Chapter 57 [Jayden Wilder]

72 9 0
                                    

Selamat datang di chapter 57

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Thanks, God. I’m so damn lucky to have her.”

Jayden Wilder
____________________________________________________

—Jayden Wilder____________________________________________________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Musim semi
Bisley, 7 Maret
Pukul 12.01

“Dari kemarin kamu kelihatan nggak semangat. Apa itu ada kaitannya sama hormon kehamilan yang kamu bilang? Atau mikirin yang lain?" tanyaku pada Melody saat lagi-lagi merasa ia agak pendiam akhir-akhir ini.

Istriku mengeluarkan napas berat lalu mengutarakan apa yang dirasakannya. “Em ..., ya. Itu emang ada kaitannya sama hormon juga.”

“Tapi? Pasti ada tapinya, kan?” sambungku cepat.

Melody mengangguk. “Agak kepikiran. Seandainya Daddy dan keluargaku di Jakarta tahu aku hamil, kira-kira reaksi mereka gimana, ya? Inget, kan? Aku kabur ke sini dan lebih milih kamu. Lebih milih dampingi suamiku daripada nurutin Daddy. Sejak balik ke sini juga nggak ada yang boleh hubungin aku. Mereka patuh apa kata Daddy. Aku juga nggak pernah cerita kalau pernah keguguran.”

Aku mengusap-usapkan ibu jariku yang menggenggam tangan Melody. Kukatakan, “Inget, nggak? Waktu kita nikah, Daddy dan semua keluargamu udah ngasih kamu sepenuhnya ke aku?”

Melody mengangguk. “Ya, intinya mereka semua udah ngasih aku ke kamu.”

Aku lantas memaparkan, “Jadi, sebenarnya yang paling berhak atas kamu sekarang ini ya cuma aku. Nggak ada yang boleh ikut campur rumah tangga kita selain kita. Anak-anak kita nanti juga nggak bakalan aku bolehin ikutan ngurusi percintaan kita. Mau aku bawa rumah tangga kita ke mana aja, itu terserah aku.”

Terdiamnya Melody mungkin mengindikasikan ia sedang berpikir. Mungkin juga menungguku bicara. Sehingga, aku pun melanjutkan, “Aku bisa aja ngomong setelah semua kasusku ini kelar, ayo kita tinggal di tempat terpencil dengan atau tanpa restu keluargamu atau keluarga kita masing-masing. Kita bisa hidup dengan keturunan kita dan orang-orang yang mendukung kita. Bukan dengan orang-orang toxic yang kerjaanya cuma bisa bikin sakit hati. Atau hal-hal semacam itulah.

“Tapi, buat apa, Baby? Aku nggak mungkin tega ngejauhin kamu dari keluargamu. Aku tahu rasanya gimana berantem sama Papa, diusir Papa, dan hidup tanpa Papa selama bertahun-tahun. Aku nggak mau itu terjadi sama kamu, Baby. Atau sama semua keturunan kita nanti.”

MR. MAFIA AND I [REMAKE]Where stories live. Discover now