54 - Dirinya yang Lelah untuk Berpura-pura Kuat

14 2 0
                                    

"San...," panggilan itu membuat San mengerjap, mengira jika sudah berada di depan pintu apartemen Haknyeon.

Akan tetapi, saat melihat sekitarnya, San baru keluar dari mobil yang disetir oleh supirnya Jongho dan bahkan belum berjalan masuk ke lobi apartemen Haknyeon. Kemudian, San menyadari jika sebelah tangannya segera ditarik oleh Haknyeon untuk mengikuti langkah lelaki itu.

San yakin seharusnya bukan seperti ini reaksi Haknyeon saat melihatnya. Bukan tetap menggandengnya selama di dalam lift dan tetap tidak melepaskannya saat pintu lift sudah terbuka. Tangan mereka tetap tertaut meski mereka akhirnya sudah masuk ke apartemen Haknyeon dan berjalan menuju area dapur.

Rasanya makanan yang ada di meja saat ini lebih layak disebut sebagai makanan yang hendak mengadakan pesta karena baru pindah rumah. Akan tetapi, San entah kenapa justru berpikir bahwa mungkin ini adalah makan malam perpisahan dengan Haknyeon dan itu membuatnya semakin tertekan. Membuat San pada akhirnya mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menghentikan pikiran itu.

"San, kamu tidak suka dengan makanannya?" tanya Haknyeon yang membuat San menatap lelaki itu. Namun, yang San kira hanya akan menatap belakang Haknyeon, nyatanya mereka saling bertatapan. "Aku tidak sempat memasak makanan kesukaanmu, jadi aku memesan di restoran. Kalau kamu tidak suka aku akan...."

"Berhentilah bersikap aku seperti seseorang yang rapuh, Haknyeon." San menegur lelaki itu dan memutuskan untuk menarik sebelah tangannya yang masih bertautan dengan Haknyeon. meski itu bukanlah hal yang diinginkannya karena tahu setelahnya akan merasakan kehampaan yang menyesakkan. "Aku memang tidak sedang baik-baik saja, tapi bukan berarti aku tidak bisa menghargai...," ada jeda selama beberapa saat, karena San merasa jika tidak melakukannya akan mengatakan hal hipokrit, kemudian memutuskan melanjutkan, "apa aku bisa memakan makanan yang ada di meja?"

Tatapan Haknyeon saat ini bagi San menakutkan. Bukan karena Haknyeon terlihat marah, frustrasi atau sengaja tersenyum hingga kelopak matanya menyembunyikan kedua bola matanya untuk tidak bisa membaca emosinya, tapi saat ini San tidak tahu emosi apa yang ada di sana. Entah mungkin karena efek lapar—karena San baru merasakannya sekarang—sehingga kepalanya tidak bisa berpikir atau memang itu kenyataannya.

"Makanlah, San."

"Kamu harus makan bersamaku."

"Aku tahu, San." Haknyeon biasanya akan tersenyum saat mengatakan itu, akan tetapi sekarang ekspresinya datar. Itu bukanlah Haknyeon yang San kenal dan rasanya menakutkan. "Aku tahu kamu tidak suka makan sedirian, San."

San berharap jika Haknyeon tidak tahu begitu banyak kehidupannya, karena sekarang rasanya tidaklah adil. Haknyeon yang tahu semua tentang kehidupan San dan tidak sebaliknya. San bahkan hanya tahu sedikit dari kehidupan Haknyeon dan itu bukan berasal dari mulut Haknyeon sendiri, tapi dari orang lain. Itu sejujurnya menyakitkan dan rasanya setiap mengingat fakta itu, rasanya San seolah diingatkan jika yang menganggap hubungan mereka berharga adalah dirinya.

"San ... San kamu kenapa?!?" tanya Haknyeon yang terdengar panik yang membuat San mengerjapkan matanya. Apalagi saat mendengar suara derit kursi dan tidak berapa lama Haknyeon kembali dengan menepuk-nepuk pelan wajah San dengan tisu. "Kalau makannya tidak enak, berhenti memakannya. Aku bisa memasak untukmu, San."

Membuat San kembali mengerjapkan matanya, karena tidak percaya bahwa dirinya menangis saat makan. Namun, bukannya mencoba menyakinkan Haknyeon bahwa itu bukan yang sebenarnya terjadi, San hanya menatap Haknyeon. Melihat lelaki itu yang mulai menarik piring-piring makanan yang ada di depan San dan meletakkannya di kitchen island.

"Aku...," ucapan San membuat Haknyeon yang hendak memakai apron, berhenti dan menatapnya. Membuat San merasa gugup dan jantungnya berdebar tidak beraturan, padahal selama ini tidak pernah terjadi. San refleks memandang ke arah lainnya, akan tetapi kemudian kembali memandang Haknyeon untuk berkata, "aku mau ramyeon."

"Apa kamu gila, San?"

"Bukankah duniaku memang sedang dalam kegilaan?" tanya San yang membuat ekspresi Haknyeon terlihat bersalah. "Tidak apa-apa, reaksimu barusan itu wajar. Tapi aku memang mau ramyeon."

Biasanya Haknyeon akan mengomel—meski tetap memasakkan untuk San—jika seorang dokter justru senang memakan makanan instan. Padahal yang mengenalkan makanan itu pertama kali kepada San adalah Haknyeon sendiri dan lelaki itu punya semua jenis ramyeon di apartemennya. Sampai San sering berpikir mungkin sebenarnya Haknyeon hendak membuka museum ramyeon atau malah membuka bunshik karena sudah lelah menjadi dokter. Tentu itu tidak pernah San suarakan, karena tahu itu menyakiti hati Haknyeon, apalagi mengingat lelaki itu memilih menjadi dokter karena tidak bisa menyelamatkan Ayahnya yang sakit.

Namun, kali ini Haknyeon hanya diam sepanjang memasakkan ramyeon untuk San. Meski kalau San boleh jujur menyuarakan isi kepalanya, kecanggungan mereka saat ini benar-benar membuatnya gila. Meski kehidupannya dalam beberapa hari ini memang membuatnya berada dalam ambang tersebut, akan tetapi San tidak mudah menerima kenyataan jika hubungan dengan Haknyeon tidak seperti dahulu.

Mungkin sebenarnya kedatangan San ke apartemen Haknyeon adalah kesalahan.

"Aku harap kamu tidak memikirkan hal-hal buruk." Suara Haknyeon membuat San mengerjapkan matanya dan melihat panci ramyeon sudah diletakkan di depannya. Kemudian menatap lelaki itu yang berkata, "Makanlah. Aku sedih melihatmu seperti ini."

San hendak bertanya untuk bagian apa Haknyeon merasa sedih untuknya. Akan tetapi, San memutuskan tidak menyuarakannya dan memakan ramyeon sebelum mengembang. Meski pikiran San tidak benar-benar bersamanya saat makan dan saat hendak fokus makan, ternyata sudah habis. Rasanya tidak makan meski San merasakan jejak rasa MSG dari ramyeon yang dimakannya di mulutnya.

"San...," panggilan Haknyeon membuatnya menoleh dan ekpresinya terlihat khawatir, "kamu ... masih mau makan lagi?"

Padahal San bisa langsung memberikan respon kepada Haknyeon, akan tetapi dirinya benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Karena rasanya sekarang kepalnya begitu penuh dengan hal-hal yang saling tumpang tindih dan itu membuatnya sakit kepala dan tanpa sadar San memejamkan matanya.

"San...," panggilan Haknyeon kembali membuka matanya dan terkejut karena melihat wajah lelaki itu begitu dekat dengan San. Merasakan tangan lelaki itu memegang keningnya, lalu mendengar Haknyeon berkata, "kamu demam. Sebaiknya setelah ini kamu tidur di kamarku."

San tidak mengatakan apa-apa sebagai respon kepada Haknyeon. Namun, Haknyeon tidak kunjung menjauhkan wajahnya dari San meski tangannya sudah meninggalkan keningnya. Akan tetapi, sikap Haknyeon yang tiba-tiba menedekatkan kepalanya sehingga kening mereka saling menempel tentu membuat San terkejut dan jantungnya berdebar dalam tempo tidak beraturan. Mata Haknyeon yang terpejam membuat San bertanya-tanya, apakah lelaki itu membencinya sehingga melakukan hal tersebut.

Namun, kemudian San mendengar Haknyeon berkata, "Padahal aku tahu kalau seperti ini tidak akan bisa mengambil sakitmu, tapi aku tetap ingin melakukannya untukmu."

"Haknyeon, kenapa...?"

Nyatanya San tidak bisa menyelesaikan perkataannya dan Haknyeon yang akhirnya membuka matanya. Mereka saling bertatapan dan Haknyeon berkata, "Karena aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Bahkan tidak melihatmu sebenarnya membuatku semakin lama semakin mempertanyakan kewarasanku."

Pada akhirnya, San menangis. Dia sudah tidak bisa benar-benar menahan emosinya. Haknyeon memang akhirnya menjauhkan jidat dari San, akan tetapi setelahnya merengkuh dirinya dan memeluk dengan erat. Perasaan hangat, familiar dan nyaman ini justru semakin membuat San menangis tidak terkendali.

Karena San tahu, setelahpelukan ini terlepas dan keluar dari apartemen Haknyeon, mereka tidak akanmemiliki jalan untuk kembali. Itu bagi San menakutkan, karena tidak tahu apayang akan dihadapinya dan apakah mampu untuk melewatinya dengan menyeret Haknyeondi dalamnya.

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Where stories live. Discover now