11. Last Day

767 64 1
                                    

Menatap hiruk pikuk Senayan dari restoran di atas hotel ternama di Jakarta. Hotel tempatku melepas statusku sebagai Nattaya Shirin Dheandita dan akan bergelar Nyonya Pasha Yudhanta Varesqi. Aku tetap tidak punya pilihan selain melanjutkan semuanya. Jika Pasha tidak mengurusi hidupku, mengekangku, mengatur hidupku, aku yakin aku bisa melewati semuanya. Anggap saja pernikahan ini hanya di atas kertas, tak ada bedanya dengan saat aku sendirian. Hanya satu yang akan berbeda, aku tinggal dengan Pasha dalam satu atap.

Di sini aku tidak menunggu Pasha. Dia masih tinggal di apartemennya dan belum bertemu denganku lagi sejak fitting gaun hari itu. Benar, jika kalian menebak aku di sini menunggu Danendra. Aku memang memintanya ke sini bersama managernya untuk bersenang-senang sebelum hari yang berat esok. Sudah lama juga Danendra tidak menghubungiku sejak terakhir kali dia bertanya mengapa aku tiba-tiba menikah. Entah kenapa dia sama sekali tidak penasaran lagi sejak aku bilang sebaiknya dia menanyakan cerita pernikahan kami pada Pasha.

"Ah, asam banget, di luar banyak banget wartawan," keluh Danendra yang langsung meletakkan tas tangan hitamnya di atas kursi di depanku.

"Nggak usah di luar, noh di belakang gue juga ada wartawan," balasku menyeruput orange jus di depanku.

"Waduh, nggak bisa nih ntar kalau ada berita pengantin perempuan lagi dipingit malah ketemu laki-laki lain gimana? Gila, bisa dapet headline perebut calon istri orang nih," selorohnya sembari mengangkat tangan untuk memesan sesuatu.

"Gue sih bodo amat," tanggapku santai. Toh, apa pentingnya berita itu bagiku maupun bagi Pasha jika benar-benar ada. Dia juga tidak akan peduli dengan siapa aku bertemu dan berteman. Apapun yang terjadi hari ini pernikahan tetap akan dilaksanakan.

Danendra memesan beberapa makanan dan minuman sebelum akhirnya menatapku pasrah. "Lo jangan cuek-cuek gitu dong, jangan apatis sama kehidupan lo sendiri."

"Apa yang mau dipeduliin?"

Helaan napas panjang dari teman dekatku.

"Lo kenapa nggak nanya sama gue tentang pernikahan gue? Dulu aja ngotot lo nanyain alasan gue, lo sampai marah-marah nggak jelas," kataku sebab aku penasaran mengapa dia tiba-tiba diam tidak menanyakan apa yang membuatnya penasaran dan kesal.

Menyeruput latte di depannya. "Kan lo bilang nanya Pasha dulu baru nanya sama lo. Karena gue udah nanya sama Pasha dan bagi gue itu cukup ya udah nggak nanya sama elo gue-nya," jelasnya mengambil satu sandwich dari piring hitam.

"Jawab apa si Pasha?" tanyaku sembari memainkan sedotan besi.

"Dia cinta sama elo."

Uhuk, uhuk, uhuk. "Lo kalau mau bercanda sama gue jangan bercanda untuk satu hal ini."

"Hahaha, nggak lah. Ya dia jawab dia butuh istri yang tepat dan elo yang tepat."

"Yakin cuma bilang itu?"

Danendra menghela napas panjang. "Anji... astagfirullah, lo tahu nggak seberapa marah gue sama penjelasannya dia? Lo gila ya, Ya?" Tiba-tiba saja meledak hingga urat-urat di dahi dan lehernya terlihat. "Kenapa lo ambil tawaran gila itu dan bikin perjanjian, Ya? Kalau elo kepepet banget harus nikah karena desakan Bonyok, gue nikahin elo. Gue sayang-sayang, gue manja-manja, kagak usah kontrak-kotrakan kek bangunan dua petak aja pake kontrak."

"Mulut lo!" tekanku karena dia sedikit mengeras meski jarak antar meja di restoran ini cukup jauh.

"Oke." Menghela napas lagi. "Tapi gue bener-bener kecewa sama lo, Ya. Gila, ini pernikahan lho, seumur hidup sekali cukup. Kalau kaya gini terus, elonya nggak bisa jatuh cinta sama Pasha, selamanya lo hidup sama orang yang nggak bisa bikin nyaman. Nggak mikir sampai situ?"

A Perfect Romanceजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें