Part 4 • Aryan

4.3K 539 27
                                    

Menjadi konsisten rasa-rasanya adalah hal paling sulit yang harus aku lalui dalam hidup. Entah karena mempertahankan prinsip atau menjalankan rutinitas yang sama berulang-ulang memang begitu membosankan, atau justru karena waktu dan keadaan lah yang memang secara alamiah bisa mengubah ideologi dan sikap seseorang.

Well, aku hanyalah manusia biasa. Terlepas dari apa yang menyebabkan seseorang gagal mempertahankan konsistensinya, aku pribadi sulit untuk mempertahankan konsistensi karena situasi yang aku alami biasanya tidak mendukung untuk terus mempertahankan prinsip dan ideologi yang aku pegang. Keadaan hidup yang dinamis dan ego yang menuntut untuk dipenuhi akhirnya justru membawaku untuk keluar jalur yang sudah ditetapkan. Out of the track lah istilahnya! Yang kebetulan juga, saat ini baru saja aku alami kembali, DI SINI DI TEMPAT INI.

Sedari dulu aku sangatlah membenci orang yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Aku selalu berprinsip bahwa ketika kita memegang suatu jabatan dan kita punya kepentingan sendiri di dalamnya, kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi dengan memanfaatkan power yang kita punya, dan harus tetap mengutamakan kepentingan bersama dimana kelompok itu mempercayakan kita sebagai orang yang dalam tanda kutip paling berkuasa.

Ya, at least aku masih berpikiran seperti itu hingga beberapa menit yang lalu. Karena semenjak kemunculan Lala, semua tentangku bisa dengan mudah aku ubah sebagai usaha untuk mendekatinya kembali.

Ya benar! Melihat Lala kembali setelah dua tahun rasanya langsung mempengaruhi kehidupanku yang monoton. Aku yang biasanya hidup tenang, menjalani apa yang aku inginkan dan tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekitar, kini menjadi sangat bersemangat setiap harinya hanya karena ingin melihatnya. Merasa begitu antusias dengan euforia yang sebelumnya bahkan sudah lama sekali tidak pernah aku alami lagi.

"Permisi, Bang." Sembari masih menunduk Lala mengucapkan satu kalimat yang berhasil mengalihkan perhatianku dari lensa kamera.

"Saya di suruh Kak Jeje buat minta hukuman ke abang." Aku tidak tahu harus merasa kesal atau justru berterima kasih kepada Jeje yang telah mengirim Lala padaku. Merasa kesal karena dia berniat menghukumnya hanya karena sedikit terlambat setelah waktu istirahat sholat makan yang telah ditentukan, atau justru malah merasa berterima kasih karena dia telah memilihku untuk menjadi orang yang memberikan hukuman pada Lala, sehingga aku punya kesempatan untuk berinteraksi kembali dengannya di hari ini.

Fyi, aku memang belum berinteraksi lagi dengannya setelah kejadian di auditorium beberapa hari lalu. Selain karena aku masih punya banyak tanggung jawab yang menanti untuk diselesaikan, aku juga tidak bisa memikirkan alasan yang logis mengapa harus meminta waktu mengobrol dengannya secara langsung.

"Lala?" Gumamku spontan. Sebagai orang yang dulu di cap sebagai seorang player, aku merasa jika julukan tersebut benar-benar tidak cocok disematkan padaku jika sedang berhubungan dengan Lala. Aku yang biasanya sangat easy going bisa langsung berubah menjadi seorang newbie dalam hal semacam ini, sehingga aku tidak bisa mengajaknya berbicara dengan santai dan mengalir seperti ketika sedang berbicara dengan perempuan lain.

Astaga, Yan!
Aku ingin memukul kepalaku sendiri atas kebodohan ini.

"Kalana, Bang." Tiba-tiba Lala di hadapanku mengoreksi panggilanku padanya.

Jika tidak salah ingat, dia dulu pernah mengatakan jika orang yang memanggilnya Lala hanya aku seorang. Keluarga dan teman-temannya biasa memanggilnya Lana, meski jika dipendekkan akan sama juga ujungnya yaitu 'La'.

"Oh, sory." Meski sedikit tidak rela, aku akhirnya memilih untuk mengikuti kemauannya. Aku cukup peka jika dengan mengoreksi panggilanku barusan, dia sedang memberitahukan bahwa namanya adalah Kalana dan tidak ingin lagi mendengar panggilan Lala dariku.

SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang