1. Mie

2.7K 127 11
                                    

"Bun, Jaemin boleh tanya?"

"Boleh. Mau tanya apa?"

"Sebenernya, ayah kita ke mana sih, Bun?"

Jaemin menatap kakak kembarnya, Jeno, yang sedang berbaring di sofa dengan kepalanya di atas pangkuanku. Aku sendiri sedikit menatap pandangan mereka dan mencoba mengambil kesimpulan.

Ah, mereka memang merencanakan untuk bertanya hal ini kepadaku.

Aku menatap Jaemin, anak keduaku yang enggan disebut anak kedua. Aku tersenyum sedikit lalu menghela napas. Helaan napasku membuat Jeno terduduk lalu menatapku sedikit takut.

"Iya, Bun. Kenapa bunda sendirian?"

Tak pernah kusangka ini sudah waktunya. Kedua pria berumur 17 tahun ini memang sudah berhak tau.

Ke mana ayah mereka pergi, dan mengapa aku membesarkan mereka seorang diri.

***

Aku kembali ke masa kecil mereka ketika masih berumur lima tahun. Ini hari pertama mereka masuk taman kanak-kanak. Aku sedikit gugup. Tanpa arahan dari siapapun, aku mengantar mereka ke depan gerbang sekolah.

"Bun, nanti bunda tunggu kita kan, Bun?" tanya Jaemin dengan mata bersinarnya sementara Jeno terdiam menatap teman-teman sebayanya yang diantar kedua orang tuanya.

"Iya sayang. Bunda di sini kok," ucapku sembari mengelus rambut Jaemin.

Jeno tak berkutik sedikitpun. Ia nampak ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam sekolah. Jaemin terlihat siap menyambut teman-teman barunya. Selama ini, mereka hanya bermain berdua di sekitar rumah.

"Jeno, nanti bekelnya dimakan ya sayang?" Jeno sedikit terkejut karena aku berlutut dan merapikan seragam sekolah yang ia kenakan. Tidak ada yang salah, hanya saja aku ingin mereka berdua terlihat sebagai anak paling tampan di antara teman-teman mereka.

"Bun, yang lain kok diantarnya berdua?"

Dengan jari telunjuk kecilnya, Jeno menunjuk pasangan-pasangan muda yang mengantar anak mereka ke hari pertama sekolah.

Aku selalu kebingungan ketika Jeno menanyakan tentang ayahnya. Jeno selalu menjadi anak yang paling memaksaku untuk menjawab keingintahuannya, sementara Jaemin terlihat mencoba mengerti perasaanku.

Mereka berdua anak yang cerdas. Jeno paham keadaanku, aku tau itu. Ia mungkin hanya kebingungan, kenapa kondisinya berbeda.

"Yang lain diantarnya berdua, Jeno sama Jaemin sekolahnya berdua. Lebih seru mana, coba?" ucapku dengan penuh senyuman.

"Kita, Bun," sahut Jaemin dengan riang.

"Iya dong. Keren anak bunda sekolahnya bareng-bareng."

Di tengah keramaian, aku melihat guru-guru sudah bermunculan dan hendak memberikan pengarahan di lapangan sekolah.

"Ke sana yuk. Itu bu guru udah dateng," ucapku dan menunjuk kumpulan ibu guru dengan baju berwarna cerah dan senyum mereka.

"Ayo, Jen." Jaemin meraih tangan Jeno lalu menariknya untuk segera berlari mengikuti anak-anak lain ke tengah lapangan.

Mereka terlihat bersemangat untuk hari pertama sekolah mereka. Aku sedikit lega. Aku hampir ketakutan jika ternyata mereka tidak menyukai rasanya bersekolah. Walau, mungkin Jeno cenderung banyak bertanya dan berpikir.

"Ayo sini baris sama teman-temannya," sambut ibu guru saat kami baru memasuki lapangan. Para orang tua terpisah di belakang dan hanya bisa memandangi anak mereka yang sedang disambut oleh guru-gurunya.

Aku melihat Jeno mulai mengobrol dengan gadis di sebelahnya. Jaemin juga ikut berkenalan dengan gadis itu. Baru beberapa menit, namun aku merasa anakku sudah menjadi bintang di sekolahnya. Ia terlihat dikerubungi oleh teman-temannya.

Fraternal | Jeno JaeminWhere stories live. Discover now