31. Bogor Bercerita

843 75 7
                                    

Suara bising kendaraan beradu dengan rintik hujan yang sejak setengah jam yang lalu mengguyur kota Bogor. Suara klakson yang meminta pengendara di depannya melaju cepat juga turut serta masuk ke telingaku. Ya, kota dengan angka kemacetan yang tinggi juga intensitas hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota yang lain, wajar jika pendengaranku menangkap banyak suara.

Aku baru saja selesai mandi setelah tidur berkali-kali, hanya bangun saat makan dan salat. Ah, aku benar-benar memanfaatkan waktu istirahatku dengan benar. Ditambah lagi sekarang, menikmati bisingnya hujan bersama dengan kopi panas di balik pintu kaca arah balkon.

Kling!

Dering telepon membuatku beranjak, menatap layar, memastikan huruf per hurufnya. Benar, kontak dengan nama Pasha adalah orang yang meneleponku sekarang. Aku memang belum mengganti nama kontaknya.

"Ya?"

"Di mana?"

"Di kamar."

"Oke, nggak usah keluar ya. Hujannya deras banget."

"Iya."

"Tidur aja lagi."

Ah, mendegar kata tidur sudah membuatku muak. Seharian aku hanya tidur tidak pergi ke mana pun dan tulangku rasanya remuk. Aku terbiasa melakukan banyak aktivitas, atau setidaknya duduk di depan komputer lalu mengarang indah. Beberapa hari ini aku hanya tidur, makan, minum obat, tidur lagi. Kemarin lebih baik karena harus kontrol ke rumah sakit. Hari ini? Aku seperti dipenjara.

"Mas, aku sudah tidur seharian. Masa tidur terus?"

"Ya, kamu memang harus banyak istirahat."

"Ish, orang kata dokter harus dipakai aktivitas juga."

"Ya, olahraga ringan aja di kamar."

"Aku pengen ke minimarket depan hotel. Pengen beli cokelat, pengen beli camilan," keluhku sudah menahan diri sejak tiba di kamar hotel. Ya, pihak hotel hanya memberiku makanan sehat tanpa rasa. Sudah pasti itu permintaan Mas Pasha, tidak mungkin hotel punya inisiatif memperhatikan pola makanku.

"Nggak usah, jangan jajan sembarangan dulu."

"Sedikit aja."

"Lagian hujan, Ya."

"Pinjam payung ke resepsionis kan bisa."

Menghela napas panjang. "Nanti aja aku beliin."

"Lama."

"Nanti aku usahain pulang cepet."

"Sama aja lama, jadwalnya sampai jam 7, molornya sampai jam 12, keburu ilang nafsu makanku, Mas."

"Aku beliin di sini nanti minta Bang Ryan anter ke situ, tapi nggak usah ke mana-mana ya?"

Membayangkannya saja sudah mengerikan. Tatapan tak suka Bang Ryan padaku pasti semakin menjadi-jadi. Ya, aku juga tidak terlalu suka padanya tapi tatapan orang lain padaku selalu membuatku tidak nyaman.

"Nggak usah, nanti Bang Ryan marah-marah. Ya udah lah, aku tahan aja sampai besok, sampai besoknya lagi, besoknya lagi, sampai aku boleh keluar!" ketusku langsung mematikan telepon.

Sebelum melempar ponselku ke atas tempat tidur, aku menghidupkan mode jangan ganggu di mana panggilan bisa masuk tapi ponsel akan tetap diam. Pesan juga bisa masuk tapi pemberitahuan tidak akan ada kecuali aku membuka ponselku. Aku sudah tidur seharian di kamar dan saat aku izin keluar untuk membeli camilan saja dilarang. Sudah macam tahanan perang saja aku ini.

Berjam-jam aku tidak peduli dengan ponselku, hingga aku tertidur lagi di atas tempat tidur usai menonton tayangan televisi aku masih belum menyentuh ponselku. Sekilas aku mendengar suara langkah kaki masuk ke dalam kamar di antara lelapnya tidurku. Aku tahu itu pasti Mas Pasha tapi aku tidak peduli. Juga saat Mas Pasha mengusap lembut kepalaku, aku tidak peduli. Toh mataku tidak mau terbuka sedikit pun, sangat berat.

A Perfect RomanceTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon