SII - XXVI - Pesta di Wolverhampton

59 8 0
                                    

Nyalakan fitur background hitam untuk mendapatkan pengalaman membaca yang lebih seru dan menegangkan.

Selamat berkelana dalam dunia fantasi yang telah kuhadirkan untuk kalian.

Berbagai spekulasi hinggap di benak orang-orang, mengenai Shane yang menghilang dan tidak kembali hingga masa perkuliahan berakhir. Tanpa mereka ketahui apa yang telah terjadi, tanpa sadar bahwa Shane yang mereka kenal bukanlah seorang manusia pada umumnya.

Pesta kelulusan diadakan di halaman rumah Meridia yang terletak di Wolverhampton, begitulah yang teman-teman kami sepakati sebelumnya. Perempuan yang menjadi tuan rumah itu tengah bernyanyi dengan suaranya yang merdu bersama beberapa perempuan lain. Aku yang tengah mengunyah cupcake duduk mengamati mereka di kursi yang disusun paling belakang, dekat pagar putih yang berbatasan dengan halaman parkir kendaraan teman-teman kami.

Rumah Meridia cukup besar dengan halaman luas beralaskan rumput hijau pendek. Sepanjang mataku mengamati, warna-warna gaun yang tengah mereka kenakan tampak seperti pelangi kala senja. Ini pesta informal, tetapi pakaian yang mereka gunakan tampak seperti menghadiri pesta prom atau barangkali aku yang mengenakan crop top hitam dan rok senada di atas lutut yang terlalu menganggap santai acara ini.

"Alison Blyhte!"

"Namaku Blyhte Alison," ralatku sembari menutup mulut kembali, urung menggigit cupcake setelah melihat Ned menarik kursi di depanku.

"Tidak berbaur? Kulihat Rodney meladeni beberapa perempuan setelah dia menyapa Meridia sebagai tuan rumah." Ned menunjuk Rodney yang dikerumuni beberapa perempuan.

Aku mengikuti arah pandangnya. Benar saja, beberapa perempuan bahkan tengah menawarkan gelas minuman kepadanya. "Lalu?" tanyaku, menggigit cupcake dan mengunyahnya.

"Dia yang memintaku kemari, untuk menjagamu selagi dia terjebak karena meladeni mereka," ujarnya, "Omong-omong, Blyhte, tahukah kau kemana Shane pergi?"

"Tidak." Kuletakkan kertas yang membungkus cupcake kemudian meraih gelas tinggi di atas meja.

Rodney meminta Ned menemaniku selagi dia terjebak dengan para perempuan di sekelilingnya. Ralat, Ned bilang untuk 'menjagaku'. Memang menjaga dari apa? Cordelia tidak lagi mengacau karena Glenda yang secara 'tidak sengaja' mengalahkannya. Shane juga telah lama tidak muncul di sekitar kami setelah itu.

"Setelah ini, kau akan bagaimana, Blyhte?" tanya Ned.

"Melanjutkan studi atau mencoba melamar pekerjaan," jawabku, berusaha memberikan jawaban normal kepadanya alih-alih 'mencari Shane yang telah lama menghilang dan tidak menampakkan batang hidungnya'.

Ned terkekeh. Barangkali jawabanku berhasil menggelitik perutnya. "Kau kebingungan? Ingin aku membantumu memilih salah satu?" tawarnya.

Aku menggeleng cepat. "Terima kasih untuk itu, kurasa aku akan melanjutkan studi." Mataku menangkap cepat pergerakan seseorang yang baru saja meletakkan microphone dan berlari kemari, memeluk leher Ned dari belakang.

"Blyhte, hi!"

"Maaf, Blyhte, tapi kurasa aku tidak bisa menemanimu lagi. Akan kubantu Rodney agar dia bisa segera bebas dari sana dan menemanimu kembali." Ned berdiri, menggandeng lengan perempuan yang menemani Meridia keluar dari hutan Cannock Chase kala itu, kekasihnya akhir-akhir ini, yang baru kuketahui bernama Galechka.

Hening, tidak benar-benar hening karena musik dan keramaian di sekitar tetap terjadi seperti sebelumnya, hanya saja tidak ada lagi yang mengajakku bicara setelah Shane pergi bersama Galechka. Aku merasa udara senja hari ini cukup panas. Apakah karena padatnya orang yang menghadiri acara ini? Padahal aku seharusnya merasa kedinginan karena pakaian yang kukenakan.

Aku baru saja hendak mencomot satu cupcake lagi ketika Rodney datang dan menarik kursi asal untuk duduk tepat di sampingku. "Bagaimana?" tanyaku padanya, menggigit cupcake kedua setelah memberi Rodney cupcake terlebih dahulu.

"Tidak ada yang tahu, tetapi ingatan mereka terhadap Shane tidak menghilang." Rodney mengamati cupcake di tangannya, mengupas kertas pembungkusnya. "Dia bisa saja melakukannya, menghapus ingatan teman-teman kita. Menurutmu mengapa, Blyhte?"

"Mungkin untuk membuat kita waswas dan ketakutan? Makanlah, cupcakenya lezat," ujarku, kemudian menepuk pipi berulang kali setelah melahap sisa cupcake kedua.

Dalam beberapa waktu kemudian, langit senja telah bergulir menjadi kegelapan bertabur bintang. Lampu-lampu taman dan dekorasi menyala. Beruntung langit Wolverhampton sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan, tetapi pening yang tiba-tiba kurasakan ketika aku tengah menggulir layar ponsel sungguh mengganggu. Kuremas rambut, mencoba mengusir rasa tidak nyaman pada kepala dengan menggelengkannya berulang kali. Gejala yang akhir-akhir ini kian sering terjadi. Ponsel yang kugenggam meluncur turun ke rumput, pening kali ini terlalu hebat sampai suara Rodney yang bertanya entah apa semakin membuatku sakit kepala.

"Blyhte! Kau sakit kepala lagi? Kau bawa obatnya?" tanya Rodney terburu, kulihat dia menyambar tas yang kuletakkan di atas meja, mengobrak-abrik isi di dalamnya lalu berdecak dan menyalakan senter dari ponsel.

Dari sudut pandangku, kondisi di sekitar terlihat berputar, terkadang buram lalu menjadi sangat jelas seperti tengah mengintip melalui kaca mikroskop. Aku jelas telah pergi ke dokter untuk menangani masalah ini, mereka bilang ini mungkin gejala kelelahan dan memberi obat sakit kepala biasa karena tidak menemukan indikasi penyakit apa pun. Dipikir-pikir lagi, kelelahan apa? Setelah kelulusan aku bahkan lebih sering menghabiskan waktuku di dalam rumah, paling jauh hanya pergi ke taman kota.

"Tunggu di sini, aku akan mengambil air di mobil."

Aku bisa mendengar jelas bahwa Rodney tengah berlari menjauh. Berulang kali menggelengkan kepala, aku menyerah, kusandarkan kepala pada sandaran kursi. Bahkan jika seseorang menyuruhku untuk berdiri, aku tidak yakin dapat melakukannya tanpa limbung atau kesusahan berdiri tegak tanpa berpegangan pada sesuatu. Mataku terpejam erat dengan kening berkerut dalam. Kadangkala seperti yang juga tengah kurasakan saat ini, leherku terasa panas kering seolah telah dijemur di bawah sinar matahari yang sangat terik.

"Blyhte, buka mulutmu, kau harus minum obatnya dulu."

Aku mendengar suara Rodney kembali, suara barang-barang yang diletakkan di atas meja secara terburu, juga sesuatu yang dibuka dengan tergesa. Detik berikutnya, tengkukku terasa diangkat perlahan dan di dalam mulutku bersarang sesuatu yang terasa pahit begitu aku menggerakkan lidah.

"Pelan-pelan, Blyhte, jangan terburu," ujar Rodney setelah aku meneguk air dari dalam botol yang disodorkannya.

Aku masih memejamkan mata, menggosok leher yang panas dan memijat kening berulang kali ketika Rodney berkata bahwa dia akan meletakkan botol minum dan tasku terlebih dahulu di mobilnya. Fakta bahwa leherku terasa panas membuatku berpikir aku tengah terserang panas dalam atau mungkin dehidrasi. Napasku memberat, segala aroma di sekitar seperti bercampur aduk dan mulai membuatku mual. Baunya lebih parah dari bau apek baju bekas pakai yang tidak dicuci selama seminggu.

"Rodney ...?" Aku membuka mata perlahan saat merasa tubuhku diangkat seseorang dan mencium bau hujan yang khas.

"Kita pulang sekarang," ujarnya. Rengkuhannya terasa lebih erat dengan langkah yang semakin cepat.

Kupejamkan mata kembali, kusandarkan kepala pada bahu Rodney yang setengah berlari meninggalkan halaman rumah Meridia.

Kupejamkan mata kembali, kusandarkan kepala pada bahu Rodney yang setengah berlari meninggalkan halaman rumah Meridia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hunting the Werewolf [On Going]Where stories live. Discover now