19 - Hitungan Mundur untuk Bertemu Dengannya

9 4 0
                                    

"Hoam ... aku benar-benar impulsif."

Setelah mengatakan itu, ironisnya San kembali menguap. Meski San tahu sikapnya yang meminta kepala pelayan rumahnya untuk menyiapkan helikopter untuk membawanya ke bandara dan menyiapkan pesawat privat untuk ke Jeju pada jam 4 pagi. Meski seharusnya San harusnya lebih mengkhawatirkan kemungkinan kepala pelayan rumahnya itu memang tidak pernah tidur.

Dulu, San menganggap perkataan Hyojung kalau kepala pelayan rumahnya tidak pernah tertidur hanyalah candaan—karena Kakaknya itu tidak bisa berbohong—akan tetapi di masa sekarang, San berpikir mungkin itu memang kenyataannya. San melihat ke kaca jendela yang memperlihatkan langit yang mulai terang—karena pesawatnya baru berangkat jam setengah 6 pagi—dan kembali menguap.

San tidak berencana untuk tertidur, tetapi kenyataanya dia tertidur saat berniat untuk mengumpulkan fokus dengan memejamkan mata sesaat lalu kembali membuka kelopak matanya. Berada di pelataran rumah Haknyeon, cuaca yang gelap karena hari sudah malam dan cuaca yang mulai mendingin. Sebenarnya San hendak menoleh untuk mencari keberadaan Haknyeon, tetapi saat merasakan bahunya yang terasa sedikit berat dengan ada kehangatan di punggungnya, dia menoleh ke belakang.

Ternyata Haknyeon memberikan selimut di punggungnya, lalu duduk di samping San. Mereka tidak mengatakan apa-apa, karena sebenarnya San bingung harus mengatakan apa. Meski kalau San mengucapkan kalimat-kalimat penghiburan yang standar mungkin akan diapresiasi oleh Haknyeon, tetapi tidak dilakukannya.

Karena San tidak mau mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak diyakininya akan bisa dilakukannya.

"San...," panggilan Haknyeon membuat San menoleh, melihat lelaki itu yang memandang langit yang gelap karena bulan tidak muncul dan hanya ada beberapa bintang yang terlihat, "maaf karena tidak memberitahukanmu terlebih dahulu dan terima kasih karena sudah berada di sini."

Rasanya San hendak memberitahukan semua hal yang harus dilaluinya untuk bisa berada di samping Haknyeon saat itu, tetapi yang dilakukannya hanyalah melengos. Melirik Haknyeon yang masih menatap langit dan ekspresinya benar-benar terlihat sedih.

Mungkin San tidak akan benar-benar mengerti rasanya menjadi Haknyeon. Saat usaha Haknyeon untuk menjadi dokter sehingga bisa mengobati Ayahnya pada akhirnya sia-sia, San tidak tahu harus mengatakan apa untuk hal itu. Meski San kehilangan Ayahnya beberapa waktu yang lalu dan San menangis dipelukan Haknyeon, tetapi dirinya tidak yakin untuk apa tangisannya.

Apakah benar-benar karena San menyayangi Ayahnya?

Atau pada akhirnya merasa lega, karena akhirnya mereka semua terbebas dari keegoisan serta rasa sakit dari perkataan lelaki yang harus mereka semua anggap sebagai kepala keluarga Choi.

"San, kalau kamu marah kepadaku, tidak apa-apa." Perkataan Haknyeon tersebut membuat San mengerjapkan matanya dan menyadari lelaki itu menatapnya. Setidaknya, kali ini tanpa senyuman dan itu cukup untuk San saat ini. "Aku yang salah, jadi jangan menahan emosimu."

"Apa kamu memang ingin mendengarkan omelanku atau hanya tidak terbiasa melihatku diam?"

"Mungkin keduanya," jawab Haknyeon yang tampak tidak yakin, kemudian mengusap belakang tengkuknya, pertanda dia sedang gugup atau menyadari melakukan kesalahan yang cukup fatal, "aku benar-benar tidak terbiasa dengan diammu, San."

San mendengarnya hanya menghela napas. Setelah menimbang, akhirnya San berkata, "Aku diam, karena berpikir aku harus mengatakan apa kepadamu?"

"Hah? Maksudku ... kenapa, San?"

"Aku ingin menghiburmu...," San mulai menjelaskan, kemudian menghela napas, "tapi aku tidak mau mengatakan hal klise seperti 'aku mengerti apa yang kamu rasakan' saat sebenarnya tidak." Menatap Haknyeon dan mengira jika lelaki itu akan kesal kepada kejujuran San, tetapi nyatanya dia tersenyum dan membuatnya kembali menghela napas. "Berhentilah untuk terus tersenyum, Haknyeon. Lama-lama senyumanmu tidak ada artinya."

"Maaf...," akan tetapi, nyatanya Haknyeon tetapi tidak berhenti tersenyum dan sebelah tangannya menepuk-nepuk pelan kepala San, "aku tidak bisa berhenti melakukannya. Ini sudah seperti gerakan refleks." Namun, Haknyeon menatap San dengan tatapan yang tidak bisa diartikannya, lalu mendengar lelaki itu berkata, "tapi terima kasih karena sudah berada di sini dan bersabar untuk sikapku yang biasanya membuatmu jengkel."

Rasanya San ingin memprotes karena Haknyeon begitu mudah mengumbar maaf dan terima kasih untuk hal-hal yang sebenarnya sudah menjadi hal dasar yang dilakukan seseorang. Namun, San tidak mengatakan apa-apa, meski tangan Haknyeon yang dari tadi menepuk-nepuk kepalanya sekarang berpindah ke sebelah pipinya atau jarak mereka yang semakin memendek. Hal yang San ingat adalah matanya yang perlahan tertutup dan juga....

"Tuan ... kita sudah sampai tujuan," suara yang tidak dikenal San serta tubuhnya yang diguncang membuatnya membuka mata, lalu mengumamkan kata-kata tidak jelas—kebiasaan San jika dipaksa bangun—lalu menyadari bahwa tadi adalah mimpi dan itu membuatnya menggerutu karena dibangunkan pada bagian yang paling penting, kemudian mendengar, "maaf Tuan Muda Choi karena saya membangunkan Anda."

"Hngg ... tidak apa-apa," jawab San yang sebenarnya jelas adalah kebohongan, "mobil pesanan Kepala Pelayan Shim sudah tiba, 'kan?"

"Sudah, Tuan Choi."

San menghela napas panjang dan merentangkan tangannya ke atas. Mencoba untuk merenggangkan badanya karena San tertidur di posisi yang tidak diharapkannya. Meski sebenarnya San tidak mengerti alasan dirinya yang bisa-bisanya memimpikan masa lalu bersama Haknyeon di Jeju untuk kali pertamanya dan bersambung meski tertidur di waktu yang berbeda.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk San berada di mobil yang akan mengantarkannya ke rumah Haknyeon. Kali ini, San berjanji tidak akan menahan diri untuk menjitak Haknyeon karena tidak memberitahukannya hal sepenting Ibunya yang kehilangan kesadaran dan dengan sengaja terus mengabaikan telepon dari San.

Namun, semakin dekat San dengan rumah Haknyeon, semakin perasaan gelisah yang melingkupinya. San tidak bisa mengerti alasannya untuk merasa gelisan seperti ini, padahal alamat Haknyeon bukanlah alamat yang akan dilupakannya semudah itu.

Tidak setelah membuatnya menerima tamparan dan dramatisasi kehidupan yang tidak perlu dari seseorang di kampus.

Saat akhirnya San sampai di depan rumah Haknyeon, setidaknya dia bernapas lega karena tidak ada kesan muram yang ditemuinya seperti waktu itu. Muram karena berkabung adalah hal yang paling tidak ingin San hadapi saat ini. Karena rasanya San hanya memiliki kenangan muram setiap mengingat kebersamaannya dengan Haknyeon.

"San Oppa!"

Suara yang familiar membuatnya mengerjapkan matanya, lalu melihat Haerin yang tersenyum lebar. Membuat San otomatis tersenyum, tetapi tidak menyangka tubuhnya langsung dipeluk erat oleh perempuan itu. San hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian menyadari kalau baju bagian depannya terasa lembab dan tubuh Haerin yang memeluknya bergetar.

"Haerin, kamu ... kenapa?"

Namun, tangisan Adik perempuan Haknyeon itu semakin keras dan tentu itu membuat San panik. Karena bukan hal ini yang San ekspetasikan saat datang kemari. Namun, hal inilah yang justru semakin membuat San gelisah dan merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Haerin, ayo kita coba selesaikan masalahnya bersama-sama."

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Where stories live. Discover now