4. Kesepakatan

1.3K 91 1
                                    

Perbincangan dengan ayah tidak menemui titik terang, ini sudah lewat pukul 19.30 tapi aku tetap meminta berbagai cara agar acara ditunda sementara waktu. Aku tahu ini menyebalkan bagi keluarga Pasha yang sudah datang sebelum azan isya berkumandang tapi aku juga harus meluruskan masa depanku yang dipengaruhi sepenggal masa lalu. Dengan wajah memelas aku memohon pada ibu untuk bisa berbicara empat mata dengan Pasha dan agaknya Pasha peka sehingga dia mau berbicara denganku empat mata di kamarku, tidak maksudku, enam mata dengan Gina yang sejak tadi pura-pura tuli di pojokan.

Aku menatap Pasha dengan wajah kesal, bahkan dengusku pasti terdengar olehnya. "Kamu kenal aku dari mana?" tanyaku langsung pada intinya. Aku pun menyamarkan ingatanku tentangnya masa itu.

"Secara tidak langsung kita ada di industri yang sama, kan? Bagaimana aku tidak mengenalmu?"

Sudah kuduga dia akan menjawab demikian. "Kamu tidak merasa pernah bertemu denganku sebelum kita sama-sama masuk ke industri perfilman?"

Pasha nampak berpikir. "Aku tidak tahu tapi pertama kali aku mendengar namamu adalah saat Minute.com memublikasikan artikel tentang penolakanmu terhadapku. Mengapa kamu menolakku padahal aku tidak mengajukan diri sebagai aktor di film adaptasi novelmu?" tanyanya dengan wajah sinis.

Ya, hari itu untuk pertama kalinya aku ketahuan oleh media bahwa aku selalu menolak Pasha sebagai tokoh dalam film adaptasi novelku. Ada benarnya aku menolak Pasha tapi artikel itu berlebihan pun seperti terlalu banyak garam. Itu menimbulkan kesalahpahaman dan ketegangan antara aku dan agensi tempat Pasha bernaung saat ini. Orang-orang juga mulai berpikir kami ini musuh, beberapa penggemarnya juga ikut membenciku, tapi aku justru merasa itu lebih baik karena aku tidak perlu membuat alasan agar tidak memakai jasanya dalam filmku.

Baiklah waktuku tidak lama, haruskah aku bertanya padanya apakah dia mengingatku, seseorang yang ingin dia jadikan kekasihnya tiba-tiba di masa SMA? Ah, tapi dia mungkin saja besar kepala karena aku masih mengingatnya. Seharusnya memang tidak bertanya tentang masa lalu saat waktu yang diberikan kepada kami tidak lah banyak.

"Baiklah, kamu kesal karena itu tapi kenapa ingin melamarku?"

Tersenyum jahat. "Kenapa lagi memangnya? Aku tahu rahasiamu."

"Maksudmu?"

"Jangan berpura-pura tidak tahu, aku tahu tidak ada tokoh nyata yang kamu jadikan sebagai inspirasi. Semua yang kamu katakan pada majalah-majalah atau media-media yang mewawancaraimu itu kebohongan. Tidak, maksudku, tentang seseorang yang terlibat kisah kasih denganmu."

Aku diam tidak bisa membatah apapun, Pasha semakin tersenyum menang karena itu.

"Aku ingin menawarkan kerjasama. Katakanlah simbiosis mutualisme."

"Apa maksudmu?"

"Emm... Kamu tahu kan gosip terbaru tentangku?"

"Apa sepenting itu? Apa hidupku sesantai itu sampai bisa mendengar gosip tentangmu?"

Pasha menghela napas panjangnya. "Orang-orang menyebutku gay karena tidak kunjung menikah dan hampir tidak pernah ada rumor kencan dengan perempuan. Yang ada justru rumor kencan dengan laki-laki yang sebenarnya dia sahabatku sejak dulu."

"Mungkin kamu memang gay, lalu kamu mau menggunakan aku untuk menutupi orientasi seksualmu yang salah menurut agama itu. Benar begitu yang kamu sebut simbiosis mutualisme?"

"Hey, tolong jangan menuduh orang sembarangan. Aku masih normal dan aku menyukai perempuan."

"Lalu kenapa tidak menikah kalau normal?"

"Memangnya aku datang ke sini untuk tujuan apa?"

Menghela napas. "Ada jutaan perempuan di seluruh dunia ini, lalu kenapa harus aku?"

A Perfect RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang