23. Sisi Lain Pasha

778 79 29
                                    

Laiknya benang yang kusut, begitulah pikiranku saat ini. Mulai dari Pasha yang dulu tiba-tiba menyatakan perasaannya. Pasha yang tiba-tiba tahu pacarku sedang selingkuh. Pasha yang pergi jauh menjadi seorang aktor juga pertemuan pertama kami setelah sekian lama. Aku dan Pasha yang hidup seolah tak saling mengenal. Hingga akhirnya Pasha melamarku, menikahiku, membawaku ke apartemennya. Semua alasan dari apa yang Pasha lakukan tak bisa aku mengerti. Kenapa dia melakukan itu semua?

Jika memang perasaan Pasha bisa disebut dengan cinta. Bukankah pendekatannya tidak bisa seperti apa yang dia lakukan? Jika dia langsung pada poin tujuannya, orang sulit memercayainya, bukan? Tidak-tidak, Pasha mengatakan bahwa dia menikahiku sebab citranya mulai memburuk. Orang menganggapnya penyuka sesama jenis. Dia melakukan semua itu padaku hanya untuk citranya.

Benar, aku lebih percaya pada kata-kata lalu diperkuat dengan tindakan. Sayangnya tindakan Pasha yang berubah-ubah hingga aktingnya yang bagus membuatku tidak bisa menilai. Aku lemah dalam membedakan mana akting mana sungguhan. Satu-satunya aku pandai menilai bahwa itu hanyalah akting adalah ketika ada kamera di sekitarnya.

Menatap kosong langit-langit rumah sakit dengan pikiran yang semakin kusut. Tidak ada Bang Ryan di sini, dia pulang karena semalam pun dia tidak pulang. Dia punya anak dan istri pastinya yang menginginkan dia ada di rumah juga.

Haruskah aku menelepon Pasha? Tidak, apa Danendra saja yang datang kemari?

Sejujurnya aku ingin segera tahu semua jawaban atas pertanyaan dalam benakku.  Aku ingin mendengarnya langsung dari Pasha, tapi perasaanku pada Pasha bercampur aduk. Perasaan marah karena dia menciumku tanpa izin dan tidak ada penjelasan. Perasaan sangat ingin tahu tentangnya juga aku rasakan.

Tidak bisa, aku tidak bisa menunggu lagi. Bahkan dengan rasa malu dan membuang gengsiku. Aku harus menemui Pasha hari ini.

Aku segera menelepon Andina dan memintanya untuk menjemputku di rumah sakit. Tapi aku harus menerima omelan panjangnya, "Ngapain di rumah sakit? Kakak sakit? Kenapa nggak ngasih tahu? Apa Kak Pasha yang sakit? Nggak mungkin! Dia aja lagi sama cewek. Kenapa Kak Pasha nggak ngabarin aku? Kakak sakit apa? Kecapekan ya? Jangan-jangan di sana nggak dijagain sama Kak Pasha?"

"Din, udah, jemput kakak sekarang terus anter kakak ke rumah," pintaku.

Andina mengiyakan, dia segera memulai perjalanan dari kampus menuju ke rumah sakit. Dekat tapi mungkin butuh waktu 1-2 jam dengan padatnya jalanan Jakarta.

Aku memutuskan untuk tidur lagi sebentar, menghemat tenagaku. Tubuhku masih sangat lemah dan badanku cukup panas. Benar, kata dokter aku terkena penyakit tifus. Ruam-ruam ditubuhku juga muncul cukup banyak, bahkan semalam aku seperti tidak sadarkan diri, menggigil dan terus memanggil Andina tapi yang menemaniku semalam tentu saja Bang Ryan. Dia mengusap wajahku dengan kain hangat sepanjang malam. Lucu jika mengingat bagaimana kami sering bersitegang di media.

"Kak, Kak Yaya!" Andina membangunku hati-hati.

Melirik jam dinding, dia hanya membutuhkan waktu 45 menit? Ini Gila.

"Kok cepet?" tanyaku.

"Iya, aku naik busway. Kalau naik mobil lama urusannya. Kakak juga kenapa nggak bilang? Terus ini Kak Pasha ke mana? Oh, seneng-seneng sih tadi pagi sama Giselle. Terus dia nggak jagain kakak gitu? Emang ya orang ganteng itu problematik!"

Dahiku mengernyit. "Aku mau ketemu Pasha, tolong bilang ke dokter kalau aku minta pulang lebih cepat."

"Apa? Nggak-nggak, lihat muka kakak, masih kaya mayat hidup!" tolak Andina keras. Di antara semua teman di Jakarta, Andina lah yang paling mengkhawatirkanku. Jika sekarang Mama bisa kuanggap keluarga, maka Mama mungkin juga mengkhawatirkanku, mengingat sikapnya yang hangat padaku.

A Perfect RomanceNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ