33. First Kiss

978 78 9
                                    

Udara pagi Jakarta akhirnya kuhirup lagi, ya, aku baru saja tiba di Jakarta dan sedang menyisir sudut stasiun untuk mencari Mas Pasha yang sudah sejak 2 jam lalu ada di stasiun. Sudah kubilang pukul 05.01 WIB baru tiba di stasiun tapi Mas Pasha sudah berangkat dari rumah sejak pukul 02.00 WIB. Ah, kupikir apa yang Bang Ryan katakan ada benarnya, Mas Pasha sudah telanjur jatuh terlalu dalam padaku. Pun karena aku adalah yang pertama juga satu-satunya bagi Mas Pasha, sudah pasti perasaannya memberikan kesan yang kuat juga menggebu-gebu.

"Kak, Mas Pasha tuh!" Andina menunjuk Mas Pasha yang baru saja keluar dari mobil hitamnya.

"Kak, Mas Pasha tuh!" Andina menunjuk Mas Pasha yang baru saja keluar dari mobil hitamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ya udah yuk!" ajakku karena aku sudah bilang pada Mas Pasha agar kami mengantar Andina ke kos lebih dulu.

"Nggak ah, Kak. Mau naik taksi aja."

"Ih, ngabisin uang nanti." Menarik tangannya.

"Kak, nggak mau ganggu kalian. Mas Pasha pasti rindunya sudah menggebu-gebu, udah menyeruak, mengamuk, apalah itu."

"Nggak lah, ayo!"

"Aku naik taksi aja beneran, Kak. Mas Pasha hampir tiap jam telepon kakak, pasti sih, pasti rindunya udah nggak bisa ditahan. Jadi biarkan rindu itu menguar begitu ketemu sama Kakak."

Menjauhkan diriku dari Andina. Sudah macam penyair salah bahasa saja si Andina. Bagaimana dia bisa menggunakan diksi menguar dalam kalimatnya? Rindu yang menguar? Lucu sekali.

"Ya," panggil Mas Pasha mendekat.

"Iya."

"Ayo!" Menarik koper di sebelahku. Wah, dia tidak ingin menggandeng tangan istrinya?

"Ayo, Din."

Menggeleng. "Naik taksi aja. Bye!" Melambaikan tangan sok anggun.

Kubiarkan pada akhirnya karena banyak sekali taksi di sekitar stasiun yang memang tak pernah sepi. Aku mengikuti Mas Pasha dengan langkah yang kupercepat. Mas Pasha membukakan pintu mobil untukku sembari celingukan melihat sekeliling, seperti mencari seseorang.

"Cari siapa?" tanyaku masuk ke dalam mobil.

"Andina."

"Nggak jadi ikut," jawabku sembari memakai seat belt sementara Mas Pasha tersenyum lebar masih di depan pintu mobil. "Ngapain senyum-senyum?" tanyaku merasa aneh sebab Mas Pasha jarang sekali tersenyum selebar ini.

Tidak menjawab pertanyaanku, justru menutup pintu dan bergegas untuk duduk di balik kemudi. "Boleh peluk?" tanyanya setelah mengetuk-ngetukkan jemarinya di kemudi.

Menahan senyumku, pura-pura berpikir cukup lama. "Sila..." Belum selesai aku menjawab Mas Pasha sudah memelukku. "Kan." Dengan suara lirih juga susah payah menahan senyum.

A Perfect RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang