya. Karina sudah sangat baik padaku dan juga benar-benar terlihat mencintaiku dengan tulus.

Jika aku mengatakan yang sebenarnya padanya, tentu saja bukan hanya hubungan kami yang akan rusak. Melainkan juga hubungan antara kakak beradik ini. That's why akhirnya aku memutuskan mengatakan pada Karina untuk mengakhiri hubungan kami dengan alasan aku yang sudah tidak ada rasa lagi dengannya. Karena hanya dengan seperti itu, aku tidak akan merusak hubungan antara kakak beradik yang saling menyayangi.

Aku tersenyum pahit mengingat kejadian dua tahun lalu. Mengingat betapa pengecutnya aku karena tidak berani jujur dan justru memilih melarikan diri. Mencari pembenaran melepaskan perempuan yang aku cintai, dengan alasan tidak ingin merusak hubungan antara dirinya dan juga kakaknya.

Aku menarik napas panjang.

Jika dulu aku bersikap pengecut dengan cara menghindari keduanya, bukankah ketika sudah dua tahun berlalu dan aku tetap memutuskan melakukannya lagi aku bisa benar-benar disebut sebagai seorang lelaki brengsek?

Tentu saja keputusan yang akan aku ambil sekarang berbeda dengan sebelumnya. Aku tidak mau — lagi menyesal untuk kedua kali karena kebodohan diriku sendiri.

Aku menghembuskan napas, lalu berjalan ke arah salah satu anggota divisi MMD yang kebetulan berada di dekat tempatku berdiri. "No, gue ke atas ya. Tolong lo handle sini!" Pintaku sebelum akhirnya berjalan menuju tangga untuk naik ke atas.

***


"Bentar, Ra!" Kalana mengatakan pada temannya yang dia panggil 'Ra' untuk diam sebentar.

Aku melirik ke arah gadis yang duduk tepat di samping Lala dengan tersenyum. Aku tau pasti jika dia ingin memberitahu Lala bahwa objek yang sedang dicarinya dibawah kini kini sudah berdiri tempat di sampingnya duduk.

"La..." Bisiknya masih mencoba memberitahu Lala bahwa aku sudah ada di sampingnya dan sedang memperhatikan tingkah lakunya itu.

Jika saja aku tidak menyadari ada banyak maba di sekitar yang sedang memperhatikanku, aku pasti sudah tertawa karena melihat tingkah menggemaskannya ketika mencari keberadaanku.

"Masih segemes dulu ternyata!" Gumamku yang pasti tidak di dengar oleh siapa pun.

"Bentar lagi, Ra. Ini gue lagi coba mastiin orangnya bener apa enggak." Lagi-lagi Lala tidak menghiraukan panggilan dari teman di sampingnya.

"Bener kok!" Akhirnya aku memilih menjawab karena aku tidak punya cukup waktu untuk melihat tingkah menggemaskannya hingga puas.

Aku masih punya tanggung jawab lain yang harus dipegang selain selebrasi karena bertemu kembali dengan orang dari masa lalu.

"Tau dari mana lo? Kan lo belum pernah liat, Ra." Lala menyangkal jawaban yang aku berikan sebelumnya.

Sepertinya dia tidak menyadari jika yang barusan menjawab bukanlah temannya, melainkan orang yang sedang di carinya.

Kulihat Lala mengedipkan matanya dua kali. Sepertinya otaknya baru memproses bahwa suara yang barusan didengarnya sangat jauh berbeda dengan suara temannya. Dan benar saja, tepat dua detik setelahnya dia menoleh ke arah temannya. Menanyakan satu pertanyaan yang dijawab dengan gelengan, lalu kembali menoleh — kali ini ke arah sebaliknya dan terlihat sangat kaget ketika menyadari keberadaanku.

"Halo, La!" Sapaku yang membuat kedua bola matanya hampir keluar karena kaget.

How cute she is!

SeniorWhere stories live. Discover now