Axel menaikan alis, lalu menjilat es krim di tangannya. "Ada es krim di bibir lu."
Wina masih terkejut dengan sentuhan Axel, belum lagi apa yang pemuda itu lakukan setelahnya. Menjilat es krim yang sebelumnya menodai bibirnya?
Te—terlalu vulgar!
Mata gadis itu semakin melebar, jantungnya bahkan sudah tidak bisa di kondisikan, itu berdetak terlalu kencang hingga dia takut Axel bahkan bisa mendengar suaranya. Wina menelan ludah. "Ja—jadi, apa yang mau dibicarain?"
Axel menatap Wina untuk beberapa detik lagi, seakan dia mencari sesuatu di mata gadis itu. Tapi mungkin dia tak menemukan apa-apa, kemudian dia berbicara. "Masih hal yang sama, pertanyaan yang belum juga lu jawab."
Wina menelan ludah, dia gugup. Samar-samar dia sepertinya tahu arah pembicaraan ini.
"Jadi sebenarnya, kenapa lu menghilang tiga tahun yang lalu? Kenapa gue gak bisa lagi ngehubungi lu? Apa yang udah gue lakuin sampai lu pergi dari gue? Bukannya lu janji untuk gak ninggalin gue?"
Mengalihkan pandangannya pada es krim yang perlahan mencair di tangan. Wina tak sanggup menatap pemuda yang duduk bersebelahan itu. Dia menggenggam es krim dengan kedua tangan, menunduk dan berharap bisa pergi dari tempat ini. Tapi apa daya? Kakinya sekarang tak begitu leluasa, itu masih terasa sakit saat dipakai memijak.
"Win, lu gak berpikir untuk menghindari ini lagi kan?" Axel mendesak, mencondongkan tubuh dan memiringkan kepalanya agar dia bisa kembali menatap wajah gadis itu.
Merasakan wajah Axel mendekat, Wina berkedip beberapa kali, dan tiba-tiba sebuah kilasan berkelebat di kepalanya. Dia pun menarik diri, duduk tegak dengan kebulatan tekad yang seketika. Melalui ketegasan yang sebelumnya hilang, Wina kemudian membalas tatapan Axel. Mungkin sebelumnya dia memang gugup, tapi sebuah statement di kepalanya mendadak memberikannya keberanian. Kemudian, ada tatapan menantang di matanya.
Axel menangkap semua itu pada indra penglihatannya, dan sebuah senyuman berusaha dia tahan. Semakin dilihat, gadis yang dia curahkan perhatian ini semakin terasa menarik.
"Kenapa Kakak terus-terusan nanya hal ini?" Wina memulai.
Axel menaikan sebelah alisnya. "Bukannya ini wajar untuk ditanyain? Terakhir gue ingat, lu masih jadi pacar gue sebelum menghilang tiga tahun lalu."
Seketika itu wajah Wina memerah, dia malu mendengar kata pacar tanpa tedeng aling-aling itu, dia gugup, dia nyaris kehilangan kata-kata, tapi dia juga masih bersikeras untuk terlihat tangguh. Keadaan saat ini, seharusnya tidak membuat Axel menjadi korban! "Ya! Itu tiga tahun yang lalu. Tapi sekarang, Kakak seharusnya gak lagi terbelenggu hal-hal di masa lalu itu, kan?"
Pernyataan bertele-tele Wina sejujurnya membuat Axel semakin bingung. Tapi lalu apa? Kesadaran pemuda itu untuk gadis di sebelahnya jauh melebihi tiga tahun belakangan ini. "Kenapa enggak? Gue masih harus tahu kan?"
"Kenapa harus?"
Axel menghela napas berat, memutar tubuhnya untuk menghadap Wina. Melipat satu kaki di atas bangku taman yang tengah mereka duduki. Matanya tajam menatap gadis itu, penuh dengan keseriusan. "Karena, Wina Austria, untuk mengejar lu lagi, gue harus tahu kenapa lu ninggalin gue sebelumnya."
Wina nyaris jatuh dari kursinya. Kenapa pemuda di depannya ini tidak mengerti arti terselubung! Bagaimana dia bisa mengucapkan hal-hal seperti itu secara terang-terangan?! Dia tidak bermain sesuai logika remaja! "Me—mengejar?!"
"Gue pikir gue cukup jelas dengan tindakan gue." Ada kepercayaan diri yang terdengar mutlak dari nada Axel, yang membuat Wina berhalusinasi bahwa dia tidak berbicara dengan Axel Pranata—pemuda di masa lalunya—tapi Axel Pranata si Ketua BEM! "Gue bukan playboy, Win. Ngapain juga gue main-main ngasih perhatian ke cewek?"
Dia ngasih perhatian?! Jadi selama ini Nazwa dan Rifka bukannya berhalusinasi! Dia benar-benar ngasih perhatian buat ngejar gue?! Tapi—tapi dia kan—
"Tapi bukannya lu pacaran sama Kak Sonia?! Aw—!" Lupa bahwa kakinya tengah membengkak saat ini, Wina berdiri dengan emosi meluap-luap.
Sontak Axel mendukung gadis itu yang langsung oleng, mendudukannya kembali dengan hati-hati. Raut wajah pemuda itu kusut. "Bisa gak hati-hati? Lu itu lagi cedera, Wina!"
Wina mengabaikan kekhawatiran Axel, ekspresi gadis itu kini adalah campuran kejutan dan ketidakpercayaan. "Lu mau mengkhianati Kak Sonia?! Dan nyeret-nyeret gue ke dalamnya?! Pantas aja dia ngebuat gue jadi sasaran selama ospek! Dia udah sadar kalau lu mau selingkuh?!"
Menarik napas panjang, Axel dengan serius menatap Wina. "Win, lu itu ngomong apa sih? Sonia itu bukan pacar gue."
"Gue ngomongin soal lu yang selingkuh dari—" Wina terdiam beberapa detik, lalu matanya membulat tak percaya. Nyaris ingin berdiri untuk kedua kalinya, jika saja Axel yang menyadari itu tak menahan pundaknya. Mengedipkan matanya beberapa kali, suara Wina kemudian terdengar agak bergetar. "Barusan lu bilang apa? Kak Sonia bukan—"
"Bukan pacar gue." Axel melanjutkan.
HAH?!
Rasanya, rahang Wina lepas, saking lebarnya dia membuka mulut akibat terkejut.
ESTÁS LEYENDO
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 31
Comenzar desde el principio
