27. Sweet Moment In 1 Room

961 78 30
                                    

Kini aku benar-benar tiba di sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas, penuh dengan bunga dan beberapa mobil terparkir rapi. Benar, rumah pengusaha tidak pernah gagal. Entah berapa miliar harga rumah ini, tentu lebih mahal jika dibandingkan dengan apartemen milik kami, tidak, maksudku milik Pasha. Harga tanah di Jakarta saja sudah sangat tinggi, apalagi tanah dan bangunan serta seisinya. Sudah pasti bermiliar-miliar rupiah dirogoh dalam dari saku Papa. Aku benar-benar baru tahu mertuaku sekaya ini. Aku tahu beliau pengusaha dan Pasha adalah aktor dengan bayaran mahal, tapi tidak terpikirkan akan memiliki rumah dengan halaman besar di Jakarta.

"Masuk, Sayang," ajak Mama menggandeng tanganku. "Suka bunga ndak?" tanya Mama sembari melihat tamanan-tanaman hiasnya di halaman. "Kalau ndak suka, Mama bisa buang semuanya, besok pagi sudah bersih!"

Aku terkekeh. "Yaya suka bunga kok, Ma."

"Oh ya? Okey, besok Mama suruh Pasha metik bunga terus dibikin buket, dikasih ke kamu."

"Hehe, ndak usah, Ma."

"Ih, ndak apa-apa. Denger ndak, Sha?"

"Iya?" Pasha menyahut dari belakang dengan koper di tangannya. Itu hanya ada bajuku. Dia belum sempat pulang lagi untuk mengambil bajunya.

"Petikin bunga di halaman, bikin buket, terus kasih ke istrimu besok pagi!" titah Mama.

"Iya, Ma," jawabnya dengan wajah menurut. Sisi lain Pasha yang belum kuketahui kini satu per satu muncul.

"Ya sudah, antar istrimu ke kamar. Sudah dibersihkan bibi kok," perintah Mama yang hendak berjalan ke arah sebuah pintu berwarna putih di sisi kanan.

"Kamar tamu apa kamarku?" tanya Pasha dengan polosnya.

"Kamar kamu lah, kamu mau nyuruh istrimu tidur di kamar tamu yang kosong sementara kamu tidur di kamar yang nyaman?" tantang Mama dan Pasha hanya bisa menggeleng pasrah. "Digandeng, masih ndak kuat itu istrimu!"

"Kan cuma ke lantai 2, Ma," bantah Pasha.

"Hish, kamu ini kalau di depan kamera aja sama cewek kaya si Paling Romantis, sama istri sendiri kakikuk!"

Aku menahan tawaku. Mungkin memang aku yang harusnya memulai, kan? Sudah kutekadkan untuk tetap disampingnya, maka yang harus kulakukan adalah melakukannya dengan semestinya.

Bismilah, kulingkarkan tanganku di lengannya dan dia menatapku gugup. "Ayo!" ajakku dan Pasha hanya mengangguk.

Kamar yang luas dengan furnitur mewah juga tempat tidur yang lebar, tapi seperti ada yang kosong di depan televisi berlayar lebar. Hanya ada karpet kecil juga meja dengan bunga kecil di tengah-tengahnya.

"Sofanya hilang," gumam Pasha. Ah, pantas jika kosong.

Aku melepas tanganku dari lengannya. "Kamarmu seluas ini, kenapa milih kamar kecil di apartemen kita?" tanyaku membuatnya menegang. Itu jelas sekali.

"Aku pengen kamu merasa nyaman di rumah, toh kecil itu juga nyaman buat aku," jelasnya pelan.

"Kalau aku minta semua apartemenmu juga kamu kasih?" tanyaku bukan karena ingin. Bahkan apartemen lamaku saja cukup bagiku. Aku hanya ingin tahu seberapa besar dia mengutamakanku.

Pasha mengangguk.

"Jangan gila!"

"Maaf."

Ya Tuhan, aku salah bicara lagi?

"Aku mandi dulu ya? Kepalaku gatal," kataku untuk mengalihkan pembicaraan. Berjalan ke arah pintu putih yang sudah kuyakini sebagai kamar mandi.

"Iya, aku carikan handuknya dulu."

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now