43. Menata Ulang

722 67 1
                                    

Tiga hari lepas ibu pergi, suasana rumah sedikit sepi. Ayah lebih banyak di kamar dan pergi ke ladang, Vian sudah mulai membuka kafenya hari ini karena dia tidak ingin hanya diam dan meratapi ibu terus menerus. Siang ini bahkan di rumah hanya ada aku yang duduk termenung juga Mas Pasha yang tidak bisa diam. Dia terus melakukan pekerjaan rumah sembari mengajakku berbicara. Saudara silih berganti datang untuk menghibur atau sekadar membawakan makanan. Sejujurnya aku tak lupa memasak untuk ketiga pria di rumah, tapi sepertinya tak satupun dari kami memiliki nafsu makan yang baik.

Kata orang yang mati harus mempertanggungjawabkan amalnya serta yang hidup harus melanjutkan hidupnya sembari mempersiapkan mati. Tapi ternyata, menata ulang kehidupan setelah ditinggalkan tidak semudah membuat kata-kata yang indah. Terkadang masih ada pikiran yang lewat, "Ah, apakah benar aku menata hidupku dan tersenyum lagi padahal aku kehilangan orang yang puluhan tahun memapahku? Ah, bukankah kejam saat kita berusaha berdamai dengan cara melupakan sesuatu yang telah hilang?" Bahkan setidaknya sekali saja orang yang kehilangan akan berpikir demikian. Maka orang yang waras akan mengatakan, "Tidak, orang yang meninggalkanmu tidak senang jika kamu terus meratap. Mereka berharap kamu melanjutkan hidupmu dengan bahagia."

Semuanya benar, semua kalimat itu benar. Baik kata orang kurang waras maupun waras. Hanya saja, sulit untuk berdamai dengan baik.

"Ya?" panggil Mas Pasha sembari menenteng pakan ikan di tangannya. "Aku besok harus balik ke Jakarta, ada syuting iklan yang nggak bisa dibatalin. Kalau dibatalin harus bayar kompensasi, bisa juga dituntut. Masalahnya tanggal rilis nggak bisa mundur. Kalau kamu masih mau di sini nggak apa-apa. Nanti aku selesaiin dulu kalau ada kerjaan yang masih bisa ditunda ya ditunda, habis itu ke sini nemenin kamu lagi."

Menatap Mas Pasha setelah lamunan panjang. Menggeleng. "Sekalian balik ke Jakarta aja. Kalau nggak bisa besok, nunggu 7 hari dulu aku baru balik."

Mengangguk paham. "Em, aku tahu nggak ada kehilangan yang mudah tapi ibu pasti nggak pengen kamu terus-terusan larut. Ya, baru tiga hari sih. Nggak mungkin bisa langsung damai tapi..."

"Itu kenapa aku juga harus segera balik ke Jakarta, Mas. Aku mau sibuk kerja lagi, siapa tahu bisa lebih damai."

Sekali lagi mengangguk paham.

"Tapi gimana sama ayah dan Vian, Mas?" tanyaku sebenarnya tidak butuh jawaban. "Siapa yang ngurus mereka kalau kita ke Jakarta? Siapa yang masakin mereka? Siapa yang bisa dengerin keluh kesah mereka? Aku mikir kalau aku mau ngajak Vian sama Ayah ke Jakarta. Tinggal di apartemenku, nggak sebesar rumah ini sih tapi kalau mereka di Jakarta aku bisa lebih sering ngunjungin mereka."

Berpikir sejenak. "Selama ayah mau, aku nggak apa-apa. Kalau mau tempat yang lebih luas apartemen lamaku juga luas. Tapi kamu harus tetep tanya ayah tanpa memaksa. Karena ayah sudah di sini puluhan tahun, damai di desa, kalau dipaksa ayah mungkin nggak bisa. Kesehatan mentalnya, kebahagiaan lahir batinnya, iya dekat tapi ada sesuatu di sini yang nggak bisa kita penuhi di Jakarta. Jadi bicarakan pelan-pelan dulu sama ayah."

Mengangguk paham.

Singkatnya, usai jam makan malam. Aku menghampiri Vian lebih dulu berbicara tentang bagaimana jika dia ikut denganku dan juga ayah ke Jakarta. Awalnya Vian terkekeh kecil. "Kakak tahu nggak kalau lowongan pekerjaan di Indonesia itu lucu?"

Menaikkan kedua alisku.

"Di sini lowongan pekerjaan itu punya batas usia, punya syarat good looking, punya syarat pengalaman. Lihat adikmu." Nunjuk dirinya sendiri dengan gerakan kepalanya. "Good looking iya, kalau cewek aku ini kembang desa," selorohnya membuatku sedikit memanyunkan bibir. "Nah pengalaman sama batas usia? Gimana? Aku nggak ada lho pengalaman di kantor, aku biasa di lapangan buka usaha, buka kafe, ngobrol selengekan sama anak-anak muda. Usia? Sekarang orang ngasih syarat tuh maksimal 25 tahun, Kak. Aku udah lebih. Kalau aku ikut kakak ke Jakarta, mau kerja apa aku? Kalaupun kafe di sini dijual nggak cukup buat usaha di sana. Nggak mungkin juga aku bergantung sama kakak terus, kan?"

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now