46. Peanut

1.2K 86 8
                                    

Bulan telah berganti beberapa kali dan kami masih berdua sementara umur kami semakin menua. Kondisi mental kami? Itu tidak sepenuhnya pulih, hanya kami rasa itu lebih baik dari sebelumnya. Kami mencoba melawan rasa takut kami dengan mengunjungi panti asuhan beberapa kali atau sengaja mencari kesempatan untuk bertemu anak dari lantai atas. Awalnya pura-pura, tapi senyum kami di depan anak kecil mulai menghangatkan diri kami sendiri.

Sayang memang hingga saat ini kami belum dipercaya oleh Allah Swt. Mungkin karena Allah Swt. menunggu kami benar-benar siap untuk menerima. Aku juga masih sangat sibuk untuk menyiapkan buku terbaruku dalam perayaan debut. Padahal Mas Pasha mulai mengurangi pekerjaannya, dia hanya mengambil film dan tidak menerima series untuk 1 tahun ke depan. Tapi bukan karena aku egois, rencana perilisan buku ini sudah ada sebelum kami menikah. Hanya saja sempat tertunda karena satu dan lain hal.

"Huft, kenapa dari tadi gelisah terus ya, Mas? Mana nggak tahu kenapa lihat wajah Mas Pasha tuh, kaya, em, kesel, nggak tapi kaya bosen," keluhku di ruang tunggu salah satu toko buku di Jakarta.

Mas Pasha memicingkan matanya ke arahku. "Beneran udah bosen?"

"Nggak, maksudnya tuh nggak tahu, enek aja lihat wajahnya Mas Pasha. Kaya, dih biasa aja."

Tidak, tapi aku benar-benar jujur bukan untuk menggodanya. Itu yang kurasakan setidaknya 2 Minggu ini. Aku hanya menahan diri untuk mengatakannya karena tidak mau Mas Pasha kecewa. Mas Pasha juga menempel padaku terus menerus, rasanya agak aneh jika dia menjauh tapi wajahnya bukan sesuatu yang spesial lagi di mataku. Tidak, bukan juga kehilangan cinta. Agaknya tak semudah itu bagiku mengubah rasa. Andaikata mudah, tak akan sulit bagiku untuk melupakan masa lalu juga mungkin aku yang berselingkuh bukan menjadi korban.

Seorang make up artist menahan tawanya di belakangku. Sementara Mas Pasha terus menahan wajah kesalnya. Sekarang seorang Pasha Yudhanta Varesqi, wajah tegas dengan garis rahang yang semakin membuatnya berkharisma, senyum manis dengan barisan gigi yang rapi, proporsi tubuh yang tinggi seimbang dengan berat badan juga otot-ototnya. Bagaimana mungkin sosok laki-laki nyata rasa dongeng ini membosankan? Ya, aku bersumpah beberapa Minggu lalu aku sangat menikmati hari-hariku sekadar menatap wajahnya.

"Kak, susunya!" seru Andina yang baru saja kembali dari minimarket. Aku yang memintanya karena aku butuh beberapa camilan dan minuman. Susu adalah yang paling kuinginkan sejak pagi tadi, sayangnya tidak ada susu UHT dalam penyimpananku, hanya ada susu program hamil tapi aku bosan untuk beberapa hari ini.

"Din, emang wajahku ngebosenin?" tanya Mas Pasha setelah Andina memberikan susunya padaku.

Dahi Andina mengernyit. "Aku tahu Kak Pasha ganteng tapi nggak usah sengaja minta dipuji!" ketus Andina.

"Hey, tapi kata Yaya wajahku membosankan."

"Aku nggak bilang membosankan, cuma bosen," belaku.

"Istri Kak Pasha pasti lagi nggak waras!" celoteh Andina membuatku memicingkan mata padanya sementara Mas Pasha sedikit merasa tenang.

Membuka dan meminum susu yang Andina berikan dengan semangat, seolah sudah 5 tahun tidak meminumnya. Ini minuman yang tidak pernah terlewat kuambil jika sedang berbelanja bulanan tapi tegukan pertama belum jauh sudah langsung mual. Sebelumnya aku idak pernah merasa bahwa baunya sangat amis dan mengganggu. Kali ini sungguh, baunya membuatku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutku.

Mas Pasha mengikutiku dengan suara paniknya, memijat kecil leherku sesekali berganti dengan mengusap-usap punggung atasku. "Perutmu sakit? Kenapa nggak bilang? Atau susunya sudah basi?" tanya Mas Pasha tidak kujawab. "Pelan-pelan," katanya terus memberikan usapan.

"Mas pergi aja! Panggilin Andina!" titahku membuat Mas Pasha juga Andina yang ada di belakang Mas Pasha bingung.

"Em, iya, Kak?" seru Andina kikuk.

A Perfect RomanceTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon