42. Penyesalan dan Pembelajaran

882 61 5
                                    

Pikiranku masih saja kosong menatap ibu yang berbaring pucat di depanku. Vian yang tidak pernah berhenti menangis, Mas Pasha juga ayah yang sejak tadi duduk di pojokan. Mama dan Papa juga baru saja datang dan memelukku untuk memberi kekuatan.

Pikirku waktuku masih panjang untuk memperbaiki hubunganku dengan ibu laiknya anak dan ibu pada umumnya. Tidak, hubungan kami baik, aku tidak membenci ibu dan tentu saja ibu tidak sekalipun membenciku seumur hidupnya. Hanya, ya, kami hanya canggung saat bersama, tak pandai bersendagurau atau sekadar menertawakan hal yang sama.

Kejdian masa lalu memang membuat kami tidak dekat satu sama lain, hanya sebatas hal-hl ringan sebagai anak dan ibu. Bukan sesuatu seperti hubungan Mama dan Mas Pasha. Dan sejujurnya aku sagat ingin memperbaiki hubunganku dengan ibu, sayang sekali aku kehabisan waktu. Aku terlalu banyak menundanya seolah waktu selalu ada untukku, seolah umur tak pernah ada habisnya, seolah kami memang baik-baik saja kenyataannya tidak.

Benar, sekarang aku menyesali semuanya. Sikap santaiku dan ketidakinginanku untuk segera mendekati ibu. Bukankah seharusnya aku lebih dulu mengajak ibu untuk berbicara? Tapi bahkan meski aku tidak memendam marah pada ibu, kenangan menyakitkan itu selalu terlintas setiap kali mengingat ibu. Ketakutan tentang kemiripanku dengan ibu juga terus membelaiku setiap  kali bertatap muka dengan ibu. Ah, sekarang sudah sangat terlambat untuk memperbaiki semuanya. Baik ketakutanku maupun hubunganku dengan ibu.

Masih menatap ibu yang berbaring tanpa nyawa dengan beribu penyesalan, dengan beribu kata yang tidak bisa lagi diungkapkan. Hingga akhirnya pandangan mataku benar-benar kosong, hanya putih dan suara gaduh beradu dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an. Saat aku membuka mata, aku sudah ada di dalam kamarku bersama dengan Mama.

"Minum dulu, Sayang." Mama menyodorkan segelas air putih namun kutolak sebab aku ingin melihat ibu lagi. "Ibu sudah berangkat, Yaya di sini aja doain ibu, ya?" Lantas memelukku yang meronta. Tangisku sebelumnya tanpa suara, hanya air mata yang terus meleleh juga tatapan kosong untuk ibu. Sekarang, sakit juga penyesalan itu merauk lebih dalam dari sebelumya, membuatku mengeluarkan semua suara yang tertahan.

"Sssstt, istighfar, Sayang. Ibu sudah ada di tempat yang lebih baik, Yaya hanya harus memaafkan dan mendoakan ibu, ya, Nak?" ujar Mama terus memeluk serta mengusap punggungku.

Untuk memaafkan, aku benar-benar memaafkan ibu, aku hanya tidak bisa mengendalikan ketakutan serta kenangan hari itu. Jika dikatakan aku tidak ikhlas, oh Tuhan, mengikhlaskan ternyata tidak mudah. Aku benar-benar tidak ikhlas waktuku dengan ibu dirampas begitu saja. Kembali lagi, manusia tidak pernah bisa mengerti Tuhan sebaik Tuhan mengerti hamba-Nya. Manusia juga makhluk yang pandai perihal kufur nikmat. Aku buktinya, aku benar-benar menyia-nyiakan waktu dan sekarang aku tidak bisa memahami kehendak Tuhan atas hidupku.

Mama di depanku terus menggenggam dan memberikan kekuatan melalui usapan-usapan kecil di punggung telapak tanganku. Sementara Mas Pasha baru saja kembali dengan kemeja hitamnya yang kotor oleh tanah. Menatapku sebentar, tersenyum tipis tanpa balas, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tentu saja dia ikut serta dengan ayah dan Vian untuk memakamkan Ibu secara langsung.

Waktu benar-benar egois, dia tak pernah memberitahu manusia perihal apa yang akan dia berikan atau bahkan apa yang akan dia telan. Dia hanya memberi manusia misteri sepanjang perjalanannya. Tidak, memang begitu lah kinerja waktu, manusia saja yang tak pandai menghargainya.

"Ma, boleh minta tolong buatin makanan untuk Vian sama ayah? Mereka ndak sempat makan soalnya," pinta Mas Pasha yang baru saja keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi tempat tidur.

Mama mengangguk sembari tersenyum. "Hapus dulu air matanya, cantiknya anak Mama jadi hilang," hibur Mama sebelum pergi meninggalkanku.

Hanya menatap wajah Mama datar. Bahkan untuk tersenyum karena kehangatan Mama pun tak bisa. Bagaimana pun hangatnya Mama tidak bisa mengalahkan dinginnya ibu bagiku.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now