9. Skenario Perjalanan Cinta

882 73 0
                                    

Sudah lewat setengah jam aku ada di sebuah hotel di daerah Senayan dekat tak jauh dari Stadion Gelora Bung Karno. Ini cukup jauh dari apartemenku dan sejak dalam perjalanan hingga sekarang kami tak bersuara meski satu mobil. Kesibukan kami adalah melihat ponsel serta orang-orang di pinggiran yang membicarakan kami, bahkan ada seorang wartawan yang terang-terangan menunggu di depan hotel.

"Em, siapa namamu?" tanya Ryan pada Andina yang agaknya menyempatkan diri membaca jurnal.

"Andina, Pak," balasnya membuatku menahan tawa. Seorang Ryan, manager artis yang tak kalah terkenal dari artisnya dipanggil "Pak". Meskipun usianya mendekati 40 tahun.

"Bang aja, okey?"

Andina mengangguk paham.

"Begini, jadi sebelum rapat dengan wedding organizer, aku mau kita mencocokkan jadwal Pasha dan Nattaya selama bulan September hingga Oktober karena itu bulan sibuk untuk persiapan pernikahan. Ya, walaupun sudah diurus oleh pihak WO tapi kan seperti fitting gaun, pemilihan konsep, pengajian dan lain sebagainya harus kita cek sendiri. Mohon kerjasamanya," jelas Ryan.

"Oh, ya, sebentar," balas Andina membuka iPad birunya dan sibuk menyentuh layar.

Aku dan Pasha tentu hanya diam menyaksikan mereka bertukar jadwal lalu melingkari jadwal yang kosong.

"Untuk tanggal 6 Oktober sampai dengan 2 minggu setelahnya, aku harap mereka bisa bulan madu ke tempat yang tenang."

Dahiku mengernyit. "Kenapa harus bulan madu segala?" Pertanyaan yang mungkin saja ditertawakan banyak orang.

"Kak, ya habis nikah bulan madu lah!" sahut Andina.

"Nggak per..."

"Perlu, Kak," potong Andina. "Tapi, Bang, tanggal 6 dan 7 Oktober Kak Yaya ada jadwal perilisan film di Jakarta dan Bandung. Nanti ada jadwal lagi tanggal 30 Oktober, seminar di Solo."

"Din!" protesku.

"Ya cari saja penerbangan tanggal 8 Oktober. Tujuannya terserah Yaya," usul Pasha.

"Eh, perlu banget bulan madu? Nggak, kan?" tanyaku dengan mata melotot.

"Kak Yaya!" pekik Andina. "Sangat-sangat perlu. Biar kakak juga istirahat, liburan, jangan cuma kerja terus. Apa nggak kasian juga sama Kak Pasha, habis nikah harusnya banyak waktu berduaan sama istri bukannya malah ditinggal keluar kota berhari-hari."

Aku dan Pasha saling menatap. "Kan di rumah juga bisa berduaan, Din."

"Nggak bisa lah, beda. Kakak pengen ke Korea, kan? Mau ke Korea aja? Ah, atau ke Jepang?"

"Pesen tiket dan akomodasi ke Korea aja, Bang," titah Pasha membuatku semakin melotot.

"Kita perlu bicara berdua!" menarik Pasha jauh dari Ryan dan Andina.

"Kenapa?" tanyanya setelah duduk di depanku, di bangku kosong paling ujung barat. Mungkin 8 sampai 10 meter dari manager dan asisten kami.

"Kamu gila?" tanyaku menatap wajahnya tak percaya. "Ngapain harus bulan madu? Nikah sudah selesai, ya sudah."

"Apa kata orang kalau kita nggak bulan madu? Kamu harus sadar siapa kamu dan siapa aku. Seberapa banyak orang yang memerhatikan pernikahan kita juga harus menjadi perhatianmu. Katakan lah ini hanya formalitas," jelasnya.

Aku tertawa. "Formalitas? Astaga, kenapa aku harus terjebak dalam kegilaan ini? Pasha, kenapa harus aku?"

Pasha diam. Hanya menatapku dalam, tentu saja menakutkan. "Aku tahu bagaimana perasaanmu tapi bagaimana pun aku juga harus menampilkan sebuah pernikahan yang sempurna, tidak, pernikahan yang baik seperti pernikahan lainnya."

A Perfect RomanceOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz