IX - Orang Yang Tidak Diketahui

104 17 0
                                    

"Kenapa kau kembali?" tanyanya, masih memegang erat pergelangan tanganku.

Punggungku rasanya berkeringat dingin. Laki-laki ini muncul begitu saja tanpa aku tahu dari arah mana dia datang, matanya yang menyala dalam kegelapan seolah telah terbiasa mengintimidasi. Aku menarik tangan sekuat tenaga hingga napasku tak beraturan, tetapi dia bergeming. "Lepaskan tanganku!"

Ia tetap bergeming, membuatku seperti berbicara kepada diri sendiri di hadapan cermin. Namun, beberapa saat kemudian dia akhirnya melepas cengkeramannya, membiarkan tanganku jatuh lunglai ke samping tubuh disertai nyeri yang menyengat.

"Ini bukan tempatmu," ujarnya dingin, lalu kembali meraih pergelangan tanganku dan menyeretnya menuju arah lain.

Mataku membola, karena satu tanganku telah dia kuasai dan tanganku yang lainnya memegang senapan, serangan demi serangan kulancarkan menggunakan kaki. Sedikit sulit karena aku harus mengimbangi langkahnya yang cepat. Dia terasa seperti menyeretku menggunakan seluruh tenaga. Namun, sebaliknya, dia terlihat biasa saja seolah aku hanya piaraan kabur yang ditarik paksa dengan tali kekang.

"Aku membawa senapan, kau tahu?" Aku waswas ketika dia berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang tanpa melepas cengkeraman. "Kuperingatkan, lepaskan aku."

"Aku harus membawamu keluar dari hutan ini. Demelza mengincar kalian, para manusia." Perkataannya yang seolah merupakan sebuah pernyataan mutlak mengusik pikiranku.

"Demelza?" Kuembuskan napas dengan kasar, berkata dengan tajam dan berharap itu mampu membuatnya gentar, "aku bahkan tidak mengenal siapa itu Demelza! Bagaimana orang yang bahkan tidak pernah kulihat ingin mengincar ... para manusia katamu?"

Laki-laki di hadapanku sepertinya tidak berniat untuk berkomunikasi dengan baik lebih lanjut. Dia membalik badan, kembali menarik tanganku menuju arah yang berbeda saat sebelum aku sampai tadi. Semua pohon terlihat sama, tinggi menjulang, mendominasi, mencakar langit. Hutan ini juga gelap, kami berdua sama-sama tidak membawa lampu penerang. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari sinar lembut rembulan yang masih tak mampu membuat penjuru hutan terang benderang. Akan tetapi, dia ... seolah mengetahui seluk-beluk hutan ini.

"Beritahu aku siapa kau!" Aku menarik tangan agar dia berhenti melangkah. "Siapa yang tahu kalau kau berniat mengumpankanku pada serigala lapar sejenis yang kutemui tempo lalu."

Gagal, dia tetap melangkah lebar-lebar, ingin segera membawaku entah ke mana. Namun, suaranya menguar di antara kami. "Aku tidak akan menyakitimu."

Aku tertawa sarkas. "Kau pikir aku percaya?"

Untuk kedua kalinya, dia berhenti, tanpa aba-aba memutar arah, menarikku berlari sembari menghindari pepohonan. Sangat cepat, terlalu cepat bahkan untukku yang mampu berlari lebih cepat daripada orang lain.

Kami terus-menerus berlari, aku mulai kesusahan mengatur napas, dan ketika mencapai batas kemampuan saat dipenuhi harapan agar dia berhenti berlari memenuhi pikiranku, laki-laki itu benar-benar berhenti, membawaku menyatu dengan pohon di dekat kami.

Aku menatap beberapa orang yang berdiri di sana, delapan orang yang masuk bersamaku dan Rodney. Cordelia berdiri berkacak pinggang, berteriak, dan mengentak kaki ke tanah dengan kasar untuk meluapkan segala kekesalannya. Wajah ramah dan ceria yang selama ini kulihat tidak lagi berada di sana. Ia mendongak ke atas, membuatku turut mengikuti gerakan yang dibuatnya. Awan mendung tetap menutupi rembulan, membuat penjuru hutan jauh lebih gelap dan mencekam. Petrikor yang melingkupi kami merebak ke segala penjuru.

"Kita kembali! Para pengecut itu rupanya memilih bersembunyi kali ini." Cordelia berteriak, selepas komando itu diberikan, kesepuluh orang berjalan menuju arah berlawanan mengikuti sang wanita pirang.

Aku mematung, dia bahkan tidak mencari keberadaan kami di antara para rombongan. Titik-titik air mengiringi kepergian mereka, senapan yang menggantung di sisi tubuhku jatuh tergeletak di atas tanah. Bagaimana jika kami diserang hewan buas? Apa Cordelia juga akan berlari tanpa memedulikan kami? Aku dan Rodney?

Aku bahkan tidak peduli lagi saat laki-laki asing itu menarik tanganku kembali menuju arah kami datang sebelumnya. Kali ini jauh lebih lembut seolah menuntun tanpa paksaan sedikitpun dan aku tidak melawan.

Hujan turun semakin deras dan aku masih terjebak di dalam hutan bersamanya, berjalan mengikuti ke mana punggung laki-laki asing itu pergi. Dia tidak sekalipun melepas tanganku juga tidak berbicara sepatah kata. Tangannya ... hangat. Aku merasa seperti tengah duduk di depan perapian dan menjulurkan tangan ke dekat api yang bergemeletuk membakar kayu.

"Apa aku bisa percaya padamu?" tanyaku pelan dengan suara yang teredam deras hujan.

"Aku tidak memintamu percaya, tapi aku tidak akan menyakitimu." Dia berujar hal sama untuk kedua kali dan aku tidak mendengar sedikitpun kebohongan dari kalimatnya ataupun menggoda seperti yang selama ini kudengar dari Ned.

Seolah hujan sengaja menampar agar aku kembali sadar, keberadaan Rodney kini menjadi tanda tanya besar. Aku meninggalkannya untuk berlari mengejar seseorang dan kami terpisah. "Hei, bisakah kau berhenti?" pintaku dan dia tentu tidak setuju, "aku kehilangan temanku saat berlari tadi. Aku harus mencarinya."

Dia menghentikan langkah, hidungnya mengendus udara di tengah hujan lebat. Kupikir dia tengah menikmati bau hujan sampai ketika laki-laki itu berujar tegas. "Fine, setelah ini kalian harus pergi."

Dia mengambil arah kiri, seolah menghafal peta hutan hanya dengan melangkah ke sana-kemari. Aku tertegun saat rute yang diambilnya mengantarkanku pada Rodney yang berdiri di sana terguyur hujan, membelakangi kami, tubuhnya yang basah kuyup mulai menggigil sembari berteriak keras memanggil namaku.

Laki-laki asing itu melepas cengkeramannya yang kali ini sama sekali tidak terasa sakit, dia menatap Rodney dan berujar tenang sembari menunjuk arah kanan temanku berdiri, "pergilah, dia kedinginan. Kalian hanya perlu berjalan lurus ke arah utara, tempat kalian datang."

Aku menatap mata laki-laki itu yang berwarna hitam kelam untuk terakhir kali. Kemudian segera berlari menghampiri Rodney yang masih belum menyadari kedatanganku.

"Ayo pergi sekarang, Rodney." Aku memegangi kedua lengannya yang mematung.

"Blyhte?" Tetesan air melewati pipinya yang basah. "Kau dari mana saja?" Tangannya memegang pipiku dengan mata menatapku seolah mencari sesuatu kemudian mengembuskan napas lega. Bibir Rodney pucat dan gemetar.

"Lebih baik kita pergi sekarang, kau menggigil." Aku menarik tangan Rodney menuju arah lurus yang laki-laki asing itu tunjukkan. Rodney menautkan jari-jari tangan kami. Ketika menoleh untuk memastikan keberadaan sang laki-laki asing, dia masih berdiri di sana, bersembunyi sembari menatap kami berdua, memastikan agar aku dan Rodney benar-benar keluar dari hutan sesuai keinginannya.

 Ketika menoleh untuk memastikan keberadaan sang laki-laki asing, dia masih berdiri di sana, bersembunyi sembari menatap kami berdua, memastikan agar aku dan Rodney benar-benar keluar dari hutan sesuai keinginannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hunting the Werewolf [On Going]Where stories live. Discover now