41. Ibu

802 73 4
                                    

Setelah berbicara dengan Mas Pasha yang baru saja pulang dari acara penghargaan. Kami memutuskan untuk segera tidur sebab aku harus ke penerbit esok pagi juga Mas Pasha yang harus mengantarku.

Tentang pembicaraan yang kami bicarakan? Itu benar, tentang keputusan Mas Pasha dan apa yang aku duga sebelumnya benar. Setelah perdebatan panjang, Mas Pasha tetap mengikuti apa keputusanku. Dia hanya memintaku untuk ikut bersama dengannya setiap kali dia harus bertemu dengan psikolog. Tentu aku mengiyakan itu sebab selama ini aku selalu merasa bisa mengatasi ketakutanku sendiri, aku harusnya tahu bahwa aku butuh ahli untuk meyakinkan diriku. Meskipun aku masih merasa gelisah sejak tadi tapi aku harus yakin pada diriku sendiri sekali lagi.

Entah pukul berapa kami terlelap tapi dering telepon mulai mengganggu dengan suara parau Mas Pasha yang mencoba menerimanya. "Innalilahi, iya, iya. Kakak cari penerbangan malam ini dan langsung pulang ya. Ayah gimana?"

Mataku masih terlelap bersembunyi di antara bantal dan Mas Pasha.

"Iya, iya, tenang dulu ya, Ian. Sayang, Ya, Yaya, bangun yuk. Ibu kritis," bisik Mas Pasha mengusap lembut punggungku.

Mata yang sebelumnya berat langsung terbuka lebar menatap Mas Pasha mencari kebenaran.

"Aku coba cari tiket pesawat tercepat dulu, kamu beres-beres. Siapin baju atau kamu ganti baju dulu," titahnya langsung memegang dua ponsel dari atas meja, satu di tangan kanan satu lagi di antara telinga juga lehernya.

Aku masih tertegun tidak bisa berkata apa-apa, jangankan berkata, untuk menggerakkan jariku saja rasanya sulit. Vian tidak mengatakan apapun, ayah juga tidak. Bahkan Ibu masih berbicara denganku di telepon dua hari lalu. Masih sempat kutanyakan keadaannya dan Ibu bilang baik-baik saja. Tiba-tiba kritis?

Ya Tuhan, aku tidak punya banyak waktu untuk ibu. Aku tidak benar-benar memperhatikan beliau. Hanya sesekali bertanya kabar atau mengingatkan makan, tapi memang tidak sesering itu. Aku tidak terlalu dekat dengan ibu. Tapi mendengar bahwa Ibu kritis semua rasa bersalah juga kekhawatiran datang bersamaan. Hingga aku bingung harus berbuat apa.

"Masa penerbangan pertama jam 5, Bang? Tengah malam nggak ada? Penerbangan terakhir lah," cerocos Mas Pasha sedikit meninggi lalu berbalik melihatku yang sedang menitikkan air mata di belakangnya. "Nggak apa-apa, ibu pasti nggak apa-apa," bisiknya setelah memelukku sembari terus menelepon.

Semua penyesalan akhirnya datang padaku. Semua memori tentang aku dan Ibu yang tidak dekat kembali terekam. Seharusnya aku tenang, ibu kritis, masih bisa kembali dan bukannya Allah Swt. memintanya kembali. Hanya saja, ya, aku menyesal karena ternyata mendengar ibu tidak baik-baik saja itu terlalu menakutkan untukku.

"Kereta, kalau kereta jam berapa, Bang? Oh sampainya sore? Oke, oke, carikan penerbangan pertama ya, Bang. Tolong sampaikan sama Andina juga untuk atur ulang jadwalnya Yaya. Hem, iya, makasih, Bang." Meletakkan semua ponselnya dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusap punggung juga kepalaku. "Maaf ya, penerbangan malam ini nggak ada, tunggu dulu besok pagi. Doain ibu dulu dari sini ya?" bisiknya sesekali mengecup puncak kepalaku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, sudah terlalu mengejutkan bagiku.

🌸🌸🌸

Sepanjang tengah malam hingga subuh hari aku hanya mondar-mandir menelepon Vian yang butuh waktu lama untuk bisa leluasa berbicara denganku. Vian mengatakan bahwa Ibu sudah mulai sakit 1 Minggu yang lalu tapi masih mengatakan bahwa itu hanya kelelahan sehingga ibu meminta Vian mengantar beliau ke apotek untuk membeli obat. Lalu dua hari lalu ibu ditemukan pingsan di kamar mandi tepat setelah berbagi kabar denganku. Selebihnya Vian hanya memintaku untuk segera pulang sebab banyak hal yang harus aku dengar dan ibu juga butuh aku ada di sana.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now