2. Dipaksa Ayah

1.7K 102 3
                                    

Halo Boyolali, lama tak berjumpa denganku. Ya, anakmu ini memang pandai bepura-pura tak ada waktu guna menghindari pertanyaan kapan melepas masa lajang. Sejujurnya, tidak punya waktu karena enggan pulang. Aku pandai membuat berbagai alasan untuk menghindari hal-hal yang menyebalkan. Ah, tapi bukan berarti aku hanya rebahan, aku harus ke sana ke mari juga untuk mengisi seminar kepenulisan. Padahal aku tak sepandai itu dalam menulis, hanya pandai berkhayal dan menulis dengan bahasaku sendiri. Toh, aku juga bukan lulusan sastra yang andal.

Mengapa aku pulang? Mungkin banyak yang heran, tapi usai menghindar dan mengelak perjodohan, kali ini aku benar-benar harus pulang. Ayah marah besar dan ibu tidak mau berbicara padaku satu Minggu belakangan ini. Satu-satunya yang mau mengabarkan kondisi kedua orang tuaku hanyalah adikku, Savian Gagah Pratanda, aku biasa memanggilnya Vian, usianya 6 tahun lebih muda dariku dan dia sudah ingin menikahi kekasihnya.

Awalnya cukup bagiku mendengar kabar ayah dan ibu dari Vian. Aku dan Vian juga berpikir marahnya kedua orang tuaku tidak akan bertahan lama seperti biasanya, cukup saja 2-3 hari. Namun dugaan kami salah besar, uang yang biasa aku kirimkan untuk mereka dikembalikan lagi, panggilan teleponku tidak pernah diterima bahkan nomor ponselku diblokir, lebih parahnya ayah mengatakan pada Vian agar aku membuat kartu keluarga sendiri karena ayah berencana menghapusnya. Aku tahu itu hanya ancaman, tapi ayah pun tidak pernah mengancam hingga demikian.

Pada akhirnya, kemarin aku mencoba bertanya pada ayah melalui Vian, apa yang sebenarnya ayah dan ibu minta padaku dan mereka menjawab dengan lantang bahwa aku harus pulang hari ini karena nanti malam akan ada yang melamarku. Ini gila, tapi dengan otak yang bekerja 24 jam aku memutuskan benar-benar pulang. Entah aku akan menolak atau mungkin berkilah sedikit, yang pasti aku harus pulang untuk melakukan negosiasi. Aku masih takut dan aku tidak paham dengan benar, apa itu romantisme.

"Assalamualaikum," sapa salamku disambut ayah dan ibu yang sedang mengecek dekorasi di ruang utama rumahku. Rumah Jawa yang lebih banyak kayu daripada tembok dengan batu-bata.

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka ketus.

Sejujurnya, jika dipikir lagi memang wajar ayah dan ibu marah besar. Sejak usia 25 tahun, mereka mulai memintaku untuk menikah tapi aku selalu mengatakan masih ingin keliling Indonesia. Bertambah tahun aku mengatakan, belum ada yang mau sampai akhirnya ayah menawarkan terus putra temannya atau siapapun yang beliau temui di sekitarnya, hampir setiap bulan ada saja yang dikenalkan denganku tapi aku jarang membalas pesan mereka. Ada pula yang mengajakku bertemu di Jakarta tapi aku selalu mengatakan tidak bisa meski hanya berbaring di atas kasur.

Meski begitu, kali ini sedikit keterlaluan. Aku sudah mengatakan bahwa nanti aku akan mengenalkan pria baik jika sudah ada waktunya, tapi ayah tidak mau menunggu lama. Lalu tiba-tiba seseorang akan melamarku dan ayah setuju. Mengapa ayah tidak membiarkanku bertemu dengannya lebih dulu, menyadarkannya sebelum dia menyesal bersamaku, ya setidaknya membiarkanku berpikir.

"Yah, padahal kan aku belum bilang mau, tapi sudah seperti ini dekorasinya seolah-olah aku mau," kataku belum sempat menaruh tas dan koper ke dalam kamar.

"Harus mau, ini sudah tidak ada tawar menawar lagi," tegas Ayah.

"Tapi kan, Yah..."

"Kalau ndak mau, ndak usah pulang, balik lagi sana ke Jakarta, kamu ndak punya rumah di sini!" pekik Ayah membuat orang-orang yang sedang mendekorasi rumah sedikit terkejut.

"Yah," rengekku.

"Kesabaran ayah sudah habis, memang apa masalahnya tidak mau menikah?"

"Bukan tidak mau, Yah. Hanya belum siap."

"Kapan kamu mau siap? Usia 50 tahun?"

Diam.

"Kenapa memangnya tidak siap? Usia sudah cukup, harta sudah cukup, rumah di Jakarta juga sudah punya. Kalau mau rumah di Boyolali, tanah ayah juga masih ada."

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now