13 - Dia yang Terus Mendorongnya untuk Menjauh dan Itu Menyakitkan

17 7 0
                                    

Sepanjang akhir pekan, San terus menghubungi Haknyeon dan tidak ada satu pun yang diangkat. Bahkan dari banyaknya pesan yang San kirimkan, tidak ada satu pun yang dibaca. Mulai dari pesan dari aplikasi hingga pesan manual, satu pun tidak ada yang dibaca atau pun berbalas.

Bohong kalau San tidak kesal dan marah kepada Haknyeon. Padahal dia mau meminta penjelasan untuk banyak hal yang telah terjadi. Kalau pun memang tidak mau menjelaskan semuanya, setidaknya Haknyeon bisa menjawab satu pertanyaan dari San.

Sebenarnya bagi Haknyeon, apa arti San di kehidupannya?

Entah ini dibilang beruntung atau kesialan, karena semua orang yang memiliki jadwal konsultasi yang San harus mendatangi pasiennya ke rumah—karena tidak mau terlihat oleh orang-orang jika memiliki masalah mental dan berakhir digunakan oleh orang lain sebagai senjata untuk menjatuhkannya—memutuskan hari ini untuk San mendapatkan hari libur. Meski bukan berarti jam praktik di rumah sakit juga ikut libur, tetapi setidaknya pagi ini San bisa bersantai di rumah.

Namun, nyatanya San sudah berada di area rumah sakit pada jam 8 pagi. Beberapa perawat dan dokter yang melihat kehadiran San di jam yang tidak biasa di pagi Senin tampak mengernyit, tetapi tidak ada yang bertanya alasannya karena memiliki kesibukan masing-masing. Itu lebih baik karena San tidak yakin mau menjelaskan alasannya berada di rumah sakit bukan pada waktunya. Meski rasa-rasanya langkah San yang berjalan menuju spesialis anak sudah cukup untuk membuat orang-orang mengerti alasannya.

"Kalau aku melihatnya di ruangannya, aku benar-benar menjitaknya," gumam San yang tidak menyadari kalau semakin lama semakin cepat berjalan.

Sampai akhirnya tiba di depan tempat berkumpulnya perawat untuk spesialis anak dan San menyadari kalau hari ini tampaknya lebih ramai dari biasanya. Juga tempat ini terdengar seperti taman bermain untuk anak-anak yang mana ada terlibat perkelahian, karena suara tangisan yang lebih banyak dari biasanya. Membuat San memijit sebelah kepalanya dan memejamkan mata. Tidak terbiasa dengan suara melengking anak-anak dan pada titik ini, San ingin mempertanyakan Haknyeon yang bisa memiliki kesabaran untuk menghadapi semua mahluk-mahluk mungil ini.

"San Euisa ... kenapa Anda di sini?" sapaan dari suara yang San kenal membuatnya membuka mata dan melihat perawat senior Uhm yang berada di sini, tetapi wajahnya juga terlihat panik. "San Euisa ... apa Anda mencari Haknyeon Euisa?"

"Iya ... maksudku, tidak." Kemudian San semakin mengernyit saat menyadari beberapa perawat dari tempatnya—spesialis jiwa—berada di sini. "Kenapa kalian ada di sini? Ini bukan tempat kalian biasa bertugas."

"Eum itu...," perawat senior Uhm hendak menjelaskan, tetapi melihat perawat senior Park yang keluar dari salah satu ruangan serta memanggilnya membuatnya menjawab iya, kemudian menatap San, "maafkan saya San Euisa, saya harus pergi. Anda bisa bertanya kepada perawat lainnya untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi."

San mengernyit, kemudian menatap sekelilingnya. Setelah beberapa lama, San mulai mendapatkan kesimpulan tentang apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Meski San harus menyimpulkan sendiri karena melihat semua orang yang sibuk, juga tentu dari mendengar berbagai suara yang berada di tempat ini—yang sejujurnya membuat kepala San seperti hendak pecah—dan itu membuatnya menghela napas panjang.

Sepertinya ada penyakit baru yang menyerang anak-anak dan karena kebanyakan yang datang kemari terbiasa untuk ditangani oleh Haknyeon, sehingga mereka sekarang mulai gerakan protes. Namanya anak-anak, apa yang bisa mereka lalukan selain berteriak dan menangis?

Oh, memang ada beberapa yang San lihat menggelinding di lantai dan orang tuanya—sebenarnya lebih tepatnya Ibunya karena entah kenapa seolah-olah jika anak yang sakit itu hanya tanggung jawab seorang Ibu dan bukan tanggung jawab bersama—yang sibuk menangkap sembari membujuk anaknya untuk bersikap lebih beradab. San mengambil ponselnya, tetapi tidak untuk merekam semua kekacauan yang terjadi karena itu melanggar hukum.

Berjalan menjauh dari tempat ini dan San memutuskan untuk melakukan video call kepada Haknyeon. Meski San berharap usahanya kali ini berhasil, tetapi kepalanya sudah yakin bahwa ini hanya akan berakhir dengan kegagalan seperti sebelum-sebelumnya.

Namun, sepertinya Haknyeon sudah menyadari kalau mengabaikan San itu sia-sia sehingga akhirnya sekarang memilih untuk mengangkatnya. San yang tadinya hendak mengomel, terdiam melihat wajah Haknyeon yang terlihat seperti baru bangun tidur dan terlihat banyak beban pikiran.

"San ... kamu tidak apa-apa?"

"Menurutmu, Ju Haknyeon Euisa?!?"

Haknyeon hanya tersenyum dan sejujurnya ini membuat San jengkel karena rasanya kepalanya tidak bisa berfungsi seperti seharusnya. Saat San yakin bisa mengamuk kepada Haknyeon karena sikapnya selama beberapa hari ini yang mengabaikannya, tetapi hanya karena sekarang mereka tengah video call dan semuanya buyar.

Seharusnya San hanya menelepon dan bukan menginisiasikan video call.

"Jangan terlalu menggemaskan, San. Aku yang merana karena tidak bisa mencubit pipimu sekarang."

"Makanya cepat kembali kemari."

Haknyeon mendengarnya hanya tertawa dan San mendelik karena tidak ada yang lucu dari konversasi mereka sekarang. Kemudian, San menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya sesaat untuk mengumpulkan sel-sel kewarasan di kepalanya. Saat kembali membuka matanya, San menatap Haknyeon dengan serius.

"Aku marah kepadamu, Haknyeon."

"Aku tahu, San."

San menyipitkan matanya saat melihat Haknyeon yang tetap tersenyum, seolah perkataannya barusan adalah candaan. Meski San tahu Haknyeon memang tipe yang tetap tersenyum meski keadaan yang tidak pantas untuk diberikan hal seperti itu, tetap dia merasa kesal.

"Kenapa aku selalu menjadi orang yang terakhir tahu tentangmu?" tanya San yang melihat senyuman Haknyeon justru semakin membuatnya kesal. "Sebenarnya aku itu apa bagimu? Kamu selalu tahu tentangku, tapi tidak denganku untuk tahu tentangmu."

Haknyeon tidak mengatakan apa pun, kecuali tetap tersenyum dan itu membuat San muak. Rasanya San hendak mengakhiri sambungan video call ini dan mengabaikan Haknyeon selama sisa minggu ini. Namun, di sisi lain semakin lama San melihat senyuman Haknyeon, sebenarnya dia semakin takut. Karena San merasa ada yang disembunyikan dan Haknyeon akan membuatnya kembali menjadi orang terakhir yang tahu.

"Aku benar-benar marah jika kamu menyembunyikan sesuatu yang besar dariku, Haknyeon."

"Aku tahu, San. Aku tahu."

Apa benar Haknyeon tahu kalau San paling tidak suka menjadi orang terakhir yang tahu saat semua orang sudah mengetahuinya?

"Aku tidak mau berbicara denganmu lagi kalau aku menjadi orang yang terakhir tahu tentang masalahmu."

San tidak tahu alasan ekspresi Haknyeon yang tiba-tiba berubah menjadi pucat. Karena setelahnya, San merasa ponsel Haknyeon terjatuh dan mendengar samar suara lelaki itu sebelum semuanya gelap. Meski San mencoba menelepon ulang, dia tidak tersambung ke ponsel Haknyeon dan itu membuatnya menghela napas panjang.

"Haknyeon, kamu ... terserahlah." Gumam San sembari melangkah cepat menuju kafe yang biasanya Haknyeon datangi untuk membelikannya ice americano. Meski itu berarti San harus bertemu dengan Gaeul dan merasa sebal karena perempuan itu terlihat mencari perhatian dengan Haknyeon. "Aku tidak akan mencoba menghubungimu lagi."

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Where stories live. Discover now