VII - Telah Diputuskan

121 16 2
                                    

Perkiraanku salah. Salah besar menganggap bahwa Rodney mengetahui sesuatu. Nyatanya, aku merasa dia hanya terlalu takut pada citranya jika sampai ketahuan.

Aku menyibak rambut ke belakang kasar, menggeram kesal. Rasanya ingin menjerit hingga burung-burung ketakutan dan terbang. Aku ditodong perasaan bersalah pada Rodney, tetapi juga didesak keinginan pribadiku yang membakar jiwa.

Ketika aku kembali menggeram dengan suara lebih keras, ibu muncul melongok dari balik pintu setelah memutar kenop perlahan. "Blyhte? Apa kau perlu bantuan?"

Aku menggeleng. "Tidak, maaf."

"Tidak apa-apa, sweetheart." Ibu tersenyum, kedua alisnya lalu terangkat seperti teringat sesuatu. "Rodney ada di depan, dia mencarimu."

"Aku tidak mau," putusku cepat.

Sejak hari dimana kami bersitegang, aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Rodney. Mengendarai mobil sendiri setelah sekian lama pulang-pergi bersama orang lain membuatku sedikit canggung.

Rodney Halard, laki-laki itu sepertinya memilih meruntuhkan dinding egonya terlebih dahulu karena dia selalu mencoba berbicara padaku beberapa waktu belakangan ini. Aku yang memertahankan keegoisanku sendiri mulai merasa lelah, empat belas hari adalah waktu terlama dalam sejarah pertemanan kami. Suatu saat ketika aku berada di halaman parkir universitas, Rodney merebut kunci mobilku secara tiba-tiba.

"Kau membuntutiku ... lagi." Rahangku tidak mengeras, begitu pula dengan tangan yang tidak mengepal, dan raut wajah santai. Aku berusaha menyembunyikan rasa kesalku padanya.

Rodney menggenggam kunci mobil, dengan bibir yang enggan mengukir senyuman, dan sorot matanya lurus menatapku. "Mari buat kesepakatan." Dia mengangkat kunci mobilku yang dirampasnya tinggi-tinggi. "Aku akan memberikan kunci ini, tapi kau harus berhenti menghindariku. Berhenti menggunakan kendaraanmu sendiri, kembali seperti dulu."

Tanganku bersedekap, permintaan Rodney sedikit aneh, seakan dia berusaha memasang tali kekang kepadaku. Tidak tahu bagian mana dari pulang-pergi menggunakan kendaraan sendiri yang terlihat janggal di mata Rodney, tapi aku yakin laki-laki itu serius. Belum lagi pernyataan setelahnya yang jauh lebih mengherankan.

"Tambahan, aku akan mengizinkanmu mengikuti perburuan itu," putus Rodney, meneguk ludah. Tangannya mengepal erat.

"Aku tidak butuh izinmu," tegasku.

Rodney membelalak, dia buru-buru meralat kalimatnya. "Maksudku bukan ... tidak, maksudku aku akan ikut denganmu." Ketegangan di wajah Rodney meluruh, sorot mata laki-laki itu penuh pengharapan, tangan yang menggenggam kunci mobilku perlahan turun dalam keadaan menggenggamnya.

Aku mengembuskan napas. Motif Rodney masih tersembunyi. Karena dia datang secara tiba-tiba dan melakukan hal ini membuatku tidak dapat menerka apa yang sebenarnya dia pikirkan, bahkan semakin memelas ketika aku memicing ke arahnya. "Aku tidak memaksamu ikut, ingat?"

Rodney mengangguk cepat. "Tidak ada yang memaksaku. Bukan kau, aku sendiri yang ingin."

"Lakukan saja yang kau inginkan," putusku lalu menyambar tangan Rodney dan merebut kunci dalam genggamannya.

Begitu aku memberi izin pada keturunan kesekian Halard yang menjadi temanku semenjak masa kuliah dan membuka kembali gerbang pertemanan kami, hari itu dia dan mobilnya langsung membuntutiku ke rumah. Meskipun rumahnya memang berada di Spring Road yang tidak jauh dari area rumahku.

Ibu berkomplot dengan Rodney, bahkan meski dia tahu bahwa aku tidak ingin bertemu Rodney hari ini.

"Kau masih kesal padaku?" Rodney berdiri di ambang pintu.

Hunting the Werewolf [On Going]Where stories live. Discover now