12. Hari Yang Kulupakan

872 76 14
                                    

Bagaimana perasaan kalian saat kalian menikah pada hari itu? Kutanya, sebahagia apa kalian? Berbagilah denganku bagaimana perasaan bahagia itu! Aku iri karena kalian pintar dalam mengambil keputusan dan mengendalikan diri. Juga karena kalian jatuh cinta pada orang yang tepat. Aku iri sebab yang kulihat hidup kalian begitu mudah, karakter dan watak kalian bagus, mudah menyesuaikan di berbagai lingkungan di mana kalian tinggal. Ya, aku iri dengan kalian tanpa tahu seberapa berat hidup kalian sebenarnya, itu nampak mudah di mataku.

Hari ini, 5 Oktober menjadi hari yang membaahagiakan bagi seluruh penghuni hotel yang diisi oleh keluarga besarku juga keluarga Pasha. Sayangnya tidak dengnku, aku cukup bersyukur saja ada kesempatan untuk menikah meskipun di masa depan kupikir kebahagiaan itu tidak menyertai.

"Aduh, Mas Pasha nggak sabaran banget ketemu sama kakak," keluh Vian menggugah lamunanku di balkon kamar.

Yang kupikirkan setelah mendengarnya adalah, "Drama apa lagi yang dia buat pagi ini?"

"Buset, kakak gue cantik banget begini gimana Mas Pasha nggak pengen cepet-cepet ketemu," pujinya begitu aku menoleh ke arahnya yang duduk kesal di atas tempat tidur.

"Ngomong apa sih?" Berjalan pelan mendekati Vian.

"Ish, dari tadi Mas Pasha minta ketemu dulu sama kakak, tapi sama Ibu nggak dibolehin. Terus minta tolong aku buat ketemu sama kakak juga tapi jatuhnya malah aku yang dimarahin ibu. Udah aku suruh WA aja kalau ada yang penting, tapi kakak nggak jawab katanya," jelas Vian.

"Kenapa gitu pengen ketemu?"

"Ya mana aku tahu, Kak. Nggak sabar kali mau malam pertama, hahaha," candanya.

"Gila kali!"

"Ya gitu lah, pokoknya dia lagi dimarahin sama Mamanya sekarang."

Terserah, aku tidak peduli apa yang dia alami dan apa yang sedang dia lakukan. Toh, apa gunanya informasi itu untuk kebaikanku saat ini? Tidak ada.

Melirik jam dinding antik, menurut jadwal 10 menit lagi akad akan dimulai. Mungkin sebentar lagi Ibuku dan adiknya akan menjemputku dan membawaku ke ballroom.

"Dik, kalau kakak kabur sekarang ayah kena serangan jantung nggak?" tanyaku langsung menerima pukulan di kepalaku.

"Bisa meninggoy kali ayah. Gila apa? Ya Allah, punya kakak pe'ak banget kenapa ya."

Aku tertawa. "Bercanda."

"Candaanmu nggak lucu kaya candaan pemimpin partai."

Masih tertawa. Ya, Vian saja sekaget ini apalagi ayah.

"Lagian dapat calon suami modelan Mas Pasha itu udah keberuntungan tingkat tinggi, Kak. Masih kurang bersyukur?"

"Nggak, gini-gini. Kamu sendiri kan ada waktu kakak lamaran? Terus kamu orang yang paling up to date di media sosial maupun berita di televisi. Kamu nggak ngerasa semua ucapan Pasha banyak dustanya?"

"Ah, aku inget. Kapan gituaku nonton wawancara Mas Pasha pas di salah satu televisi, kok di sana Mas Pasha bilang kalau Kakak sama Mas Pasha sudah pacaran lama. Lah, padahal kan pas lamaran itu kakak aja nolak kaya yang nggak kenal kok bisa tiba-tiba dilamar. Aku tanya tuh ke ayah apa bener kakak sudah lama pacaran sama Mas Pasha. Kok aku nggak tahu padahal kakak kalau ada apa-apa ngabarin aku dulu, kan? Kata ayah sih nggak pacaran sebenarnya, cuma karena kakak sering bilang punya pacar padahal enggak, terus kakak itu juga penulis novel romansa. Kalau Mas Pasha bilang dia ngelamar kakak gitu aja, pasti secara nggak langsung citra kakak menurun."

Dahiku mengernyit. 

"Kata Ayah sih Mas Pasha sendiri yang cerita sama ayah sebelum lamaran itu. Mas Pasha bilang beneran sayang sama kakak makanya niat nikahin tapi kakak orangnya susah diajak bicara," jelas Vian.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now