SII - XXXIV - Area Favorit Warden

40 6 4
                                    

Rasa tegang menjalari tubuhku, rasanya seperti ingin cepat keluar dari hutan yang dipenuhi kawanan serigala ini. Glenda bergeming, senyumnya masih tersungging. Tentu saja, bukan dirinya yang diincar oleh kawanan serigala. Tatapan menghunus laki-laki itu dapat kurasakan, sekalipun aku tidak melihatnya secara langsung. Terlanjur penasaran bagaimana raut wajahnya, kulirik wajahnya dari sudut mata, aneh, karena pria itu memalingkan pandangannya dariku ketika kami bersitatap dan menatap tanah. Begitukah? Tanah hutan yang lembap lebih baik untuk dilihat daripada aku yang seorang darah campuran di mata mereka?

"Phils, kami hanya ingin berkunjung," ujar Glenda.

Pria yang memalingkan pandangannya dariku itu mendongak menatap Glenda. "Bukan kehadiranmu yang kami permasalahkan."

"Mengapa?" Glenda menjeda, "bukankah Blyhte Alison sebenarnya juga berhak ada di dalam hutan Cannock?"

"Apa maksudmu, Glenda?" bisikku padanya. Aku tidak ingin menyebut Glenda kehilangan kewarasan, tetapi perkataannya sungguh tidak masuk akal. Anehnya, kawanan werewolf itu berhenti mengeluarkan protes, menyisakan keheningan mencekam dari ketidaksukaan yang mereka tampakkan dengan jelas terhadapku.

Glenda merangkul tanganku sebelum berjalan semakin masuk ke dalam hutan, membawaku melalui jalanan setapak yang tidak kuketahui menuju ke mana. Gesekan daun kering terdengar seiring langkah kaki kami. Aura yang berpendar dari para werewolf itu tak kurasakan menghilang, justru beriringan. Ketika kulirik mereka dari sudut mata, pria yang disebutkan bernama Phils oleh Glenda itu memimpin kawanan mengikuti kami berdua dalam diam.

Aku yakin jika Demelza masih berkeliaran seperti saat itu, dapat dipastikan kakiku tidak akan menginjak bagian terdalam hutan ini karena dihadang terlebih dahulu.

"Ke mana kau membawaku?" tanyaku, memecah keheningan sekalipun dengan berbisik. Mengikuti Glenda yang merangkulku tanpa tahu arah seperti ini membuatku waspada, aku sama sekali tidak dapat membaca pikirannya.

Wanita itu balas berbisik, "ke tempat di mana rasa penasaranmu berakar."

Ujung penantian panjang itu rupanya menjelma menjadi sebuah kawasan hunian dari kayu, jumlahnya cukup banyak. Di hunian-hunian kayu itu, sosok manusia muncul mengintip dari baliknya, mengawasi keberadaanku yang termenung di samping Glenda. Ada tempat seperti ini di dalam hutan?

"Hunian werewolf," celetuk Glenda saat dia membawaku melangkah masuk ke dalamnya, "selamat datang, Blyhte."

"Vampire tidak seharusnya datang ke area kami, hentikan, Glenda!" Phils berseru dari belakang kami.

Langkah kakiku kaku. Glenda rupanya tidak peduli dengan teriakan Phils dan tetap membawaku melangkah maju. "Glenda, mungkin kita harus kembali."

Glenda mengedikkan bahu, menatapku lekat. "Bukankah kau yang ingin kemari? Ini tempatmu, Blyhte. Mereka seharusnya menyambutmu."

Kandang serigala. Tatapan-tatapan itu terhunus ke arahku. Glenda membawaku hingga kami tiba di depan sebuah pondok kayu yang di depannya berdiri seorang remaja laki-laki, arah pandangnya tidak jelas. Dia menatapku tetapi seperti tidak fokus, matanya terlihat kosong.

"Apa yang membawa anda kemari, Luna?"

Rasanya seperti disengat ribuan lebah ketika untaian kata itu meluncur dari bibirnya. Netra abu-abu itu menatap ke bawah selagi dia membungkukkan setengah badan dengan satu tangan di dadanya. Suaraku tercekat di tenggorokan, kuharap aku tidak terlihat seperti kera yang kebingungan saat ini.

Glenda membalas tatapanku dengan gerakan alisnya, memintaku membalas sapaan remaja laki-laki itu. Wanita tidak berperasaan, dia tidak membantu sama sekali. Aku tidak mengerti situasi ini.

"Siapa yang kau sebut Luna?" Apa dia tidak mencium bau darah vampireku? Seharusnya dia menggeretakkan gigi dan menyerang maju begitu menciumnya.

Remaja laki-laki itu membalas, "aroma anda sangat jelas sebagai pasangan Alpha kami, meski saya tidak dapat melihat anda."

Phils dan kawanannya hanya berdiam diri di belakang sana dan tidak menyerangku seperti seharusnya. Musuh bebuyutan mana yang disambut sebaik ini di teritori mereka sendiri?

"Haruskah kutinggalkan kau di sini, Blyhte?" celetuk Glenda, "sepertinya akan membutuhkan waktu sampai kau menerima faktanya."

"Alpha kami memiliki tempat kesukaannya di wilayah kami."

Aku berjalan sejajar dengan remaja tunanetra itu menyusuri hutan. Glenda tinggal di pusat kawasan pack, bersama Phils yang masih berang karena wanita itu membiarkanku masuk ke dalam kawasan mereka. Langkah kaki remaja di sampingku tegas, seolah seluk-beluk wilayah pack ini sudah diketahuinya tanpa perlu membuka mata sepertiku. Dia mengatupkan mulut sepanjang langkah kami menyusuri wilayah pack, membuat perjalanan kami seolah seperti dia tengah mengantarkanku menuju ruangan hakim yang mana aku hendak diadili atas kesalahan yang kulakukan.

Derasnya arus sungai menyapa telingaku, suara cambukan air dengan bebatuan besar yang mengalir tidak tahu ke mana itu segera terwujud begitu sungai kecil yang cukup deras mengalir di depan kami. Airnya begitu jernih dan berambisi, seolah berlomba-lomba menuju hilir.

"Kita akan menyeberangi sungainya?" tanyaku karena remaja itu bergeming. Kalau memang harus menyeberang, maka aku harus mencari cara untuk membawanya serta. Arus sungai ini cukup deras.

Gelengan remaja laki-laki yang tidak kuketahui namanya itu membuatku semaki kebingungan. Alpha mereka suka berendam di sungai ini saat musim panas? Begitukah?

"Alpha Warden senang berdiam diri di tempat ini, mengamati aliran sungai," ujarnya kemudian, "tempat ini juga tempat berdiam diri alpha sebelumnya."

Aku mengernyit. "Lycaon?" Apa yang membuat pria itu mengamati aliran sungai? Keheningan yang mampu menghilangkan perasaan cemas akan sesuatu. Apa yang sebenarnya dia cemaskan? Rasa penasaranku terjawab saat remaja laki-laki itu mengangguk, membiarkanku termenung meresapi alur rumit yang kususun dengan cepat kurangkai sedemikian rupa. Warden adalah adik Lycaon dan Lycaon adalah mate Demelza. "Apakah ...."

"Benar," balasnya, membuatku tidak dapat berkata-kata setelahnya, "tempat ini adalah saksi saat Alpha Warden memutus ikatannya dengan Demelza karena Demelza mencintai alpha sebelumnya, Lycaon."

Hatiku mencelus. Tempat ini pastilah menyiksa Warden.

Belum habis aku dibuat termenung oleh perkataannya, dia kembali berujar, "tetapi, Luna. Anda harus tahu bahwa sakit yang diterima alpha jauh lebih besar saat dia hanya dapat melihat anda dari kejauhan dibandingkan memutus hubungannya dengan Demelza." Dia tersenyum tipis. "Melihat anda bersama manusia laki-laki lain yang bersama anda. Alpha Warden adalah alpha kami yang memiliki takdir paling rumit di antara alpha-alpha lain sebelumnya yang memimpin pack."

"Aku bukan Luna kalian," elakku. Kudengar bahwa gelar Luna didapatkan ketika seseorang menjadi pasangan alpha. Yang benar saja dia memanggilku seperti itu. Demelza pasti menerkamku jika sampai mendengarnya dan sensasi sengatan yang kurasakan ini, sangat tidak nyaman.

"Ikatan tidak dapat dikaburkan, Luna. Jejak Alpha Warden pada anda, aroma itu, kami bangsa werewolf mengenalinya," balasnya. Aku mengernyit, aku butuh Glenda dan teh rendaman Biston Betularia atau katak palsunya. "Meskipun Alpha Warden tidak lagi berkuasa, anda tetap menjadi luna kami, luna bagi pack yang kami tinggali, pasangan sejati Alpha Warden."

"

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.



Hunting the Werewolf [On Going]Onde histórias criam vida. Descubra agora