Part 26 • Kalana

1.6K 203 7
                                    

Pada umumnya seseorang memang akan membandingkan dirinya dengan orang lain. Ketika menemukan orang lain yang lebih rendah darinya maka akan timbul sikap angkuh dan sombong serta cepat puas. Sementara ketika bertemu dengan mereka yang lebih tinggi? Tentunya aka merasa inferior atau rendah diri dan tidak mampu memaksimalkan potensi terbaiknya.

Uniknya pada kasus yang aku alami sekarang aku tidak perlu pembanding untuk merasa tidak percaya diri. Tidak membutuhkan obyek lain sebagai lawan untuk meng-compare diri karena tanpa adanya mereka pun aku sudah merasa ragu dengan kemampuan yang aku sendiri miliki. Entah karena memang terlalu underestimate atau memang lingkungan yang mendukung untuk overthinking seperti sekarang.

Aku menghela napas. Diam-diam memikirkan takdir yang belakangan menghampiri yang rasanya penuh dengan kebetulan yang selalu berhubungan dengannya. Seorang dari masa lalu yang bertemu kembali setelah sekian lama.Yeah, finally i get it!

Meski aku sangat tidak ingin menerima kesempatan ini, tetap saja tidak ada yang bisa aku lakukan selain menerima. Namaku sudah terpampang jelas di postingan instagram akun hima sebagai salah satu staf divisi photography bersama delapan orang lainnya.

Lagi-lagi aku menarik napas dalam dan panjang. Bukannya tidak bersyukur atau bagaimana, hanya saja aku memang tidak bisa menampik fakta tentang perasaan ku sekarang. Aku menyadari betul bahwa semakin hari arah hubungan ku dengan Bang Aryan semakin tidak jelas, dan dengan bergabungnya aku dengan divisi ini maka mau tidak mau juga akan semakin meningkatkan intensitas berinteraksi dengannya yang notabene adalah ketua. And off course i hate it!

Seberapa pun besar perjuanganku untuk mencoba menghindarinya tetap saja rasanya hanya akan sia-sia karena berujung kalah dengan sebuah kebetulan yang ujungnya mendekatkan kami kembali. Lagi-lagi entah itu kebetulan atau memang sebuah takdir yang harus mulai aku terima.

Anyway aku ingin percaya bahwa keterlibatan ku dengan hima kali ini adalah murni karena kompetensi sendiri dan bukan hasil nepotisme. Tapi jika aku melakukan kilas balik terhadap kejadian saat wawancara maka penilaian objektif ku lebih mengarah ke opsi yang kedua. Pasalnya jawabanku sengaja aku tidak jelaskan agar di tolak, tapi entah bagaimana ceritanya malah di terima.

Jika bukan kepala divisi yang punya kuasa penuh untuk menerima dan menolak anggota, lalu siapa lagi?

"Selamat bestie udah jadi stafnya si Abang..." Nana yang duduk di sebelahku masih saja tersenyum penuh ledekan sembari menoel-noel lenganku.

Aku menoleh ke arahnya dan mendengus. "Diem atau gue usir?" Ancam ku padanya.

Setelah dia melihat postingan hima jam tujuh malam tadi dia memang langsung meluncur ke kamarku yang ada di sampingnya. Dia begitu heboh hanya karena aku menjadi anggota divisinya Bang Aryan hingga berlari-lari kesini untuk melihat responku.

Lalu kira-kira bagaimana responnya jika dia tahu bahwa aku bahkan sudah masuk ke kamarnya beberapa hari yang lalu? Aku tidak bisa membayangkan akan seheboh apa.

"Gue bingung deh, Na.." Ujarku pada perempuan yang sedang asyik bermain gawainya.

Nana menoleh ke arahku. "Kenapa?" Tanyanya sembari menautkan dahi.

"Masih soal Bang Aryan?" Lanjutnya yang membuatku langsung mengangguk mengiyakan.

"Kenapa lagi emang?"

"Gue rasa gue nggak bisa lagi nolak pesonanya." Ucapku terus terang.

Memang benar aku tidak bisa lagi terus-terusan denial dengan apa yang au rasakan. Mau bagaimana pun logika ku menolak nyatanya memang respon tubuh ku tidak sejalan. Jantungku seringkali berdetak abnormal, pipiku bersemu kemerahan atau bahkan aku yang mengalami beberapa kali insomnia hanya karena memikirkannya yang beberapa saat lalu tiba-tiba menghindariku.

"Ya nggak papa." Nana meletakkan ponselnya di atas meja.

"Masalahnya dimana?"

"Gue belum bilang sama Mbak Kania."

"Emang harus?" Aku menggeleng tidak percaya dengan satu pertanyaan yang keluar mulus dari mulutnya.

Bagaimana mungkin dia masih menanyakan apakah perlu bagiku atau tidak untuk membicarakan masalah ini dengan Mbak Kania. Apakah dia lupa atau pura-puran lupa bahwa orang yang sedang menjadi main topic pembicaraan adalah mantan pacar kakakku di masa SMA.

"Dia mantan pacar kakak gue Na kalo lupa."

"Kan cuma mantan, La. Lo yang lupa ya?" Tanyanya balik.

Aku melotot tidak percaya. "Tapi mantan kakak, Na. Bukan mantan sembarangan." Ucapku geregetan.

Nana mengangguk. "Iya gue tau. Terus mau lo gimana?"

"Ya gue perlu ngobrol serius sama Mbak Kania."

"Ya tinggal telfon aja!"

"Tapi gue nggak tau mau mulai darimana."

"Dari ngambil HP yang lo charger, terus lo calling nomernya." Jawabnya yang berhasil membuatku menimpuk kepalanya dengan baju yang saat ini sedang aku lipat.

"Kok gue di timpuk, La!"

"Biar otak lo nggak geser lagi." Jawabku ngawur.

SeniorWhere stories live. Discover now