18. Dimulainya Musim Dingin

736 66 7
                                    

Jika kemarin Pasha mengatakan sedang mengemas barangku dan barangnya. Itu benar-benar tipu daya. Dia tidak menyentuh barangku sama sekali. Bahkan pintu kamarku seperti tidak pernah di bukanya. Kami belum bertemu sejak semalam. Saat aku pulang pun tak ada suara yang kudengar dari gerak-geriknya.

Pukul 11.00 WIB nanti seharusnya kami memulai perjalanan ke Bandara Soekarno Hatta agar tidak tertinggal pesawat. Akan tetapi, Pasha tak mengatakan apa-apa membuatku ragu. Mungkinkah sebenarnya kami tak perlu berangkat ke Korea? Tidak, bahkan kami tak pantas untuk berbulan madu, kan?

"Iya, Abang nunggu di Soeta aja, aku sama Yaya nanti ke situ naik mobil sendiri. Abang tinggal bawa pulang mobilnya," suara dari luar saat aku hendak keluar. "Iya, bentar lagi berangkat. Harus ada yang dibeli soalnya. Iya, iya, masha'allah, bawel banget. Iya, aku panggil Yaya habis ini siap-siap."

Aku langsung menutup pintuku dan berpura-pura merapikan koper, memang belum selesai juga isi koperku.

Tok, tok, tok!

"Aku tunggu 5 menit lagi!" katanya lalu tak terdengar suara lain. Kupikir dia akan mengatakan sesuatu lagi sebab aku tak menjawab kalimatnya. Ternyata dia membiarkanku begitu saja. Benar, memang ini yang seharusnya dia lakukan, kan? Kita tidak perlu menjadi hangat satu sama lain dalam pernikahan ini.

Setelah 5 menit aku kembali memastikan isi koperku. Aku membawa 2 koperku keluar berikut dengan tas di atasnya hingga ransel di punggungku. Cukup banyak yang aku bawa karena kami akan di Korea selama 10 hingga 14 hari. Aku juga cukup ribet dalam hal memilih pakaian.

Pasha tidak mengatakan apapun dan langsung keluar apartemen begitu tahu aku keluar dari kamar. Dia juga tidak berniat membawakan satu koper besar juga satu koper kecilku. Tidak ada yang dia katakan, setidaknya dia bertanya apakah ada barangku yang tertinggal atau kita harus cepat-cepat. Tidak ada percakapan di antara kami. Ah, apa yang aku harapkan? Bukannya aku yang ingin dia tidak berlaku baik padaku? Aku yang ingin dia tidak berakting di depan kamera, maka seharusnya aku tidak mempermasalahkan diamnya.

Tiba di tempat parkir, Pasha pun tidak mengatakan apa-apa saat meminta koper dari tanganku dan memasukkannya ke dalam mobil. Saat kita memulai perjalanan juga tidak ada percakapan di antara kami, bahkan melihatku saja tidak mau. Benar, dia mungkin harus fokus dengan kemudinya.

"Iya, bentar lagi sampai. Tunggu aja di situ," kata Pasha menelepon seseorang. Sudah bisa dipastikan itu manager setianya.

Kami benar-benar tiba di Bandara Soekarno Hatta, tepatnya di terminal 3, khusus untuk penerbangan internasional. Aku turun dari mobil begitu mobil berhenti, entah kenapa di dalam rasanya sesak. Saat aku turun, mataku langsung berkontak dengan mata Ryan atau Bang Ryan, apalah aku memanggilnya. Tatapan matanya padaku seakan benci sekali, ah, memang sejak dulu tapi kali ini lebih mengerikan.

"Ada wartawan di arah jam 9, jadi tolong kali ini aja, jangan bikin susah Pasha!" bisik Bang Ryan dengan nada bencinya padaku.

"Bukannya artismu yang bikin susah?" ketusku balik meminta koper dari tangannya.

Pasha tidak mengatakan apapun, dia hanya tersenyum saat mengambil koper dari tanganku. Koper yang besar dan dia membiarkanku membawa koper yang paling kecil. "Titip ya, Bang. Ah, sama naskahku udah masuk di tas belum?" tanya Pasha pada Ryan.

"Udah, begitu dateng tadi langsung masuk tas," balas Bang Ryan sangat berbeda dengan caranya berbicara padaku. "Tapi di sana nikmatin liburannya aja, jangan banyak stres, pikirin kesehatanmu sebelum orang lain. Okay?" pesan Bang Ryan juga terdengar sangat hangat.

"Iya, nggak usah panjang-panjang." Senyum Pasha juga sama hangatnya. Baik Pasha maupun Bang Ryan semuanya berlaku berbeda denganku.

Lupakan!

A Perfect Romanceحيث تعيش القصص. اكتشف الآن