SII - XXX - Alasan

40 7 0
                                    

Dari kabar yang beredar, pihak pengelola Cannock Chase menutup area wisata itu beberapa hari lalu usai mereka menemukan rusa yang seperti diserang satwa buas. Berdasarkan kekhawatiran akan keselamatan pengunjung, mereka memutuskan menutup kawasan itu untuk umum selagi mengamankan area wisata dan mencari satwa buas tersebut.

Beritanya dimuat di halaman pertama koran pagi ini, kuketahui hal itu dari Nyonya Chads yang masih berlangganan koran sampai hari ini ketika aku selesai memarkir mobil di garasi. Wanita itu datang bersama seorang laki-laki yang memegang tali kekang anjingnya. Pertama kalinya aku melihat wajah laki-laki itu dengan jelas di bawah cahaya matahari, dia cukup ramah, menawarkanku untuk bergabung berjalan-jalan bersama mereka berdua, maksudku bertiga dengan anjing ras Basenji kesayangan Nyonya Chads.

Aku yang sebenarnya enggan berdekatan dengan anjing Nyonya Chads yang cukup galak itu menolak halus dengan dalih harus segera menghabiskan burger di dalam kantong kertas yang kujinjing sebelum menjadi dingin. Supaya kalian tahu saja, anjing itu tidak menggigit, tetapi dia bahagia mengejar orang-orang yang dipilihnya dan menggeram, berlagak akan menyerang, padahal tidak benar-benar dilakukannya. Lihat bagaimana cara anjing itu menatapku sekarang seolah aku adalah sebuah frisbee atau cakram terbang.

"Sebaiknya jangan pergi ke sana untuk waktu yang dekat, Blyhte. Kudengar dari Mrs. Alison kau dulu pernah pergi berkemah bersama teman-temanmu?" ujar Nyonya Chads. Dia sepertinya tidak sadar tatapan anjingnya padaku semakin lekat.

Aku mengangguk. Sepertinya Nyonya Chads mendengar mengenai aku yang mengikuti kemah satu jurusan di hutan Cannock Chase AONB. "Cukup indah ketika pagi hari," timpalku. Tidak mungkin kuberitahu mengenai Meridia yang menghilang tiba-tiba saat itu. Bisa-bisa tanpa sadar aku mencoreng tingkat keamanan wisata hutan Cannock Chase AONB.

Nyonya Chads bersama laki-laki yang ternyata adalah keponakannya memberi lambaian tangan padaku setelah kami berbincang cukup lama, anjing ras Basenjinya menggonggong beberapa kali sembari menatapku, sangat sopan.

Tirai jendela kusibak sepenuhnya hingga sinar matahari masuk menembus kaca jendela kamar. Ponsel di atas nakas kusambar sebelum duduk di tepi jendela, kugigit burger sembari menggulir layar, mengamati grup berisi interaksi antara teman-teman sekelasku dan Rodney, kebanyakan berisi hal-hal tidak penting yang membuatku segera meletakkan benda elektronik itu ke atas meja belajar. Sinar matahari yang hangat membuatku mengantuk, semalam setelah Rodney mengantarku kembali untuk kedua kalinya, aku tidak bisa tidur, tidak ada gunanya menghitung domba atau membaca buku, aku justru terlelap usai mendengarkan podcast di Youtube.

Hari demi hari usai kelulusan terasa begitu tenang, tidak ada jadwal yang mengharuskanku berangkat menuju universitas, tetapi tak ayal aku merindukan semua kesibukan itu. Selagi menunggu waktu sebelum aku mendaftar kembali untuk melanjutkan jenjang pendidikan, kuputuskan untuk menikmati ketenangan ini. Tidak kuketahui mengapa tiba-tiba Rodney tertarik untuk ikut melanjutkan pendidikannya alih-alih mencoba melamar pekerjaan menjadi model seperti yang diutarakannya kepadaku saat kami di bangku kuliah, mengingat silsilah keluarga besar Halard yang berhubungan dengan dunia majalah dan hiburan.

Aku menyambar ponsel kembali, menulis pesan di sana dan mengirimkannya kepada seseorang sebelum kembali meletakkannya ke tempat semula. Aku baru saja membuat janji temu dengan dokter pribadiku. Ada yang ingin kubicarakan mengenai kondisiku akhir-akhir ini. Sepertinya aku tidak lagi merasa pusing, tetapi justru keadaan yang tiba-tiba ini membuatku bertanya-tanya. Oleh karena itu, kuputuskan untuk menemuinya dan berkonsultasi mengenai hal ini. Kupastikan bahwa Rodney tidak akan mengetahuinya kali ini.

***

"Kurasa itu gejala yang normal, Nona," dia menjeda sebelum kembali berbicara setelah melihat kertas di tangannya, "stress bisa memicu sakit pada kepala."

Telingaku dengan normal mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh seorang pria di hadapanku. Benarkah diagnosa yang dikatakannya? Aku tidak merasa sedang stress, hanya sedang berpikir banyak hal, terutama mengenai pria di Needle Eyes Tunnel.

"Apa kau beristirahat dengan cukup seperti saranku beberapa minggu lalu?" tanyanya kembali.

Aku menggeleng, tersenyum kecil. Bagaimana bisa aku tidur dengan cukup jika setiap hari yang kuinginkan adalah menemukan benang dari semua kejadian akhir-akhir ini. "Aku sudah mencoba menghitung domba," jawabku, "tetapi tetap tidak berhasil."

Pria itu menghela napas, dia menatapku sejenak sebelum kembali menata kertas-kertas di tangannya. "Kalau begitu, akan kuresepkan pil untukmu."

Selagi pria itu sibuk menuliskan sesuatu pada selembar kertas di atas meja, aku memandangi sekitar. Ruangannya putih bersih seperti patung porselen baru, sepertinya dicat ulang karena teksturnya terlihat berbeda dari terakhir aku kemari, dan lihat ranting pohon di luar jendela itu.

"Nona Alison?"

"Ya?" Aku tersadar dari lamunanku, rasanya seperti kembali muncul ke permukaan usai tenggelam dalam lautan es yang membeku. "Maaf, apa anda mengatakan sesuatu?" Mataku bergulir ke bawah, di bawah tangan pria itu selembar kertas yang tadi dipegangnya telah diisi coretan-coretan yang tidak kumengerti, tetapi dilihat sekali saja aku yakin itu adalah obat lainnya untukku. Kuraih kertas itu dan mengamatinya ketika pria itu berkata bahwa dia mengharapkan kesembuhanku secepatnya. Setelah itu, yang kuingat adalah bahwa aku pergi membawa serta obatku dan menyetir pulang ke rumah secepatnya. Lalu bagaimana bisa aku di sini?

Hamparan hutan terbentang luas di hadapanku, ketika mendongak ke atas, langit mulai menggelap digantikan rembulan separuh yang mengintip malu. Aku seharusnya tidak berada di sini. Hutan bukanlah tujuanku. Berusaha tetap tenang, kurogoh kantung celana, berdecak melihat sinyal yang sama sekali tidak membantu. Aku tidak tahu di mana posisiku saat ini, selain pohon pinusnya yang mengingatkanku pada Cannock Chase di Huntington. Tunggu, apa aku tanpa sadar mengendarai mobil ke sana?

Suara hewan malam itu begitu menggangguku, tempat ini tidak asing, tetapi aku juga tidak mengenalinya. Gelapnya malam membuatku buta, selain menyalakan ponsel dengan cahaya senternya yang tidak mampu menembus kegelapan, aku hanya mengandalkan insting. Lelah berdiri dikerubungi nyamuk pengisap darah, kuputuskan masuk ke dalam mobil kembali dan duduk di sana selagi memikirkan solusi. Sinyal ponselku harus ada agar aku dapat menggunakan maps, paling tidak agar aku dapat menghubungi seseorang dan mengabari jika aku harus menunggu mentari menyinari jalanan untuk kembali ke rumah setelahnya.

Rasa sakit itu kembali, denyutan nyeri yang sama kurasakan ketika pesta kelulusan di halaman rumah Meridia. Aku meringis nyeri, remasan tanganku pada rambut tidak sebanding dengan nyeri kepala yang kurasakan. Aku meninggalkan obatku di kamar.

Di tengah rasa sakit itu, instingku untuk melindungi diri bangkit begitu saja, masih dengan mengernyitkan dahi, aku mendongak, mengamati sekitar dari balik kaca depan mobil. Sesuatu di luar sana membuatku ingin segera angkat kaki dari sini, apa pun itu tidak menyukai keberadaanku. Perlahan kunyalakan mesin mobil, usai mengunci pintu mobil, kunyalakan lampu depan dengan waswas, tempat ini bukanlah teritoriku.

Lampu mobil yang telah kunyalakan menyorot dalam gelapnya hutan. Tidak ada sesuatu di sana, akan tetapi tanganku terasa kaku saat seekor makhluk muncul setelahnya, berdiri di sinar mobil yang menyorot gelap gulita.

Werewolf.

Werewolf

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hunting the Werewolf [On Going]Where stories live. Discover now