A L A M 34

911 136 3
                                    

"Pasien sudah sadar dan keadaannya sudah lebih baik dari sebelumnya. Tapi pasien tidak diperbolehkan berbicara karena pita suaranya terluka untuk dua hari ke depan. Jika lebih dua hari, pasien bisa berbicara tapi seperlunya saja. Mungkin sampai beberapa bulan ke depan, pasien tidak akan bisa berteriak atau meninggikan suara. Dan sebelum semuanya pulih, pasien tidak boleh mengonsumsi minuman bersoda dan makanan keras. Bubur adalah pilihan terbaik mengingat tenggorokannya terluka parah."

Lucy mendengarkan dengan baik perkataan dokter yang menangani Leonor. Di sampingnya ada Dalton yang senantiasa menemaninya.
"Tidak ada masalah lain kan Dokter?" tanya wanita itu khawatir.

"Untuk saat ini tidak. Masalah tentu saja akan datang jika pesan saya tidak dipatuhi." jawab dokter laki-laki itu dengan ramah.

"Kalau begitu terima kasih Dokter. Kami undur diri dulu." Dalton menjabat tangan pria itu disusul oleh Lucy. Keduanya beriringan meninggalkan ruangan itu menuju kamar rawat inap Leonor.

Lucy membuka pintu. Hal pertama yang ia lihat adalah tubuh putrinya yang sedang terbaring di atas brankar. Lehernya diperban dengan beberapa kali lilitan. Mendengar decitan pintu, mata amber itu terbuka. Ia menatap lurus ke arah pasangan paruh baya yang mendekati tempatnya berbaring.

Leonor membuka mulut. Namun suaranya tidak bisa keluar. Rasa perih malahan menjadi pengganti.

"Jangan bicara dulu, pita suara kamu terluka." ujar Lucy. Wanita itu membantu anaknya untuk duduk dengan bersandar disandaran brankar yang ia naikkan.

"Mungkin dia haus." Dalton berucap. Saat itu juga Lucy berpindah meraih gelas berisi air hangat. Ia menyendokan air dan mendekatkannya di mulut Leonor.

Leonor membuka bibirnya yang kering dan terasa mati rasa itu sambil menahan rasa ngilu.

"Pelan-pelan nelannya." ujar Lucy melihat gadis itu kesusahan menerima segelas air itu. Tanpa suara Leonor merintih. Ia menjauhkan mulutnya saat Lucy mengangkat satu sendok lagi. Gadis itu menggeleng, menolak air itu. Tenggorokannya panas dan perih karenanya.

"Udah, jangan lagi. Leonor kesakitan." ujar Dalton.

Lucy menurut dan meletakan kembali gelas dan sendok pada tempatnya. Ia menurunkan kembali sandaran hingga Leonor kembali berbaring.
"Tidur aja ya." ujar wanita itu mengelus kepala Leonor.

"Kamu juga tidur, biar aku yang berjaga." Dalton berkata sambil menunjuk sofa yang sediakan rumah sakit untuk ruangan VIP. Lucy tidak menolak, ia membaringkan tubuhnya di sofa samping Leonor. Ia tidur menyamping agar bisa melihat. putrinya yang sudah memejamkan mata. Dalton menarik kursi di sudut ruangan, lalu mendudukan diri di sana. Namun sebelum itu ia melepas jaketnya untuk menjadi selimut istrinya.

Paginya, Leonor terbangun mendengar suara berisik dari sana. Sayup-sayup ia mendengar suara Dalton yang berpamitan. Perlahan ia membuka matanya.

"Sudah bangun?"

Leonor mengalihkan pandangannya ke sosok paruh baya. Daniella, wanita itu tersenyum padanya.
"Bagaimana? Apa kamu merasakan sesuatu yang sakit di tubuhmu?" lanjutnya bertanya.

Pintu kamar mandi terbuka. Lucy keluar dengan wajah yang segar setelah mencuci muka.
"Leonor untuk dua hari ini tidak boleh bicara Dan." ujarnya memberitahu, hingga membuat rasa tak nyaman Daniella karena Leonor tak kunjung menjawab langsung hilang.

"Kirain kenapa, Mbak." ujar Daniella.

"Eh iya aku datang tuh mau ngantar makanan buat kalian, eh tahu-tahunya Mas Dalton buru-buru mau kerja." lanjutnya sambil menata makanan yang ia bawa dari rumah.

"Kaiser udah makan makanan bergizi kan Dan?" tanya Lucy memastikan.

Danilla mengangguk.
"Udah Mbak, tadi malam dan pagi ini aku tuh masak macam-macam sayur sama daging. Aku juga maksa dia minum susu yang dia benci. Aku juga nyiapin buah-buahan sebagai pencuci mulut. Heran tuh anak ya, udah tahu lemas masih aja ngenyel pergi ke sekolah. Untung aja aku tuh maksa dia lagi buat bawa bekal. Semoga aja benar-benat dia makan." celoteh Daniella membuat Lucy terkekeh.

A L A M [END]On viuen les histories. Descobreix ara