A L A M 41

911 137 4
                                    

Leonor berlari cepat menuju salah satu ruangan di rumah sakit yang dulunya merupakan tempat kerjanya. Gadis itu membuka pintu. Ia memperhatikan orang-orang yang berada di atas brankar. Ia mencari keberadaan Alam yang beberapa saat lalu menghubunginya di tengah malam. Gadis itu terpaksa diam-diam menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Freya. Tirai terakhir yang berada di ujung adalah pilihan terakhirnya. Perlahan ia menyingkap benda itu dan orang yang ia cari sedang terbaring mengenaskan. Sosok Alam menyengir seakan yang terjadi padanya bukanlah apa-apa.

Leonor menutup kembali tirai agar ia bisa leluasa mengomeli lelaki itu.
"Lo dari mana aja? Ha? Kenapa sampai segini? Lo bisa nggak sih sesekali nggak luka-luka?!" Leonor mendudukan dirinya dengan kasar di kursi yang disediakan. Gadis itu memelototi Alam yang masih tidak melunturkan senyumnya.

"Ayo omelin gue lagi." Alam dengan semangat berbicara. Leonor mangap di tempat. Apa ada orang waras di dunia ini yang suka diomelin? Sepertinya hanya Alam seorang. Ah ia lupa, lelaki itu memang tidak sepenuhnya waras. Pantas saja.

Leonor menghela napas. Ia menarik kursinya agar semakin dekat dengan lelaki itu.
"Kenapa lagi sekarang?" tanya gadis itu dengan suara yang rendah.

Alam menggeleng.
"Cuman perkara kecil." ujarnya.

"Gue minta lo ke sini biar gue nggak sendirian amat di tempat ramai ini. Biar kelihatan masih ada yang peduli." cengirnya kemudian. Leonor terdiam, ia mengerti maksud dari lelaki itu. Alam tidak ingin semakin berkecil hati. Pasien yang berada di sana rata-rata dijaga oleh keluarga dan orang-orang terkasih. Jujur hati gadis itu sakit mendengarnya. Ia tak bisa menbayangkan bagaimana jika dirinya yang berada di posisi Alam.

Leonor meneliti lebam di tubuh lelaki yang memang sedang shirtless itu. Matanya nanar melihat bekas-bekas mengerikan itu.

"Sera, lo bisa mijit punggung gue nggak? Ngilu banget ini." pinta Alam. Tanpa disuruh lelaki itu membalik badan menjadi tengkurap. Kali ini Leonor tak bisa untuk tak terkejut. Seluruh punggung lebar itu memerah dan beberapa bagian tampak membiru. Gadis itu bangkit dari kursinya dan duduk di tepi brankar. Tangannya yang sedikit gemetar menyentuh salah satunya.

Kenapa rasanya ia ingin mengeluarkan sesuatu? Ia sebelumnya tak secengeng ini, namun melihat penderitaan Alam sampai ke tahap ini, rasanya ia tak sanggup lagi.

"Kenapa lo nggak ngelawan sih? Ha?! Lo hampir mati tahu nggak?" celoteh kesal Leonor dengan suara yang serak. Gadis itu membuka tas kecilnya, mengeluarkan minyak angin yang selalu ia bawa kemana-mana.

"Nggak bisa gue tuh." Alam berkata dengan ringan. Lelaki itu memejamkan mata, menikmati permukaan tangan kasar Leonor yang mengelosi minyak angin di punggungnya dengan lembut dan hati-hati.

"Lo tahan ya, sedikit sakit ini tuh. Gue nggak mijit tapi ngurut, biar darah lo yang beku itu pecah." tutur Leonor. Gadis itu mulai mengurut lebam-lebam di punggung Alam dengan pelan. Ia berusaha agar tidak memberikan sakit yang berlebihan untuk lelaki itu. Beberapa waktu tidak ada lagi yang membuka suara. Alam juga tampak menikmati walaupun sesekali ia meringis.

"Sera." lelaki itu memanggil.

"Kenapa." sahut gadis itu menanggapi.

"Kapan lo ngajak gue ke kampung halaman lo? Lo udah setuju bakalan ajak gue ke sana." pinta Alam mengungkit pembahasan mereka saat berada di Menara Everlasting.

Leonor menghentikan pergerakan tangannya di atas punggung Alam. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Sebenarnya ia juga ingin melihat kampung halamannya. Sudah sangat lama ia ke sana.
"Lo maunya kapan?" tanya gadis itu pada akhirnya.

"Pekan depan gimana? Nunggu sampe lebam gue sembuh. Gue mau ngisi kegantengan gue yang sempat berkurang karena ini." ucap Alam dengan serius. Dalam diam Leonor mencibir. Di keadaan yang hampir sekarat saja lelaki itu masih saja narsis.

A L A M [END]Where stories live. Discover now