1. It's Me

2.9K 125 6
                                    

Haruskah aku mulai dengan cara yang sederhana? Maksudku dengan mengatakan siapa namaku, apa pekerjaanku, tinggi badanku, berat badanku, nama ayah dan ibuku, atau pengenalan lainnya tentangku. Agaknya itu terlalu biasa saja meski setiap novel harus dimulai dari perkenalan tokoh utamanya entah secara gamblang atau tersirat penuh teka-teki. Sebab sudah begitu tatanan umumnya, maka aku akan memulainya.

Namaku Nattaya Shirin Dheandita dan aku adalah seorang penulis novel romantis yang sudah 10 tahun tidak tahu apa itu romantisme. Orang bisa memanggilku dengan Nattaya atau orang biasa memanggilku dengan Yaya dan usiaku 31 tahun di awal tahun 2022 ini. Aku bisa bercerita, bisa berangan, bisa mendengarkan, serta bisa membayangkan bagaimana kehidupan romantis itu tapi aku tidak bisa merasakannya. Aku juga selalu gagal dan gagal dalam sebuah keromantisan. Kegagalan itu biasa disebut dengan korban perselingkuhan. Ya, aku bukan tak pernah berpacaran. Sering kala itu, tapi semua berakhir dengan perselingkuhan, sudah pasti bukan aku pelakunya, sebab aku berani bersumpah jika sudah memiliki satu maka cukup itu, jika sudah jatuh maka akan jatuh sedalam-dalamnya.

Mungkin lebih dari sepuluh kali aku berpacaran di masa sekolah menengah pertama maupun menengah atas, tapi demi bumi pun aku berani mengatakan bahwa mereka semua menduakanku dengan cara yang sederhana. Bahkan beberapa terkesan lucu bagiku. Aku pernah berpacaran satu tahun lamanya, sangat menyukainya, sangat memercayainya, bahkan apa yang dia minta aku lakukan meski aku bukan tipe yang suka melakukan hal itu. Sejatuh itu aku padanya tapi diam-diam dia sudah bersama selingkuhannya selama 8 bulan. Betapa bodohnya aku yang masih merayakan 1 tahun kami berpacaran padahal dia punya 2 ponsel burik untuk menghubungi selingkuhannya. Benar-benar hanya 4 bulan dia bersamaku dengan perasaan yang jujur, selebihnya aku hanya perempuan bodoh yang lugu.

Sejauh ini, bukan aku hanya diam saja tentang kehidupan romantisku. Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, apa yang salah hingga mereka melakukan perselingkuhan di belakangku? Cantik pun aku cukup cantik, pintar pun aku cukup pintar lebih-lebih pada mata pelajaran bahasa dan kenegaraan. Pendek dan gemuk? Apakah tinggi badan 165 cm dengan berat badan 57 kg itu terlalu gemuk? Kupikir idealnya begitu. Miskin? Apakah ayah dan ibuku yang punya beberapa sertifikat tanah hingga sawah itu termasuk miskin? Tentu saja cukup, bahkan jika kami berkencan aku lebih sering membayar.

Setelah sekian lama aku menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dari diriku. Aku terlalu acuh tak acuh dan tak mengerti apa itu romantisme dalam sebuah hubungan. Jika boleh jujur, aku tak suka bertanya sedang apa, sudah makan atau belum, lalu mencari topik pembicaraan agar komunikasi tidak terputus. Aku tidak menyukainya. Jika ditanya aku akan menjawab, tapi untuk bertanya lebih dulu aku seringkali tidak melakukannya. Aku pun tidak memintanya untuk lekas makan dan lekas istirahat, juga tidak memintanya mandi lebih cepat. Tidak, tidak, bukan tidak perhatian, saat dia sakit dan lelah aku akan memintanya meminum obat dan vitamin, hanya saja untuk sekadar basa-basi aku tidak suka melakukannya. Itu masalahku.

Orang-orang selalu mengatakan, "Jangan terlalu cuek." Bagian mana? Aku tidak merasa demikian. Jika orang bertanya pun aku menjawab dengan baik. Kupikir hanya, untuk apa makan saja harus disuruh? Untuk apa harus selalu tahu sedang apa, di mana, bersama dengan siapa? Kupikir itu tidak harus selalu ditanyakan setiap hari karena aku percaya yang dilakukan adalah kebaikan. Ternyata pemikiran semacam itu salah, laki-laki cenderung bosan dan mencari perhatian.

Untuk itulah romansa bagiku hanya cerita selama 10 tahun ini. Cerita yang bisa kutulis dan kubayangkan sendiri. Bukti lainnya, aku juga belum menikah meski usiaku sudah 31 tahun. Bukan tidak ada yang mau, tapi pernikahan dan romantisme bukan sesuatu hal yang sangat aku inginkan. Ah, haruskah aku berbagi cerita tentang mengapa aku belum sangat-sangat menginginkan pernikahan di usia ini? Perlu hati yang lapang untuk menerimanya dan aku akan memulainya perlahan.

Ayah dan Ibuku hanyalah laki-laki dan gadis desa yang bertemu secara tidak sengaja di sebuah perusahaan, entah bagaimana ceritanya mereka memutuskan menikah saat usia ibuku terbilang muda, 19 tahun. Ibu yang masih muda pada akhirnya mengandung anak pertama, anak yang akan menjadi tempatnya belajar, dan anak itu adalah aku, tempat ibu belajar banyak hal. Sebagai catatan, aku tidak menyalahkan ibuku atas kesalahan dalam proses belajarnya denganku, aku tahu keadaan yang membuat ibu demikian.

Perlu waktu untuk menerima kenyataan bahwa ibu pernah menyeretku karna sudah sore namun belum mandi, ibu pernah mencubit pahaku hingga berdarah, ibu pernah mengunciku di dalam kamar sepanjang hari, ibu pernah membentakku keras dengan makian, dan lain sebagainya, perlu waktu lama untuk mengerti keadaan ibu saat itu. Aku hanya bersyukur sebab adikku tidak pernah merasakannya karena ibu telah tumbuh dewasa saat belajar bersamaku. Sayangnya, aku tidak bisa berbohong bahwa perlakuan ibu menimbulkan trauma.

Aku mewarisi suara keras ibuku dan aku mewarisi sifat ibuku yang galak. Aku sadar itu dan selalu berusaha mengontrolnya, tapi aku takut, sangat takut jika aku memiliki anak pertama nanti akan menjadi seperti ibuku. Sungguh takut jika aku meninggalkan luka dalam proses belajarku. Aku tidak menyalahkan ibu atas tindakannya hari itu, aku tahu kesalahan dalam belajar pastilah ada tapi sekali lagi aku takut akan melakukan kesalahan yang sama.

Di usia ini aku masih berjuang melawan rasa takut itu, sayang dunia ini tidak santai berjalan mengikutiku. Orang-orang mulai bertanya, seorang penulis yang bukunya terjual 1 juta eksemplar, filmnya di tonton hampir 2 juta penonton dalam satu minggu penayangan, penulis kisah romantis yang legendaris tapi justru belum menikah di usia tiga puluhan. Sekali dua kali, aku menjawabnya dengan santai, tidak, itu selalu dibumbui kebohongan tapi kali ini dalam kesempatan yang penting pertanyaan itu kembali hadir lagi.

"Sudah hampir 13 tahun resmi debut sebagai novelis dengan kisah-kisah romantis yang bisa dikatakan sempurna. Siapa sebenarnya inspirasi dari semua cerita itu? Seseorang yang selalu disebut dalam konferensi pers perilisan film maupun novel itu, siapa dia sebenarnya?" tanya seorang wartawan dari sebuah majalah terkemuka di Indonesia.

Ya, dalam rangka meperingati bulan bahasa kali ini, majalah Dazz untuk pertama kalinya menggaet seorang novelis sebagai sampul majalah mereka. Novelis beruntung itu adalah aku. Sekali lagi kubuktikan bahwa wajahku tidak terlalu jelek.

"Ah, haruskah aku menunjukkan fotonya?" selorohku dan sang penanya hanya tertawa kecil. Dia mungkin berharap demikian. "Yang pasti dia seseorang yang selalu kuingat." Hanya itu dan semua yang ada di dalam ruangan nampak kecewa.

Sudah berapa kali aku berbohong tentang ini? Memangnya siapa? Siapa seseorang itu? Tidak ada. Lalu apa aku pikir semua akan memercayai kebohonganku terus menerus? Bahkan beberapa pembaca mulai meragukanku, meragukan kebenaran seseorang itu.

Orang tak pernah tahu bagaimana lelahnya aku menjalani hubungan yang seharusnya romantis. Orang pun tak pernah tahu takutnya aku tentang dunia usai pernikahan. Mengapa orang tidak menerima novelku yang hanya karangan? Mengapa harus tahu kehidupanku dalam kenyataan?

Terlepas dari itu, ya, inilah aku Nattaya Shirin Dheandita novelis dengan nama pena Nattaya Dheandita.

🌸🌸🌸
Bersambung
Bagaimana?

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now