Chapter 51 [Berlian Melody]

58 11 2
                                    

Selamat datang di chapter 50

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do love Jayden and Melody

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Terkadang pengorbanan untuk cinta hanyalah sia sia, terkadang pengorbanan untuk cinta juga tidak ada harganya. Pengorbanan pun bisa menjadi bumerang. Awal yang kukira bahagia, ternyata menempuh jalan derita.”

—Berlian Melody
____________________________________________________

—Berlian Melody____________________________________________________

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Jakarta, 25 Oktober
Pukul 10.02

Di depan halte bus, tanganku memayungi mata ketika aku mendongak untuk mengamati puncak gedung Heratl yang berdiri kokoh di seberang jalan. Tidak ada jembatan penyebrangan menuju gedung perusahaan smart furniture tersebut. Namun, ada sebuah penyebrangan jalan raya lengkap dengan lampu merahnya. Jadi, pada hari yang terik ini, aku bersama orang-orang menanti warna lampu menjadi merah agar bisa menyeberang.

Banyak sekali yang membicarakan Jayden. Mereka mengutarakan berbagai pikiran mereka yang semuanya negatif. Tidak ada satu pun yang membela Jayden. Yah, siapa yang akan membela pembunuh seperti dirinya?

Seharusnya aku sudah terbiasa dengan ini. Sebab sejak menginjakkan kaki di tarmak Bandara Soekarno-Hatta satu setengah jam lalu, kemudian ke kondominium Kak Jameka, hingga detik ini, orang-orang yang berpapasan denganku—terutama yang berjalan bersama teman, kerabat, atau pasangannya—membicarakan suamiku dengan respons yang sama.

Nyatanya aku tidak bisa mengabaikan omongan mereka begitu saja. Setiap kali ada yang membicarakan Jayden, hatiku bagai diremas-remas sampai tak berbentuk. Sakit sekali sebab hujatan-hujatan mereka telah melemparkanku ke kejadian-kejadian tidak menyenangkan baru-baru ini.

Lampu penyebrangan berubah merah. Lamunanku buyar akibat seseorang menyenggol bahuku. Segerombolan orang berjalan mendahuluiku. Aku lantas mengikuti mereka. Setibanya di depan fasad gedung Heratl, aku menyiapkan kartu identitas; aku telah berkaca dari insiden tahun lalu kala petugas keamanan tidak percaya dengan umurku.

“Selamat siang. Wah, saya ingat siapa kamu. Dokter yang waktu itu, kan?” tebak sekuriti yang rupanya masih bekerja di sini. Entah sedang apes atau beruntung, ia mengingatku.

“Ya, ini kartu identitas saya,” jawabku sembari mengulurkan benda yang kumaksud.

Pria paruh baya itu kemudian meringis setelah membacanya. “Tahun lalu kamu masih dokter umum. Sekarang sudah internis ya? Hebat kamu.”

MR. MAFIA AND I [REMAKE]Onde histórias criam vida. Descubra agora