30. Another Sweet Moment

836 78 11
                                    

Malam semakin larut ketika Mas Pasha keluar dari kamar mandi. Hampir satu jam dia membersihkan diri. Apa yang dia bersihkan sebenarnya? Bahkan meskipun tidak mandi dia masih wangi dan tampan.

"Loh belum tidur?" tanyanya sembari mengusak rambut yang basah.

"Nggak bisa tidur," jawabku santai.

"Kenapa? Sakit?" tanyanya lagi sembari duduk di samping tempat tidur.

Menggeleng.

"Ya udah tidur!" tegasnya beralih untuk mengeringkan rambut di depan meja rias.

"Mas besok syuting lagi?" tanyaku berhati-hati.

Mengangguk. "Bukan besok, tapi nanti."

"Berangkat subuh lagi?"

"Iya."

"Terus ngapain pulang? Kan waktu istirahatnya jadi habis buat perjalanan."

Mas Pasha menoleh ke arahku. "Kan punya istri di rumah."

Jantungku berdetak cepat, lebih cepat dari waktu lari Lalu Muhammad Zohri. Aku sampai tidak tahu harus menjawab apa. Hanya saja, ya, aku tersentuh oleh jawabannya. Apa pentingnya pulang demi aku sementara dia bisa memanfaatkan waktu perjalanannya untuk beristirahat. Bagiku lebih penting memanfaatkan waktu untuk istirahat dibandingkan membuang waktu dalam perjalanan. Ah, mungkin karena aku tidak begitu suka menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan.

"Em, terus nanti pulangnya juga tengah malam lagi?" tanyaku setelah diam cukup lama.

Mengangguk. "Mungkin lebih, soalnya jadwal aslinya sampai jam 7."

Mengangguk-angguk paham. "Tetep pulang juga?"

"Iya lah."

"Nggak capek di perjalanan? Mending buat istirahat di hotel dekat lokasi nggak sih, Mas?"

Mas Pasha kembali menoleh ke arahku. Tersenyum getir. "Hem, memang."

"Berarti nanti nggak pulang?"

Menghela napas. "Kamu maunya aku nggak pulang?"

Diam sejenak. Benar, sebenarnya apa mauku? Mas Pasha pulang untukku tapi kupikir akan lebih baik dia memanfaatkan waktu perjalanan untuk beristirahat dengan benar. Sementara ada perasaan tidak senang jika dia tidak pulang.

"Aku seneng lihat kamu walaupun sebentar, biasanya cuma stalking foto di media sosial. Tapi kalau kamu nggak mau aku pulang ya, em, nggak apa-apa nanti aku nginep di Bogor aja." Senyum getir.

"Tapi Bogor-Jakarta memakan waktu yang cukup banyak, bisa dipakai buat istirahat," ujarku lirih.

"Iya, tapi kamu tidak bisa memahami perasaan senang seorang suami bisa bertemu dengan istrinya setelah lelah dengan pekerjaannya," balasnya tidak menatapku. Dia sibuk menata tempat tidurnya yang hanya beralaskan karpet juga bed cover.

Bukannya aku tidak senang tapi aku ingin dia memanfaatkan waktu untuk dirinya dengan benar. Ya, katakanlah aku memang tidak memahami bagaimana perasaan senang seorang suami bertemu dengan istrinya. 10 tahun aku tidak menjalin hubungan, aku bahkan tidak tahu pasti bagaimana perasaan rindu bisa melebur perlahan-lahan.

"Tidur gih!" titahnya meletakkan kepalanya di atas bantal.

Aku tak menuruti apa katanya, aku justru diam menatapnya bergerak tidak nyaman. Tubuh yang seharian bekerja keras, bergerak sesuai arahan, melakukan banyak adegan hingga larut malam, begitu tiba di rumah tidak beristirahat dengan nyaman. Kenyataan bahwa Mas Pasha pulang demi melihatku turut serta menyayat beberapa bagian di dadaku. Bukankah aku terlalu kejam?

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now