29. Gelisah

860 77 3
                                    

Subuh sudah tiba ketika aku membuka mata dan Pasha sibuk memijat punggung juga pinggangnya. Dia melakukan perenggangan di tempatnya tertidur semalam. Aku tidak tahu apakah benar-benar tidur atau tidak, sebab aku sudah langsung hilang kesadaran begitu efek obatku mulai bekerja. Apakah aku kejam karena membiarkannya kesakitan setelah membiarkannya tidur di lantai? Tapi tidak mungkin bagi kami tidur di atas tempat tidur yang sama. Membayangkannya saja aku sudah tidak suka.

Mataku kembali terpejam setelah tahu Mas Pasha mulai berdiri dan mendekatiku. Entah apa yang dia lakukan tapi dia cukup lama ada di sampingku. Mungkin hanya berdiri. Itu yang kurasakan sebab aku tidak merasakan sentuhan apapun hingga pada momentum ini Mas Pasha mulai menyentuh bahuku.

"Ya, bangun udah subuh," ucapnya lirih sembari memberikan usapan di bahuku.

Aku pura-pura merenggangkan tubuhku lalu membuka mata dan mendapati wajah tampannya di pagi hari dengan bekas bantal di pipi bagian kirinya.

"Bangun salat subuh gih, nanti kalau mau tidur lagi nggak apa-apa. Tapi jam 9 ada janji temu sama dokter untuk kontrol, nanti Mama yang antar," katanya yang setelah kujawab dengan anggukan, Mas Pasha bergegas pergi ke kamar mandi.

Sementara aku mengikat rambutku merapikan selimut dan juga bantal yang Mas Pasha pakai semalam. Setelah selesai aku hendak mengambil air wudhu tapi suara ketukan pintu membuatku mengurungkan niat.

"Pasha mana?" tanya Bang Ryan, iya, manager Pasha yang subuh-subuh begini sudah mengetuk pintu kamar artisnya dengan tampilan yang sudah sangat rapi laiknya manager pada umumnya.

"Ah, masih mandi, Bang," balasku sedikit malu karena masih menggunakan baju tidur.

"Masih mandi? Bisa telat dia!" keluhnya membuatku tidak tahu harus menanggapi apa.

Ya, Mas Pasha memang bilang akan berangkat subuh hari. Tapi kupikir dia bisa bangun tepat waktu sehingga aku pun tidak memasang alarm untuk membangunkannya.

"Kenapa nggak dibangunin sih? Dia kalau tidur kupingnya budek, mau alarm berkali-kali sampai ganggu tetangga juga susah dia bangunnya," cerocos Bang Ryan. Ya, mana aku tahu.

Karena aku tidak menanggapi, Bang Ryan meminta izin untuk masuk dan menggedor sendiri pintu kamar mandi.

"Iya sebentar, Bang. Bentar lagi," jawab Mas Pasha dari dalam.

"Haish, udah dikasih tahu beli hape 5, semuanya buat ngidupin alarm biar bisa bangun. Punya istri juga disuruh bangunin lah!" pekik Bang Ryan marah-marah.

Aku jadi ikut kesal. Bukan pada Mas Pasha tapi pada Bang Ryan yang masih saja ketus padaku. Ya, aku memang menyebalkan baginya tapi bukankah masalah antara aku dan dia juga Mas Pasha mulai menemui titik yang terang. Mengapa dia tidak mau mengubah tabiatnya padaku sedikit saja?

"Udah ini, udah," balas Mas Pasha keluar dari kamar mandi dengan bathrobe dan rambutnya yang basah. "Tapi aku salat dulu, belum subuh, Bang."

"Di mobil aja gimana?" tawar Bang Ryan.

"Masih sempat lah di rumah, 5 menit ini."

"Ya udah sok atuh! Makanya kalau punya istri disuruh bangunin!" ketus Bang Ryan lagi.

"Iya, ya udah tunggu di luar aja." Mendorong Bang Ryan pergi. "Aku kan udah nikah, Bang. Abang udah nggak boleh lagi masuk-masuk kamarku sembarangan."

Sementara aku masih menahan kesal pada Bang Ryan. Pasti picingan mataku juga menakutkan sekarang.

"Maaf ya kalau ucapan Bang Ryan agak ketus. Jangan diambil hati, nanti aku kasih tahu dia," ujar Mas Pasha mengusap-usap bahuku.

"Hem," balasku beralih duduk di tepi tempat tidur sementara Mas Pasha segera menuju ke ruang ganti untuk berganti pakaian juga mengambil alat salat untuk salat di dalam kamar.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now