16. Pertikaian Kecil

813 67 5
                                    

Aku masih di ruang tunggu VIP meski sudah 15 menit lewat dari berakhirnya acara. Masih banyak aktor dan aktris di sini, mereka menunggu asisten atau manager mereka. Aku? Benar, aku menunggu Pasha untuk pergi tapi dari yang kudengar melalui Andina, Pasha masih melakukan wawancara dengan awak media. Aku hanya sedang tidak ingin berakting manis di depan awak media. Kejadian semalam dan hari ini sudah membuatku kesal bukan main dengan kelakuan Pasha. Ya, karena terkadang aku terlena serta berharap, akan tetapi aku harus kembali dengan kenyataan bahwa tidak ada harapan dalam pernikahan ini.

"Ayo pulang!" ajak seseorang yang tiba-tiba membuka pintu ruang tunggu lalu malu sendiri karena banyak orang menoleh ke arahnya. Agaknya dia tidak tahu banyak orang masih tinggal dalam ruangan ini. "Ah, maaf. Mau cari istri saya," katanya melenggang masuk mendekatiku yang masih menahan tawa melihat kelakuannya. 

Tunggu dulu, aku tertawa? Karenanya. Maaf, aku pernah tertawa karenanya tapi tawa itu lebih pada ejekan dan cukup asam. Kali ini karena dia cukup lucu untuk ditertawakan dalam artian memang lucu. Wajah kagetnya melihat ruangan ini masih penuh adalah hal yang lucu. Tapi, ini pertama kalinya. 

"Ayo!" ajaknya mengajukan tangan kanannya. Setelah ragu untuk menyambut, aku tetap menyambut tangannya dan berpamitan dengan yang lain. Mereka yang tahu tangan kami bergandengan nampak tersenyum menggoda. Ya, mereka tak akan pernah tahu bagaimana hati kami tidak saling berdetak satu sama lain. 

Tiba di area parkir, aku meminta Pasha untuk melepaskan tangannya dari tanganku dan kami dengan canggung melepasnya. "Duluan aja, aku mau belanja sama Andina."

"Aku anter aja. Biar Andina pulang," usulnya memencet tombol mobil untuk mencari mobilnya di mana. 

"Nggak usah, udah cukup kan aktingnya tadi?" 

"Maksudnya?" Mengernyitkan dahinya.

Menghela napas. "Nggak usah intinya, pulang aja. Banyak yang harus aku beli, di rumah nggak ada bahan makanan yang bisa dimasak sama sekali."

"Ya, mana mungkin biarin istrinya belanja sendiri padahal suaminya nggak ada kerjaan. Nggak, kita juga baru nikah kemarin, kalau kamu belanja sendiri itu kelihatan aneh. Ada wartawan juga di belakang. Maaf, tapi kamu..."

"Masuk mobil!" titahku dengan ketus langsung berjalan lebih dulu ke arah mobil Pasha. Masuk sendiri tanpa peduli Pasha hendak membukakan pintu untukku. Duduk dengan kesal, melempar buket bunga ke jok belakang, dan memasang seat belt

Aku kesal semua yang harus aku lakukan selalu dengan alasan ada wartawan, ada kamera, ada mata yang melihat sehingga akan berdampak pada pemberitaan tentang kami. Sementara pemberitaan buruk tentang kami akan memengaruhi ayah juga ibu di rumah. Hanya itu yang kupikirkan dan aku menjadi kesal setiap kali memikirkannya. Entah lah aku kesal karena Pasha tidak tulus atau aku kesal karena semua yang kulakukan hanya untuk kepentingan kamera. Tidak, aku hanya kesal melakukannya. 

"Halo, Din," suara Pasha tiba-tiba membingungkanku. "Yaya pulang bareng aku, kamu pulang aja, Ya. Oh, untuk koper dan barang-barang lain antar ke apartemen aja, minta bantuan Bang Ryan, dia lagi di sana ngurus kamarku." Berhenti sejenak. "Hem, makasih, Din." Melepas earphone di telinganya. 

"Kamu suka ambil keputusan sesukamu ya?" ketusku.

"Nggak, kamu mikir nggak kalau kita aja baru nikah kemarin terus aku yang hari ini datang ke acara pemutaran perdana filmmu lalu kita pulang masing-masing, bahkan kamu belanja sendirian?" tanyanya sembari memutar kemudi untuk meninggalkan area parkir yang mulai dipenuhi wartawan. Tidak, mereka tidak meliput kami, itu karena pekerjaan mereka selesai sehingga mereka bersiap untuk pulang. Hanya saja, jika mereka melihat kami, tak mungkin kamera mati tak bisa hidup kembali. 

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now