SII - XXXIII - Menemui Mereka

27 7 0
                                    

Dingin, berbekal telepon genggam yang kumasukkan ke saku celana, aku meraih sweater dan berjalan mengendap-endap di balik dinding pagar di pertigaan, melihat gadis berambut merah itu berjalan lurus ke arah jalanan besar. Pukul enam sore, sepertinya dia hendak berangkat menuju universitas seperti yang dituturkan Aston Hawkins.

Saat kulihat gadis itu menaiki sebuah mobil hitam, aku menyetop taksi yang lewat, memutuskan mengikutinya. Terlalu jauh kalau harus kembali ke Charlotte Rd untuk mengendarai mobilku sendiri, aku bisa kehilangan jejak. Beberapa menit aku mengikuti mobil hitam di depanku setelah meminta sopir untuk sedikit menjaga jarak.

Mobil hitam itu berhenti di perpustakaan Birmingham, pengendaranya langsung pergi begitu menurunkan penumpang sang gadis berambut merah yang kini berjalan masuk ke dalam perpustakaan. Aku segera membayar taksi kemudian membuntutinya ke dalam. Untuk apa gadis itu datang kemari? Perpustakaan sudah mulai sepi karena satu jam lagi tempat ini akan tutup atau ... dia sengaja merubah arah tujuannya.

"Tidak sopan mengikuti orang lain seperti penguntit," ujarnya tiba-tiba sembari berbalik ke belakang, menatapku dengan matanya yang dingin. Aku terdiam di tempat. Dia tahu aku mengikutinya sedaritadi. Gadis itu menatapku sejenak kemudian meraih sebuah buku di rak sebelahnya. "Apa yang kau inginkan?"

Membawa seseorang ke tempat yang hampir sepi untuk menginterogasi penguntit bukanlah hal yang bijak menurutku, seharusnya dia turun di tengah kota yang sedang ramai-ramainya saat ini. "Apa kau adik Aston Hawkins?" tanyaku.

"Pertanyaan itu tidak memberikan keuntungan apa pun untukku, mengapa harus kujawab?"

Kalau kuingat lagi, sepertinya aku pernah melihat gadis ini. Dari cara berpakaiannya dan bau yang menguar darinya, aku pernah berpapasan dengannya di suatu tempat. Kafe croissant? "Selera parfummu unik, Nona. Di mana kau mendapatkan bau parfum seperti perkamen lama?"

Gadis berambut merah itu menatapku tajam, dia meletakkan buku di tangannya yang tidak dibacanya sama sekali ke rak. "Siapa kau?" tanyanya sinis.

Kesinisan itu membuatku mendengkus. Kuulangi pertanyaan yang ditujukannya padaku. "Siapa kau?" Manusia biasa tidak memiliki bau unik seperti dirinya. Perkamen lama adalah sesuatu yang cukup berumur dan menyaksikan banyak hal. "Kau sudah tahu aku, bukan?" tanyaku.

"Freak. Aston salah berteman dengan orang-orang random," balasnya.

Aku berdiam diri di tempat, tidak peduli dia menatapku seolah melihat Loch Ness kembali muncul di danaunya, bedanya Loch Ness itu tidak berenang kali ini, melainkan berseluncur di atas papan ski. Aston Hawkins adalah orang yang tidak kucurigai sekalipun dia bisa akrab dengan anjing Basenji Nyonya Chads, tetapi perangai gadis ini membuatku ingin mencurigainya selagi bisa. "Siapa kau?"

"Darah campuran sepertimu banyak bicara," ujarnya yang sangat pelan, sampai kukira aku salah mendengar dia sedang berbicara. Gadis berambut merah itu menatapku seolah dia tidak mengatakan apa pun.

"Margamu Hawkins?" tanyaku.

"Kau pikir margaku Alison sepertimu?" Sepertinya dia mulai kesal. Kutaksir umurnya pasti masih ada pada masa-masa labil. Khas remaja yang rentan dimabuk asmara.

"Kau pandai bermain kata-kata," balasku. Sedaritadi dia tidak menjawab pertanyaanku secara gamblang. Aku yang harus mengartikan sendiri ucapannya, membuatku semakin waspada, dia bisa menjebakku.

Gadis bersurai merah itu menatapku sesaat dengan wajah masam sebelum berjalan melewatiku ke arah pintu keluar. "Urus urusanmu sendiri, aku bahkan bisa bermain dengan pikiranmu, Alison."

Aku tidak mengerti maksud gadis ini. Kucekal tangannya setelah sedikit berlari. Inikah hobinya? Membuat orang lain penasaran? Tarik ulur?

"Lepaskan." Gadis itu menarik paksa tangannya, tenaganya cukup kuat, tetapi aku sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya.

"Darimana," tanyaku menjeda, waswas, "kau tahu bahwa aku setengah vampire?"

Bibirnya merengut, dia menarik tangannya sekuat tenaga hingga terlepas dariku dan memerah. Tatapannya menajam, seolah tanpa berkata pun aku tahu bahwa yang akan dikatakannya adalah 'kau tidak berhak atas jawabanku'. Dia segera membalik badan, sedikit berlari menjauhiku dan mencegat taksi di ujung jalan.

***

Jalanan menuju cottage Glenda lengang ketika aku sampai di kediamannya pukul tujuh pagi. Wanita itu sibuk menyiangi mawar yang dia tanam di kebun bunga kecil di samping rumah.

"Terlalu pagi, Blyhte, untuk menantang ras mereka dengan menginjakkan kaki di tanah hutan Cannock Chase," sapanya sembari meletakkan alat siramnya sebelum menemuiku, gaun putihnya menyapu halaman berumput ketika dia berjalan.

"Kalau begitu seharusnya aku datang lebih pagi lagi," selorohku.

Glenda tertawa kecil, dia menggandeng lenganku. "Sudah sarapan?"

Aku mengangguk, tadi sembari berkendara kemari aku sudah mengunyah sepotong roti tanpa selai. Apa pun asalkan perutku terisi pagi ini. Oh, di dalam tasku  juga ada sebuah apel, jaga-jaga barangkali ada unicorn liar di hutan.

Glenda menyejajarkan langkahnya denganku, penginapannya dia titipkan pada laki-laki werewolf di meja reservasi yang memberiku tatapan lemari pendingin. Jalan setapak menuju pintu masuk hutan ini baru kuketahui, Glenda membawaku ke sisi lain hutan yang rupanya lebih dekat dengan cottage. Di bahuku tersampir sebuah tas punggung kecil berisi apel dan sebotol air minum. Hanya dua barang itu dan kuharap aku tidak menyesali bahwa aku tidak membawa alat perlindungan diri selain pisau lipat di saku celana kiri.

"Seharusnya kita datang nanti malam, Blyhte," celetuk Glenda, dia menatapku, "mereka tidak dalam wujud manusia saat itu."

Aku menatap horor ke arahnya. Glenda, kau waras? Dalam wujud manusia saja mereka tidak menyukai keberadaanku. Ketika sisi liar mereka mengambil alih, aku akan menjadi mangsa empuk bagi para werewolf. Riang sekali wanita ini ketika mengatakannya. "Ada yang menyenangkan akhir-akhir ini, Glenda?"

"Kedatanganmu di kediamanku yang paling menyenangkan, Blyhte."

Manis sekali ucapannya. Aku memicingkan mata menatapnya, tapi kemudian ketika wanita itu berhenti melangkah, aku turut menghentikan langkah kaki. Kami sampai di depan jajaran pepohonan pinus. Setelah aku melangkahkan kaki ke dalam ....

"Kupastikan kedatangan kita akan disambut oleh mereka, Blyhte." Glenda menarikku masuk ke dalam.

Kuembuskan napas sebelum mengikutinya kembali melangkah masuk. Tentu saja mereka akan menyambut, seorang musuh bebuyutan berani masuk ke tanah mereka, barangkali disambut dengan taring dan geraman. Aku tidak suka tempat ini, dadaku terasa ditekan oleh hawa kebencian, sesak. Beberapa saat kemudian, telingaku mendengar gesekan daun dan ranting yang patah. Glenda tersenyum menatapku. Selagi wanita itu memamerkan senyum elegannya, sekawanan serigala mengelilingi kami, menatapku dengan tajam beringas. Bau tubuh serigala mereka menyengat. Ternyata ini rasanya diumpankan ke kandang serigala.

"Blyhte, kuharap kau tetap tenang dan jangan ikut mengeluarkan cakarmu," bisik Glenda.

Cakar apa? Glenda, kau bercanda. Aku bahkan tidak tahu caranya.

"Glenda, ini tidak seperti kesepakatan kita." Seekor werewolf merubah bentuknya, dadanya yang telanjang penuh goresan. Laki-laki setengah serigala itu menatapku rendah. "Bawa pergi darah campuran ini dari tanah kami!" kecamnya.

 "Bawa pergi darah campuran ini dari tanah kami!" kecamnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hunting the Werewolf [On Going]Where stories live. Discover now