28. Di Tempat Tidur Yang Sama?

1K 72 9
                                    

Terbangun karena azan salat Magrib, aku tidak melihat Pasha, tidak, maksudku Mas Pasha ada di dalam kamar. Oh, mungkin dia sudah berangkat ke masjid. Tapi begitu aku hendak mengikat rambutku, Pasha masuk dengan mukena juga sajadah di tangannya. "Mau ikut aku sama Papa ke masjid sebelah rumah atau mau salat di kamar aja?" tanyanya menatapku kikuk.

"Em, kalau di rumah aja nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa kok."

Mengangguk paham.

"Oh." Pasha sebelum dia memberikan mukena juga sajadah untukku. "Nanti Bang Danendra mau ke sini katanya."

"Iya." Meskipun membatin ada perlu apa dia ke sini. "Tapi aku kan bawa mukena." Setelah menerima mukena dengan kedua tanganku.

"Barusan aku cuci."

"Mas nyuci?"

"Iya."

"Lain kali nggak usah, Mas."

"Nggak apa-apa, aku pengen ngelakuin semua yang aku bisa buat kamu."

"Ya, tapi aku bisa sendiri."

"Ganggu kamu banget ya kalau aku..."

"Oke, oke, lakuin apa yang Mas mau." Aku sudah tidak ingin lagi dia merasa apa yang dilakukannya membebaniku. Paling tidak untuk saat ini. Tapi dia bukan lah orang yang harus melakukan pekerjaan rumah untukku. Jika baginya aku memang ratu, cukup bersikap manis padaku sewajarnya, aku pun tak suka terlalu diratukan setidaknya saat ini.

Mas Pasha kemudian pergi meninggalkan kamar dengan sarung merah maroon di bahunya. Pemandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dia yang dengan rapi hendak pergi ke masjid.

Selesai melaksanakan salat magrib, aku turun ke bawah karena Mas Pasha pun tak kunjung kembali dari masjid. Rasanya tak enak hanya di dalam kamar tanpa tahu apa yang terjadi di luar. Pun ini waktunya makan malam, mungkin ada yang bisa kubantu meskipun aku tahu keluarga suamiku memiliki 2 asisten rumah tangga.

"Ma," sapaku saat melihat Mama masih mengenakan atasan musalanya membantu asisten rumah tangga menata piring dan sendok.

"Oh, sudah turun. Baru mau Mama panggil."

"Hehe, bosen di kamar terus juga, Ma. Siapa tahu ada yang bisa dibantu di bawah."

"Nggak ada, duduk aja," seru Mama langsung tanpa jeda dari waktuku berbicara.

"Biar Yaya aja yang ngatur piring sama sendoknya, Ma. Mama lepas mukena dulu aja."

"Aish, ndak usah. Nanti kalau Pasha tahu Mama memperbudak ratunya, dia bisa marah," seloroh Mama.

"Ah, ndak lah, Ma. Ratu macam apa yang penampilannya begini."

"Eh, apa yang salah, cantik gitu kok. Ya kan, Bi?" Kepada asisten rumah tangga yang membawa semangkuk sup panas.

"Iya, Bu. Oh, ini masakannya Mas Pasha ditaruh sebelah mana, Bu?" Bingung menggeser mangkuk dari tengah ke tepi kembali ke tengah lagi.

"Di depan istrinya dong. Dia masak buat istrinya," jawab Mama.

"Iya, Bu." Menggeser ke depanku.

Menatap sup dengan kuah keruh di depanku. "Mas Pasha yang masak, Ma?" tanyaku justru Mama yang nampak terkejut. Padahal seharusnya aku. Mas Pasha masak untukku? Dalam rangka apa?

"Mas? Mas Pasha tadi kamu bilang, Sayang?" tanya Mama dengan mata yang sedikit lebih lebar dari biasanya.

Mengangguk.

"Wah, hehe, Mama seneng dengernya. Pantes Pasha kelihatan seneng banget pas ngembaliin hair dryer tadi. Bahkan sampai dimasakin gini. Ternyata karena panggilannya sudah berubah to?"

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now