Part 54 • Kalana

477 57 7
                                    

"Kalo lo ngangggep gue sebagai adik lo, kenapa lo malah jatuh cinta sama gue? lo gila, Bang!" Di balik meja, kedua tanganku mencengkram erat pinggir baju yang aku kenakan. Meski akulah yang mengajukan pertanyaan, sejujurnya aku juga — yang sepertinya sangat merasa ketakutan untuk mendengarkan jawaban. Entah apa yang akan jadi jawabannya itu, rasanya aku tetap belum siap untuk mendengarnya.

Kenapa bisa serumit ini?
Jauh di lubuk hati gue emang sedikit berharap dia jatuh cinta sama gue, tapi bukan kaya begini.

Kulihat Bang Arya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Meski dia berusaha terlihat tenang, tetap saja kedua matanya tidak bisa berbohong. Dia juga kacau — setidaknya dari apa yang aku lihat sekarang. "Awalnya memang begitu, La."

"Gue nganggep lo sebagai adik." Lanjutnya menambahkan.

"Namun setelah kita cukup dekat, gue baru sadar kalau sebenernya gue gak bisa lagi nganggep lo sebagai adik." Dari pandangannya, terlihat sekali bahwa dia sedang serius. Sangat berbeda dengan Aryana yang biasanya aku lihat. "Perasaan sayang gue ke lo berkembang. Keinginan untuk selalu bersama dan ngelindungin lo udah nggak wajar, apalagi untuk orang yang ngakunya cuma nganggep hubungan sebagai kakak adek."

Aku pernah mendengar bahwa perasaan seseorang itu dinamis, bisa berubah dan berkembang jauh dari yang dibayangkan.
Namun mengubah rasa sayang dari seorang saudara — meski bukan kandung, ke perasan ke lawan jenis apakah wajar?

Namun bukanlah itu juga terjadi padaku?
Aku yang awalnya menganggap Bang Aryan sebagai kakak karena merupakan pacar Mbak Karina, juga malah akhirnya jatuh cinta dengannya, kan?
Lalu apa bedanya aku dan dia? bukankah sama saja?
Astaga!

"Kapan lo sadar sama perasaan lo, Bang?"

"Pertama kali gue lihat lo bawa temen ke rumah. Si Randi Randi itu."

Aku terdiam mendengar jawabannya. Sembari berusaha mengingat siapa sosok yang dimaksudnya itu. "Randi main ke rumah karena mau ngerjain tugas, Bang. Kita beneran temenan." Setelah mengingat sosok Randi, aku menjelaskan bahwa keberadaannya di rumah memang untuk mengerjakan tugas. Bukan hanya bermain-main tanpa tujuan.

Kebetulan memang sedari dulu aku sudah tertutup, jadi tidak banyak orang yang pernah aku ajak mampir ke rumah. Itu juga yang mungkin membuatnya salah paham, bahwa mungkin saja ada hubungan khusus antara aku dan juga Randi. Kalana yang bahkan hampir tidak pernah membawa temannya main, tiba-tiba mengajak seorang laki-laki ke rumah. Who know?

Bang Aryan mengangguk. "Gue tau, La." Jawabnya kemudian. "Justru karena gue tau dia main ke rumah buat ngerjain tugas dan gue tetep ngerasa nggak suka, gue sadar kalau perasaan gue ke lu itu udah beda."

Setelah diingat-ingat, dia memang kelihatan bad mood setelah menyadari bahwa ada Randi di rumah. Meski bertahun-tahun telah berlalu, nyatanya ingatanku yang berkaitan dengannya masih sekuat ini. Apakah dia memang sudah sepenting itu di kehidupanku sejak dulu?

"Gue bingung, Bang. Kayaknya kita berdua udah gila." Setelah kejujurannya, harus aku akui, sepertinya aku tidak bisa berpikir. Bagaimana mungkin setelah mengobrol dengannya, bukannya tercerahkan, tetapi aku malah semakin blunder dengan kondisi kami berdua.

"Nggak, La. Gue doang yang gila." Bang Aryan meraih gelas berisi minuman yang ada di depannya. Meneguknya sedikit untuk menyegarkan tenggorakan. "Gue yang gila karena ngebuat hubungan kita jadi rumit kaya begini."

"Gue yang dengan sadar main-main sama Karin, terus setelahnya malah deketin adiknya."

"Gue gila karena keinginan gue itu, gue jadi ngerusak hubungan saudara antara lo sama Karin."

Bukannya menggeleng, aku malah mengangguk. Memang kami berdua gila, tetapi dia tetap yang paling gila. Semua yang dia katakan benar, meski tidak sepenuhnya.

Hubunganku dan Mbak Karin memang tidak terlalu baik sejak awal. Namun sejak perbuatannya, hubungan kami semakin merenggang. Bahkan hingga sekarang.

"Kalo lo sadar sama kesalahan lo, kenapa lo malah pilih muncul lagi di kehidupan kami, Bang?" jika dia tidak menampakkan diri, atau setidaknya tidak getol menjalin komunikasi lagi denganku, mungkin kejadiannya tidak akan serumit ini. Mbak Karin bahagia dengan pacarnya yang sekarang, melupakan masa lalu, dan tidak menyalahkan ku karena kandasnya hubungannya dengan Bang Aryan bertahun-tahun lalu.

Bang Aryan diam. Sepertinya tidak menyangka dengan kalimatku barusan. Aku pun sebenarnya juga sama, tidak bisa memikirkannya dengan baik karena otakku rasanya sudah penuh. Apapun jalan yang aku ambil ke depan, rasanya akan tetap salah. Dan sepertinya aku butuh pelampiasan untuk melegakan sedikit kekacauan yang ada di dalam kepala.

"Maaf karena gue ambil keputusan buat merjuangin lo, La." Mati-matian aku mempertahankan ekspresi. Mataku sebenarnya sudah cukup pedas dan ingin menangis, tetapi sekuat mungkin menahannya. "Selama beberapa tahun terakhir, gue dihantui penyesalan karena menjadi pengecut. Gue selalu merasa gak seharusnya gue ngulang gitu aja setelah membuat kekacauan. Tanpa bilang apa pun, gue malah ngilang. Padahal gue belum berjuang sama sekali."

"Maaf karena kembali ngelibatin lo dalam masalah. Ngebuat lo dibenci keluarga lo sendiri karena apa yang gue lakuin."

Kali ini aku menggeleng. Merasa tidak adil karena membuatnya seolah menanggung masalah ini sendirian. Nyatanya di tahap ini aku juga bersalah, sebab tidak akan ada asap jika tidak ada api. Aku juga turut andil karena merespon kelakuannya. Mungkin kalau aku tetap bersikap cuek dan menghindarinya, masalahnya tidak akan menjadi sebesar ini. "Ini bukan salah lo sepenuhnya, Bang. Gue juga bersalah di sini."

Bang Aryan menggeleng. "Lo gak salah, La."

"Gue salah, Bang." Aku sedikit meninggikan suara. Semoga saja tidak membuat orang-orang di sekitar kami  kaget.

"Gue salah .... karena gue juga jatuh cinta sama lo." Suaraku memelan di ujung kalimat. Tak kuasa menahan tangis karena pada akhirnya aku harus mengakui bahwa aku juga menyukainya. Aku memiliki perasaan yang sama seperti dia, tetapi tidak pernah mengungkapkannya.

"Gue salah karena jatuh cinta sama pasangan kakak gue sendiri. Gue salah karena jatuh cinta sama mantan kakak gue sendiri. Gue jatuh cinta sama orang yang harusnya gak boleh gue cintai, Bang." Kali ini sudah benar-benar tidak bisa menangis. "Jangan ke sini, Bang." Aku mencegahnya yang akan berdiri. Aku tidak mau dia mendekat, sebab belum siap jika harus menangis di pelukannya.

"Nggak ada jatuh cinta yang salah, La. Mungkin emang nggak tepat aja orang dan waktunya." Setelah memandangku dengan pandangan yang sulit dijelaskan, Bang Aryan kembali berujar. "Lo nggak salah karena nggak pernah ambil hak orang lain. Lo emang jatuh cinta sama gue yang dulu masih jadi pasangan Karin. Tapi lo tetep diam dan nggak melakukan apapun. Lo nggak pernah bersikap berlebihan sama gue, dan lo selalu ngehargai gue sebagai pacar kakak  lo. Bahkan sampai kami akhirnya putus."

"Lo nggak jahat, La." Sekali lagi dia mengatakan bahwa aku tidak jahat karena mencintai pacar kakak sendiri. "Lo nggak perlu nyalahin diri sendiri karena jatuh cinta. Kita gak pernah tau bakal jatuh cinta sama siapa. Yang membedakan jahat atau nggak nya, justru langkah yang diambil setelah jatuh cinta. Kalau lo jatuh cinta sama orang yang udah punya pasangan dan berusaha merebutnya, itu baru salah. Tapi Lo gak begitu. Lo nggak pernah menghalalkan segala cara buat kepentingan perasaan lo."

"Lo bahkan rela sakit hati demi Karin. Lo nggak salah, La....." Untuk ketiga kalinya dia kembali berujar. Membuatku sedikit terpengaruh, hingga mempertanyakan apakah sebenarnya aku jahat atau tidak.

Apa gue emang gak jahat kaya yang Bang Aryan katakan?

Menurut kalian, salah gak di Kalana jatuh cinta sama Aryan?
Komen dong 😊

SeniorNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ