A L A M 40

966 131 6
                                    

Ruangan berukuran besar menjadi saksi keterdiaman sepasang anak dan ayah yang menghuni tempat itu. Keterdiaman ini sudah berlanjut sejak beberapa menit lamanya tanpa ada niatan memutuskan. Alam memperhatikan Anston dengan kondisi tidak baik-baik saja, setelah ia menginjakan kakinya di mansion keluarga.

"Kenapa kamu masih bersikeras mencari makam Ibumu?" Anston akhirnya mengatakan deretan kata-kata setelah puas memandang putranya yang terduduk di karpet, di bawah kakinya.

Alam mengangkat kepala, menatap pria itu dengan senyum tipis di bibirnya yang robek.
"Karena aku anaknya." ia menjawab.

"Aku tidak menyukai jawaban itu." Anston menyela.

Alam menipiskan bibirnya yang perih. Ia tak sanggup bergerak kemana pun mengingat punggungnya yang nyeri diinjak dan dihajar oleh anak buah ayahnya satu jam yang lalu.
"Kenapa Ayah masih menyembunyikan makam Ibu? Ini sudah delapan tahun sejak Ibu meninggal. Aku ingin melihatnya." ucap lelaki itu disela ringisannya.

Anston tidak langsung menjawab. Ia kembali memperhatikan tubuh Alam yang hampir tumbang itu.
"Pulang lah. Jangan lakukan hal itu lagi. Jangan membuatku marah dan kamu akan mendapatkan hal ini sekali lagi." ucap pria itu.

"Lakukan apa yang aku katakan, aku tidak akan mengulang perkataanku." lanjutnya setelahnya.

Alam berusaha menopang tubuhnya. Dengan tertatih-tatih ia keluar dari ruang kerja Anston. Untuk bisa sampai ke bawah, ia harus menuju lift yang terletak di ujung lorong, mengingat ia sedang menginjak lantai ketiga. Lelaki itu bersandar di dinding sembari menekan tombol yang ada di sampingnya. Belum sempat pintu itu tertutup rapat, sebuah tangan menahan. Otomatis lift terbuka kembali. Sosok Sofia dengan dres kembang putihnya ikut bergabung.

Keduanya tenggelam di dalam kotak persegi panjang itu. Sofia melirik Alam yang tampak memejamkan mata. Jamarinya yang lentik bergerak untuk mengelus rahang yang lecet akibat tergores benda berkarat dan tajam itu.
"Kamu dipukul, lagi?" tanya gadis manis itu dengan suara merdu yang mendayu.

"Jangan lakukan apapun, aku tidak ingin menambah memar." tutur Alam melepaskan tangan Sofia dari sana. Gadis itu mengulum senyum.

"Aku tidak akan melakukan apapun kok." Sofia mendekatkan tubuhnya agar mengimpit tubuh Alam yang lemas. Gadis itu menepuk-nepuk dada lelaki itu dengan pelan sambil memperhatikan Alam yang benar-benar terganggu.

"Kamu laki-laki tampan yang pernah aku lihat. Aku menyukaimu, tapi aku juga membencimu." Sofia berbisik di telinga saudara tirinya setelah berjinjit agar menyamai tinggi mereka.

Alam membuka matanya. Ia menatap gadis itu dengan napas berat.
"Jangan memulai lagi Sofia. Aku sudah paham dengan taktikmu. Dengar, aku tidak akan merebut posisimu dari garis pewaris. Hidupku mungkin tidak akan bertahan lama. Jadi jangan khawatir tentang itu. Aku menyayangimu, kamu saudara perempuanku. Berhenti, aku tidak akan melakukan apapun sampai kapan pun." ujarnya lelah.

Sofia melipat tangan dengan angkuh.
"Kakak sayang, hati manusia tidak ada yang tahu. Jangan mengemis belas kasihan dengan alasan kamu akan mati dengan segera. Tidak ada yang tahu di sisi gelap yang tidak dapat tercium, kamu sedang berencana merebut milikku dan berjuang untuk sembuh." gadis itu berkata dengan lancar.

"Karena Ibuku yang bodoh itu masih membiarkanmu hidup, aku akan memberinya hadiah setelah aku mendapatkan keinginanku. Namun sebelum itu, aku harus menyingkirkanmu." Sofia kembali berucap dengan tawa puasnya setelah merencakan sesuatu yang sempurna.

"Jangan lakukan itu, dia Ibumu, Sofia. Sungguh, aku tidak terobsesi dengan menjadi pewaris. Aku tahu sebagian pekerja di sini di bawah kendalimu, sehingga saat nanti kamu melakukan sesuatu, akulah yang akan menjadi korban. Setidaknya jangan untuk sekarang, aku sedang tidak ingin berurusan dengan siapapun." Alam berseru.

A L A M [END]Where stories live. Discover now