33. Inner relationship

1.4K 143 11
                                    

Di balkon apartemennya, Rosé duduk sendiri dengan tatapan kosong ke langit malam yang gelap. Cahaya remang-remang lampu jalanan memancar di bawahnya, menciptakan atmosfer yang hening. Angin malam menyapu lembut rambutnya yang tergerai, tetapi pikirannya terjebak dalam kegelapan batinnya sendiri. Suasana hening hanya terganggu oleh suara gemuruh jauh dari lalu lintas kota yang tak pernah berhenti. Dalam keheningan itu, ia merenungkan pertengkaran tadi, perasaan bersalahnya mulai menggerogoti hatinya, teringat ucapan kasar yang ia lontarkan untuk kembarannya. Tapi di balik itu, api kemarahan masih menyala di dalam dirinya, memenuhi relung-relung pikirannya dengan ketidakadilan yang ia rasakan. Rosé duduk di balkon, mencoba merapikan pikirannya yang kacau. Langit gelap tanpa bintang dan bulan seakan mendukung suasana hatinya.

"apakah kau sedang memandang langit juga Lisa-ya?" Ucapnya lirih, Rosé menajamkan matanya, menghirup udara malam yang sejuk, perlahan air matanya keluar membasahi pipinya. Mengingat kenangan dimana dirinya dan Lisa sering memandang langit bersama, kenangan yang sebenarnya tak ingin Rosé ingat, memori memori menyenangkan kini terasa menyakitkan baginya. Memori kebersamaan keluarganya yang dulu terasa menyenangkan kini terasa menyakitkan, membenci dirinya sendiri karena terus mengingatnya.

"eomma.., appa.., lihatlah apa yang terjadi setelah kepergianmu, benar-benar hancur" ucap Rosé, berdiri dari duduknya, berusaha tak terlarut dalam kesedihan, ia membenci perasaan yang membuatnya memikirkan keluarganya karena terasa benar-benar menyakitkan, apa kau pernah merasa dimana dadamu di tindih dengan batu yang sangat besar? sampai menghembuskan nafas saja rasanya sangat sulit, seperti itulah yang Rosé rasakan setiap mengingat keluarganya. Ia memilih tinggal di apartemen untuk menjauh dari semua saudaranya, menjauh dari setiap tempat yang memiliki kenangan indah bersama keluarganya, karena setiap melihat mereka hatinya terasa sakit, seluruh memori kebersamaan mereka beputar bagai kaset rusak di kepalanya, mengingat momen dimana orang tua meraka masih hidup dan berbahagia bersama, itu menyakitinya dan ia tak menyukai itu, ia ingin menghapus kenangan itu, melupakannya dan hidup dengan normal. Ia bahkan sempat ingin keluar negeri, namun kakak sulungnya tidak mengijinkannya, meminta tinggal di apartemen saja mendapatkan izin sangat sulit.

Rosé berjalan masuk ke apartemennya, memandang apartemen miliknya yang terlihat sangat luas, namun tak ada siapapun di sana selain dirinya. Setiap pagi terbangun sendiri, setiap malam pulang tak akan ada yang menyambutnya, dan ia bebas melakukan apapun, melakukan apa yang ia sukai, bermain dengan teman-teman hingga larut, membuat musik hingga pagi dan tak akan ada yang menegurnya, apakah hidup seperti ini adalah hal yang benar?, apakah ini disebut kebebasan atau kesepian?, Rosé bahkan tak mengetahuinya, tak mengetahui apakah ini yang benar-benar ia inginkan.

Rosé memasuki rungan penuh alat musik yang ada di apartemennya, berencana mengalihkan pikirannya dengan membuat musik, karena selain bermain bersama teman-temannya, membuat musik adalah hal yang bisa membuatnya fokus tanpa memikirkan hal lain.

.......

Di atas atap club, Lisa duduk sendirian dengan tatapan yang tertuju ke langit malam yang gelap, ia menggenggam sebotol bir dan sesekali meneguknya. Cahaya gemerlap kota di bawahnya memberikan sedikit cahaya di sekitarnya, tetapi tidak cukup untuk menembus kegelapan langit. Tidak ada bintang yang bersinar, tidak ada bulan yang terlihat, hanya kehampaan yang memenuhi horizon.

Dia merasakan kekosongan di dadanya, memikirkan kata-kata jahat yang baru saja diucapkan oleh kembarannya. Kata-kata itu menyakitkan dan menusuk hatinya seperti pedang tajam, meninggalkan luka emosional yang dalam. Lisa berusaha menahan emosinya agar tak merasa sedih, namun apa daya hatinya terasa begitu lemah, meski pada saat menghadapi kembarannya wajahnya nampak datar tanpa emosi, tapi hatinya benar-benar terasa sakit, ia berusaha membuat dirinya tampak baik-baik saja di depan lembarannya, karena ia tau kembarannya dapat merasakan apa yang hatinya rasakan, hubungan batin mereka berdua tak dapat di pungkiri, namun karena hal itulah keduanya terkadang  bingung dengan perasaan mereka sendiri, bingung apakah perasaan yang mereka rasakan benar perasaannya atau perasaan kembarannya.

SHIELDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang