44. Special Night

1K 67 3
                                    

Aku sudah tiba di Jakarta sekarang, satu hari lebih lambat dari Mas Pasha. Tiba dengan perasaan yang berat, masih mengkhawatirkan Vian dan ayah. Tapi bagaimana lagi, seperti pesan ayah bahwa yang mati harus mempertanggungjawabkan amalnya sementara yang hidup harus melanjutkan kehidupannya. Sudah kuputuskan untuk menata ulang hidupku dengan baik. Mungkin perasaan takut dan trauma itu tidak pernah hilang tapi aku ingin berusaha untuk mengatasinya dengan lebih baik.

Sebentar lagi pukul 21.00 WIB dan Mas Pasha belum pulang dari pertemuannya dengan seorang psikiater. Dia sudah melakukannya untuk waktu yang lama karena kenangan masa lalunya. Untuk beberapa Minggu terakhir dia lebih sering menemui psikiater untuk mengendalikan dirinya imbas dari banyaknya masalah yang kami alami. Semalam Mas Pasha meneleponku dan mengatakan bahwa menemui psikiater lebih sering dari biasanya adalah salah satu usahanya untuk menjadi ayah yang baik.

Aku? Aku sudah dijadwalkan untuk bertemu Minggu depan. Kalau dikatakan sakit, sepertinya kami memang cukup sehat tapi mental kami mungkin tidak sebaik orang lain dalam beberapa hal. Ah, kekerasan dan bullying dalam bentuk apapun memang sangat menakutkan.

Tersenyum tipis setelah melihat foto pernikahan kami yang agaknya baru dipasang di atas tempat tidur. Foto di mana senyumku nampak terpaksa tanpa tahu bahwa aku sedang dicintai sangat dalam oleh seorang Pasha Yudhanta Varesqi.

"Loh sudah sampai? Kenapa nggak bilang?" tanya Mas Pasha yang baru saja pulang, masih mengenakan jaket dan masker. "Kan sudah aku bilang nanti dijemput."

"Kan Mas masih ketemu dokter, kan? Tadi delay-nya juga nggak lama jadi sampainya ya hampir tepat waktu lah. Hehe, hampir ya, lebih dikit soalnya. Yang penting kan sampai dengan selamat."

"Ya sih." Lalu tersenyum seolah memiliki niat jahat.

"Kenapa?" tanyaku mulai merinding.

"Nggak berubah pikiran, kan?" tanyanya.

"Apa?"

"Mau punya anak."

Duduk, menghela napas sembari melihat Mas Pasha melepaskan masker dan jaketnya lalu mendekatiku. Berjongkok di depanku, menatap penuh harapan.

Tersenyum tipis. "Nggak kok, nggak berubah pikiran. Aku mau coba, nggak, bukan mau coba tapi ya, aku harus lebih baik, kan?"

Mas Pasha tersenyum lebar lalu mengangguk. "Aku mandi dulu kalau begitu."

Mengangguk tanpa pikiran buruk. Setengah jam lagi mungkin aku menyesali pikiran polosku.

Sementara Mas Pasha pergi mandi, aku memutuskan untuk mengeluarkan semua pakaian yang kubawa dari Boyolali. Lantas kubawa ke ruangan laundry, memilah beberapa pakaian sesuai warna sembari menegak segelas air putih di tangan kananku. Ya, itu karena aku terbiasa mencuci pakaian sesuai warna.

"Ngapain malah nyuci?" tanya Mas Pasha membuatku terkejut. Dia masih mengenakan bathrobe abu-abunya.

"Nggak nyuci, Mas. Cuma milah-milah aja biar besok tinggal nyuci."

Mas Pasha menghela napas.

"Udah sana ganti baju tidur dulu!" usirku kembali memilah 3 pakaian terakhir. Itu pun milik Mas Pasha yang memang sembarangan menaruh baju kotor.

"Ngapain ganti baju kalau nanti akhirnya dilepas sih?" balasnya membuat gerakanku terhenti.

Menoleh ke arah Mas Pasha yang sedang menggerakkan kedua alisnya. "Apa maksud?"

Mas Pasha tersenyum jahat. "Ini pertama kalinya, nggak mungkin kita melakukannya di sini, kan?" Mendekat dan memeluk pinggangku.

Di sini lah akhirnya aku tersadar. Setan mesum mana yang merasuki Mas Pasha sekarang? Apa tidak ada manusia lain yang bisa dirasuki?

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now