36 - Mereka yang Sebenarnya Saling Peduli dan Membawa Luka Masing-Masing

8 4 0
                                    

Setelah Mingi akhirnya tenang, Siyeon tetap membuatkannya teh. Meski Mingi tidak mengerti alasan Siyeon yang memiliki mini pantry di ruangannya saat memiliki sekretaris yang bisa dimintai tolong untuk membuatkan hal tersebut atau membelinya. Mereka bekerja di area mall, jadi gerai minuman bukankah hal yang sulit untuk didapatkan. Namun, Mingi tidak mengatakan hal tersebut kepada Siyeon dan menunggu Kakak tirinya kembali.

"Kamu tidak apa-apa, Mingi?" tanya Siyeon setelah meletakkan cangkir teh di meja. "Kita bisa pergi ke rumah sakit sekarang untuk memeriksa keadaanmu, Mingi."

Menatap Mingi dengan khawatir yang membuat lelaki itu berdecak. Karena itu seharusnya yang Siyeon tanyakan kepada diri sendiri setelah tamparan yang dilakukan Ayahnya di depan umum dan masih bisa bersikap setenang ini.

Apa tidak seharusnya Siyeon yang diperiksa?

"Daripada menanyakan keadaanku, bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mingi yang kemudian menghela napas panjang. "Lelaki sialan itu mengamuk karena tempramennya sudah menjadi rahasia umum, tapi targetnya selalu aku. Jadi kenapa dirimu yang menjadi kebanggannya menerima hal tersebut?"

"Mingi, sikapnya itu tidak bisa ditolerir meski dilakukan kepadamu. Seharusnya...."

Perkataan Siyeon tidaklah selesai lantaran Mingi memotong dengan berkata, "Juga kemana selama dua minggu ini? Aku bertanya karena selain kesal pekerjaanmu jadi mendarat di mejaku, juga karena lelaki sialan itu mulai berhenti mengucapkan namamu."

"Mingi ... sebenarnya...."

"Oke, perkataanku tadi sebenarnya masih kurang satu hal. Aku mengkhawatirkanmu," ucap Mingi yang kemudian melihat Siyeon yang tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa pun yang tadinya membuatnya kesal, sampai kemudian tersadar sikapnya dan kemudian berkata, "maaf aku memotong setiap perkataanmu, Noona."

Siyeon menatap Mingi selama beberapa saat, kemudian tertawa. Tentu itu membuat Mingi mengernyit, karena merasa tidak mengatakan hal lucu sejak tadi. Tanpa sadar, Mingi cemberut karena kesal tidak menemukan apa hal lucu yang ditertawakan oleh Siyeon.

"Oke, aku minta maaf karena tertawa," ucap Siyeon, tetapi terlihat jelas sedang berusaha menahan tawa, kemudian berdeham selama beberapa kali dan kemudian menatap Mingi sembari tersenyum, "rasanya aneh mendengarmu bisa berbicara seperti ini, Mingi."

"Aku tahu ucapanku sekarang seperti lelucon. Tapi aku benar-benar berusaha untuk tidak mengucapkan hal-hal yang membuatku menyesal."

"Terima kasih karena sudah berusaha, Mingi."

"Berhenti mengucapkan omong kosong tersebut saat aku tidak melakukan apa-apa."

"Tapi kamu melakukan hal yang tidak biasanya kamu lakukan, Mingi," ucap Siyeon sembari tersenyum, "jadi aku mengapresiasinya karena kamu berhasil melakukannya." Menatap Mingi yang masih terlihat kebingungan dan Siyeon tetap tersenyum, karena menyadari ini adalah hal yang asing bagi Adik tirinya. "Mengucapkan terima kasih tidak selalu harus tentang hal-hal besar yang dilakukan, Mingi. Mengucapkan terima kasih untuk hal yang menurutmu remeh, tetapi membantumu juga bentuk apresiasi."

Mingi menatap Siyeon, kemudian membuang tatapannya ke arah lain. Meski bergumam, "Dasar aneh," kepada Siyeon, tetapi perasaan aneh—yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan dirasakan Mingi—pada akhirnya membuatnya menghela napas. Bukan karena mempermasalahkan perasaan tersebut yang muncul pada Mingi saat ini, tetapi karena perasaan lega.

Meski seharusnya tidak perlu kejadian yang dilihat Mingi tadi untuk membuatnya akhirnya bisa berinteraksi seperti ini. Namun, mungkin jika tidak terjadi pada hari ini, pada akhirnya Mingi akan tetap mementingkan egonya daripada kepedulianny kepada Siyeon.

"Dua minggu aku tidak muncul ke kantor karena meredakan kemarahanku." Ucapan Siyeon membuat Mingi menatap perempuan itu. Tidak percaya dengan yang didengarnya dan justru mendapatkan tawa darinya yang membuatnya mendelik. Kemudian mendengar Siyeon menghela napas panjang, lalu berkata, "Hari kamu mabuk dan berakhir di kantor polisi adalah awal dari semuanya."

Mingi mendengarnya merasa bersalah, meski tidak begitu mengingat apa yang terjadi di kantor polisi. Hl yang diingatnya adalah mengusir perempuan hingga membuatnya terjatuh dan entahlah yang terjadi setelahnya. Sebenarnya Mingi hendak mengatakan maaf, tetapi melihat Siyeon yang hendak mengatakan sesuatu, akhirnya membuatnya diam.

"Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkanmu yang terlibat perkelahian, karena setiap orang memiliki kontribusi untuk membuat kesalahan eksis," ucap Siyeon, kemudian menghela napas, lalu menatap Mingi dan berkata, "tetapi hari itu setelah menjemputmu dari kantor polisi, aku bertengkar dengan Abeoji. Kemudian akhirnya beliau menamparku seperti yang tadi kamu lihat dan itu yang membuatku marah."

"Apa? Lelaki sialan itu juga menaparmu malam itu?!?"

"Itu bukan kali pertama dia melakukannya kepadaku, Mingi. Tidak apa-apa," jawaban Siyeon tentu membuat Mingi marah, karena tidak ada yang tidak apa-apa dari sikap Ayahnya itu, kemudian dirinya mendengar, "tapi alasanku marah adalah sikapmu sekarang adalah akibat dari ulahnya. Kamu tidak seharusnya menanggung kemarahn yang tidak berdasar karena kehilangan Eomma." Tatapan Siyeon yang terlihat marah tentu membuat Mingi merasa takut sendiri, kemudian melihat perempuan itu menghela napas panjang. "Kecelakaan itu bukan salahmu, Mingi. Tetapi keputusan untuk terus menyakitimu secara fisik dan lisan adalah hal yang tidak bisa termaafkan."

"Tapi aku...."

"Itu bukan salahmu, Mingi!" Perkataan Siyeon yang nadanya meninggi—sehingga terdengar seperti membentak—yang membuat Mingi terdiam. Kemudian Siyeon menghela napas panjang, menyadari sikapnya yang bisa menakuti Mingi. "Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu." Kemudian Siyeon bersedekap dan menatap Mingi, lalu berkata, "Kejadian hari itu bukan salahmu. Setiap hari Eomma memang menjemputmu tanpa supir dan pengemudi mabuk yang tidak punya otak yang menyetir di siang hari yang seharusnya disalahkan."

Mingi masih mengingat kejadian tersebut dengan jelas dan itu yang membuatnya trauma dengan menyebrang jalanan. Satu-satunya alasan Mingi bisa menyebrang jalanan selama 10 tahun terakhir ini karen San yng selalu menggandeng tangannya, tetapi sekarang hal itu tidak mungkin terjadi lagi.

Apakah pada akhirnya, semua orang yang Mingi sayangi akan pergi dengan meninggalkan luka yang tidak bisa disembuhkannya? Saat Mingi sendiri tidak benar-benar paham rasanya disayangi.

"Sikapmu mungkin tidak bisa dimaklumi oleh banyak orang, tetapi mereka hanya tahu sepotong bagian dari hidupmu, Mingi." Perkataan Siyeon membuat Mingi menatap perempuan itu. "Aku yakin kamu bisa berubah lebih baik, Mingi. Tentu tidaklah mudah, tetapi aku percaya kamu bisa melakukannya."

Mingi berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak kembali menangis. Namun, rasa sesak di dadanya kembali dan kali ini lebih intens. Membuat Mingi pada akhirnya tidak bisa menahan air matanya dan berusaha memandang ke arah lain sehingga tidak bertatapan dengan Siyeon.

Karena sejujurnya, Mingi sekarang takut untuk berharap jika Siyeon memang benar-benar menyayanginya sejak awal. Ketakutan jika Mingi memutuskan untuk percaya, pada akhirnya akan disakiti oleh ekspetasinya.

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Where stories live. Discover now